Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured

    Cerita Suka dan Luka Para Anak Magang - Tirto

    9 min read

     

    Cerita Suka dan Luka Para Anak Magang

    Pengalaman praktik kerja mereka dapat, tapi ada pula masalah keselamatan kerja yang terabaikan saat mereka belum berstatus karyawan.

    Waktu baca ±5 menit


    Google News

    tirto.id - Magang menjadi aktivitas yang kian dekat dengan mahasiswa. Baik sebagai sarana pendalaman keahlian, sebagai kredit wajib dalam kuliah, atau juga sebagai kegiatan pengisi kekosongan. Tak terkecuali buat Asyifa.

    Saat duduk di semester 5 jurusan Ilmu Hubungan Internasional (HI), tahun 2023 lalu, salah satu kampus di Jakarta Selatan, perempuan berusia 23 tahun tersebut sempat mendaftar ke program magang di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dia masuk ke, PT Hutama Karya (Persero), yang bergerak di bidang konstruksi. Pilihan tak populer oleh mahasiswa HI.

    Berbekal surat rekomendasi dari Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), Asyifa lolos untuk posisi Sekretaris Perusahaan. Durasi magang tiga bulan yang dijalani itu dianggap memberi banyak ilmu, bahkan kerap kali memberi kesempatan dirinya untuk ikut serta dalam kegiatan perusahaan.

    “Jadi beneran diajarin banget jadi karyawan di sana itu seperti apa. Terus kalau misalnya ada acara-acara juga kita itu diajak,” ujar Asyifa kepada Tirto, Senin (6/10/2025).

    Tak cuman kegiatan magangnya, dia bilang, sertifikat hasil program pun berguna untuk melamar pekerjaan berikutnya. Kini, ia bahkan sedang magang di salah satu media nasional dengan posisi yang sama. Perusahaan itu juga sudah memberi tawaran ke Asyifa untuk menjadi karyawan ketika lulus kuliah nanti.

    “Beberapa kali juga aku sempat kerja. Dan itu pun orang notice-nya dari sertifikat magang aku, yang kebetulan pada saat itu di bawah naungan Erick Thohir. Jadi tanda tangan sertifikat aku itu Erick Thohir. Jadi orang fokusnya langsung ke situ,” cerita Asyifa, sumringah.

    Ilustrasi Pegawai Magang
    Ilustrasi Pegawai Magang. foto/istockphoto

    Hal yang sama turut dirasakan Najih (22) yang sempat menjajal magang di mitra Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2023 lalu. Dengan latar belakang Studi Diploma IV, program MSIB dirasa sangat bermanfaat memberi bekal keterampilan. Apalagi lulusan vokasi diharapkan sudah siap terjun ke dunia kerja.

    Meski begitu, Najih menilai bantuan biaya hidup pemerintah yang tak sampai Rp2 juta per bulan untuk program magang masih kurang. Hal itu mengingat ia berasal dari Lamongan, Jawa Timur, sehingga mesti mengalokasikan anggaran sewa indekos di dekat tempat magangnya di daerah Jakarta Utara.

    Nominal yang didapat itu memang lebih sedikit ketimbang uang saku MSIB pada umumnya lantaran Najih merupakan pemegang Kartu Indonesia Pintar Kulliah/KIP. Alhasil, uang yang dikantongi dipotong setengah dari aslinya sebesar Rp2,8 juta.

    “Kalau sesuai atau enggak sih, kayaknya enggak ya. Soalnya kan di Jakarta, dengan perbulan dapat segitu. Tapi ya lumayan sih kan ya namanya magang. Banyak [anak magang di] perusahaan nggak dibayar juga. Tapi dulu sempat dapat insentif dari mitranya ESDM, itu sehari Rp100 ribu, uang makan itu. Jadi lumayan membantu lah,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (7/10/2025).

    Tapi persoalan biaya itu hanya segelintir tantangan yang dihadapi Najih. Dari sisi implementasi dan pengalaman magang, ia merasa lebih banyak faedah ketimbang ruginya.

    Sayang, nasib mujur seperti Najih dan Asyifa tak merata dirasakan oleh semua peserta MSIB. Meski sudah lewat program pemerintah, nyatanya masih dijumpai praktik-praktik eksploitatif perusahaan terhadap anak magang.

