Dua Tahun Perang Gaza: 1.150 Tentara Israel Tewas, Separuh Masih Anak Muda! - Viva
Dua Tahun Perang Gaza: 1.150 Tentara Israel Tewas, Separuh Masih Anak Muda!
Dua tahun setelah pecahnya perang antara Israel dan Hamas, data terbaru dari Kementerian Pertahanan Israel mengungkapkan angka korban jiwa yang mengejutkan di pihak militer. Hingga awal Oktober 2025, sebanyak 1.152 tentara Israel dilaporkan tewas sejak konflik besar di Jalur Gaza meletus pada 7 Oktober 2023. Dari jumlah tersebut, hampir setengahnya merupakan prajurit muda berusia di bawah 21 tahun.
Angka tersebut menandai salah satu kerugian militer terbesar yang pernah dialami Israel dalam beberapa dekade terakhir. Sebagian besar korban tewas bukan terjadi di awal konflik, melainkan saat operasi militer darat dilancarkan pada 27 Oktober 2023. Sejak saat itu, intensitas pertempuran meningkat tajam, terutama di wilayah utara dan tengah Gaza.
Pihak militer Israel menyebut bahwa sekitar 42 persen korban jiwa berasal dari kelompok usia muda, kebanyakan baru menyelesaikan wajib militer atau masih dalam masa penugasan pertama. Selain itu, banyak di antara mereka merupakan anggota pasukan elite yang bertugas dalam operasi khusus di kawasan padat penduduk Gaza. Hal ini memperlihatkan betapa beratnya medan pertempuran yang mereka hadapi.
Namun, bukan hanya tentara organik yang menjadi korban. Dalam laporan yang sama, disebutkan bahwa personel polisi dan anggota badan intelijen Shin Bet juga termasuk dalam daftar korban tewas. Mereka diketahui terlibat dalam berbagai operasi keamanan dan intelijen di sekitar Jalur Gaza sejak perang dimulai.
Sementara itu, di pihak lain, serangan udara dan darat Israel yang terus digencarkan di wilayah Gaza telah menewaskan lebih dari 66.000 orang, sebagian besar merupakan perempuan dan anak-anak. Angka korban sipil yang sangat tinggi ini menuai kritik tajam dari komunitas internasional dan menimbulkan tekanan diplomatik terhadap pemerintah Israel.
Meski tekanan global semakin kuat, operasi militer Israel belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Pada Senin (6/10/2025), pasukan Israel kembali melancarkan serangan ke Kota Gaza, bahkan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara terbuka mendesak agar Israel menghentikan aksi militernya. Desakan ini muncul setelah laporan kemanusiaan menyebut kondisi warga sipil di Gaza telah mencapai tahap krisis, dengan minimnya pasokan air, listrik, serta obat-obatan.
Di sisi lain, Hamas dikabarkan telah menyetujui proposal gencatan senjata yang diajukannya sendiri pekan lalu. Kesepakatan tersebut mencakup pembebasan seluruh sandera Israel yang masih ditahan di Gaza. Namun, hingga kini belum ada tanda bahwa pemerintah Israel akan menindaklanjuti tawaran itu.
Situasi di lapangan semakin rumit dengan munculnya laporan bahwa beberapa tentara Israel tewas akibat serangan RPG (peluncur granat roket) saat berusaha berlindung di dalam tank. Insiden ini memperkuat anggapan bahwa Hamas masih memiliki kemampuan tempur signifikan, meski sebagian besar infrastrukturnya telah hancur akibat serangan udara Israel.
Kematian ratusan tentara muda juga menimbulkan dampak besar di dalam negeri. Banyak keluarga di Israel kini mempertanyakan strategi militer pemerintah. Kritik mulai bermunculan, terutama terhadap keputusan memperluas operasi darat yang dinilai tidak sebanding dengan jumlah korban yang terus bertambah.
Media lokal Israel melaporkan bahwa suasana duka masih menyelimuti banyak kota kecil tempat para prajurit muda itu berasal. Upacara pemakaman dilakukan hampir setiap hari di berbagai pangkalan militer dan sinagoga. Foto-foto mereka yang masih mengenakan seragam sekolah menengah kerap menjadi viral di media sosial, menggambarkan betapa muda usia mereka ketika gugur di medan perang.
Beberapa analis politik di Tel Aviv menilai bahwa konflik Gaza telah menjadi ujian terbesar bagi pemerintahan Israel dalam dua dekade terakhir. Selain menimbulkan tekanan militer, perang ini juga memecah opini publik antara mereka yang mendukung tindakan keras terhadap Hamas dan kelompok yang menuntut solusi diplomatik segera.
Di sisi lain, komunitas internasional terus menyoroti dampak kemanusiaan perang tersebut. Organisasi seperti PBB, WHO, dan UNICEF telah berulang kali menyerukan gencatan senjata permanen serta pembukaan jalur bantuan kemanusiaan yang aman. Namun, situasi di lapangan tetap genting karena serangan balasan masih terus terjadi.
Dalam dua tahun terakhir, perang Gaza telah menciptakan lingkaran kekerasan yang tampaknya sulit diputus. Setiap gencatan senjata sementara selalu berakhir dengan pelanggaran dari kedua belah pihak. Hingga kini, baik Israel maupun Hamas belum menunjukkan komitmen penuh terhadap perdamaian jangka panjang.
Banyak pengamat menilai bahwa konflik ini tak lagi sekadar perebutan wilayah, melainkan telah menjadi pertempuran ideologi dan eksistensi. Israel berusaha mempertahankan keamanannya, sementara Hamas menegaskan perjuangannya untuk kemerdekaan Palestina.
Sementara itu, korban di kedua pihak terus bertambah. Data terbaru menunjukkan lebih dari 66.100 warga Gaza tewas, dengan jutaan lainnya mengungsi dan hidup dalam kondisi memprihatinkan. Di pihak Israel, lebih dari seribu prajurit muda kehilangan nyawa, sebagian bahkan belum sempat menyelesaikan masa dinas wajib militer mereka.
Dua tahun setelah perang meletus, belum ada tanda perdamaian yang nyata. Gaza masih porak-poranda, dan keluarga di Israel masih menanti kepulangan anak-anak mereka yang tidak akan pernah kembali. Dunia hanya bisa berharap agar konflik ini menemukan jalan akhir, sebelum lebih banyak lagi generasi muda yang menjadi korban dari perang tanpa ujung ini.
Jumlah korban yang terus meningkat menjadi pengingat pahit bahwa perang tidak pernah benar-benar membawa kemenangan. Yang tersisa hanyalah kesedihan, kehilangan, dan luka yang sulit disembuhkan.