    Baca juga:

    Beban Berat & Jam Kerja Bak Karyawan Penuh Waktu

    Ojik (22) adalah salah satu pemagang yang pengalamannya tak terlalu menggirangkan. Kepada Tirto, ia cerita kalau pekerjaan yang dibebankan saat magang di sebuah industri manufaktur fabrikasi di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tahun 2023 lalu, tak sesuai dengan ekspektasinya.

    Porsi kerja yang dihadapi lebih berat daripada apa yang dia bayangkan. Padahal, posisi yang ia duduki yakni Staf Produksi.

    “Nah, di bayangan saya dan teman-teman magang seangkatan saya itu staf produksi ya kalau [industri manufaktur] fabrikasi, paling pengecekan kualitas, terus pembuatan desain. Nggak yang terjun langsung sebagai yang bagian ngelas, bagian motong [pelat],” ungkap Ojik ditelpon dari Jakarta, Selasa (7/10/2025).

    Dengan terlibat langsung dalam proses pengelasan hingga pemotongan pelat dengan mesin gerinda, maka ia merasa harus ekstra berhati-hati. Apalagi Ojik tak mendapat jaminan kesehatan maupun keselamatan kerja selama magang.

    “Di situ kan kita nggak dapat jaminan apa-apa, maksudnya nggak ada jaminan kesehatan. Sedangkan di situ kita kerjanya kayak tukang, yang mana potensi terjadinya kecelakaan kerja itu tinggi. Dan itu terjadi di temenku. Dia kena kecelakaan kerja waktu magang,” ujarnya.

    Ojik bercerita, temannya tersebut terkena mesin gerinda sampai terluka dan harus dijahit. Meski pada akhirnya biaya penanganan ditanggung perusahaan, Ojik merasa, tanggung jawab itu hanya dilakukan perusahaan lantaran kecelakaan sudah tergolong parah.

    “Itu kan kecelakaan kerja yang parah baru ter-cover. Sedangkan kecelakaan kerja yang lain enggak, misalnya kebeler (kena luka sayat) plat. Kebeler pelat itu kan juga kecelakaan kerja, tapi itu nggak ter-cover. Paling cuman disuruh obati, disediakan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan),” ujar Ojik.

    Ilustrasi Pegawai Magang
    Ilustrasi Pegawai Magang. foto/istockphoto

    Padahal, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Magang Mahasiswa pasal 28 ayat (1) sudah menyebut bahwa peserta magang mahasiswa berhak mendapatkan pelindungan sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja sama magang mahasiswa. Hal itu dilakukan oleh perguruan tinggi, mitra penyelenggara magang mahasiswa, dan lembaga pengirim.

    Sesuai pasal 29 ayat (1) beleid tersebut, pelindungan peserta magang mahasiswa minimal meliputi fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja di tempat magang mahasiswa, fasilitas tempat tinggal yang layak, asuransi kecelakaan, kesehatan, dan kematian, pencegahan kekerasan, dan penanganan permasalahan selama pelaksanaan Magang Mahasiswa.

    Flourish logo

    Selain itu, pengaturan jam magang mahasiswa juga harus sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan, dan harus adanya uang saku bagi peserta magang mahasiswa, meliputi biaya transportasi, uang makan, dan insentif magang mahasiswa.

    Boro-boro memenuhi semua aspek pelindungan tersebut, komposisi pekerja di tempat magang Ojik justru didominasi oleh anak magang, dengan kata lain jumlah karyawan tetapnya justru lebih sedikit. Ojik juga mengaku harus menghabiskan waktu magang delapan jam setiap hari dan masuk di hari Sabtu, sama seperti karyawan penuh waktu.

    “Bahkan itu belum dihitung lembur. Ada misalkan beberapa kali, sebenarnya nggak diwajibkan, cuma ada lah intervensi gitu-gitu, kayak menyuruh untuk ikut [lembur]. Tapi aku nggak ikut,” ungkapnya.

    Ojik sendiri mengaku tak keberatan jika memang beban magang tinggi yang diterima, berhubungan dengan pengembangan diri, misalnya mengerjakan suatu proyek yang menuntutnya untuk belajar.

    Masalahnya, apa yang dijalani sebaliknya. "Kalau magang yang aku alami kan nggak dapat proyek. Saya nggak proyek, cuma disuruh ngikut aja, ngikut karyawan. Karyawan ngomong A ya kita harus ngikut A, karyawan bilang B kita harus ngikut B. Akhirnya ya kayak kerja, gak kayak magang,” ujar Ojik.

    Merespons kejadian seperti Ojik, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bob Azam menekankan, pentingnya sertifikasi penyelenggara magang. Hal itu perlu dilakukan untuk mencegah adanya praktik perusahaan-perusahaan eksploitatif.

    Nah, itu penyelenggara magang juga harus disertifikasi setidaknya oleh Asosiasi Pengusaha biar nggak ribet,” ujar Bob lewat pesan teks, Selasa (7/10/2025).

    Apalagi, secara umum, kegiatan magang termasuk MSIB dinilai bermanfaat bagi para mahasiswa untuk menghadapi dunia kerja. Menurut Bob, magang bisa menjadi sarana pembekalan keterampilan bagi mereka yang akan terjun ke dunia kerja.

    “Bagus kok, dengan magang mereka lebih siap untuk masuk dunia kerja. Magang juga membekali keterampilan dasar pencari kerja,” ungkapnya.

    Baca juga:

    ‘Magang Berdampak’ Harus Dipikirkan Dampaknya

    Hak dan kewajiban pemagang dalam relasi kerja di Indonesia memang diwarnai polemik. Tak hanya temuan satu-dua kasus, pengalaman Ojik juga didukung oleh studi Anindya Dessi Wulansari (2023).

    Survei yang melibatkan 215 responden pekerja magang selama menjadi pelajar atau mahasiswa itu menemukan, sebanyak 53 persen responden pemagang menyatakan mereka seringkali bekerja di luar jam kerja, hingga terpaksa membawa pekerjaan ke rumah karena beban kerja yang tinggi. Target yang harus mereka selesaikan juga setara dengan pekerja.

    Flourish logo

    Ini bisa berupa penanganan keluhan pelanggan, rapat, membuat laporan, menginput data, atau observasi yang menyebabkan pemagang bekerja lembur. Bahkan, beberapa menyatakan pernah bekerja lembur sampai dini hari, dan 3 persen responden bekerja lebih dari delapan jam per hari untuk menyelesaikan target.

    Nahasnya lagi, Program MSIB juga menjadi harapan besar bagi para pemagang untuk setidaknya bisa mendapat upah. Sebab Survei Wulansari juga menunjukkan pengakuan 76,28 persen responden yang mengaku tak mendapat bayaran saat menjalani proses magang. Mereka ini tentu di luar program MSIB.

    Hal seperti itu tentu harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan dan sebaiknya bisa dicegah dalam program magang pemerintah yang baru. Setelah hadir lewat MSIB, pemerintah kini meluncurkan Magang Berdampak.

    Apalagi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), menyatakan, Program Magang Berdampak tidak hanya bertujuan meningkatkan angka partisipasi mahasiswa dalam dunia kerja, tetapi juga untuk mencetak agen perubahan yang mampu menjawab tantangan masa depan.

    Sesuai dengan namanya, Pengamat Pendidikan, Totok Amin Soefijanto, mendorong pemerintah untuk benar-benar memikirkan apa dampak dari program magang tersebut. Apalagi di saat yang bersamaan, Kementerian Ketenagakerjaan juga bakal meluncurkan Program Pemagangan bagi Lulusan Perguruan Tinggi.

    “Jadi seharusnya ini, dari sisi pemerintah bisa dilakukan studi, riset bagaimana sih manfaat magang ini. Jadi dampaknya itu bisa diukur oleh peserta magang, bisa juga diukur oleh kementerian misalnya, seperti apa sih manfaatnya gitu. Jadi dibandingkan antara mereka yang gak magang dengan yang magang, sehingga jelas terukur yang berdampak itu dampaknya seperti apa,” ujar Totok di ujung telepon, Selasa malam (7/10/2025).

    Komentar
    Additional JS