Marsinah Jadi Pahlawan, Presiden Sarbumusi: Gambaran Kepahlawanan Rakyat Kecil di Masa Orde Baru - NU Online
Marsinah Jadi Pahlawan, Presiden Sarbumusi: Gambaran Kepahlawanan Rakyat Kecil di Masa Orde Baru
NU Online · Senin, 10 November 2025 | 12:00 WIB
Keluarga Marsinah menjadi perwakilan dalam penerimaan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto, di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (10/11/2025). (Foto: tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden)
Jakarta, NU Online
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin menyatakan dukungannya terhadap gelar Pahlawan Nasional bagi Marsinah yang diberikan Presiden Prabowo Subianto melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
"Marsinah adalah gambaran komplit tentang kepahlawanan rakyat kecil di masa Orde Baru yang otoritarian," katanya saat dihubungi NU Online pada Senin (10/11/2025).
Menurut Irham, Marsinah pada waktu itu menghadapi gerakan buruh yang diwadahi secara tunggal oleh pemerintah Soeharto sejak 1970-an, sehingga hanya serikat buruh tertentu yang diakui, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang sekarang menjadi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Baca Juga
Aliansi Perempuan: Menyandingkan Soeharto dan Marsinah Jadi Calon Pahlawan adalah Penghinaan Sejarah
"(Meski begitu), Marsinah yang hanya tamatan SLTA tersebut, mengorganisir kawan-kawannya di tempat bekerja dan mendirikan serikat baru. Walau kecil, serikat ini kemudian sangat vokal dan berpengaruh," katanya.
Irham menekankan bahwa isu-isu yang digaungkan Marsinah tergolong progresif pada zamannya, yakni cuti haid dan melahirkan, waktu istirahat, serta batasan jam kerja harian.
"Sangat maju untuk masanya. Bahkan dia tidak mendapatkan pendidikan dari lembaga internasional atau sokongan input isu dari pihak di luar buruh," jelasnya.
Di sisi lain, Irham menyayangkan pemberian gelar pahlawan kepada Presiden Ke-2 RI Soeharto. Ia menilai, kemunculan Orde Baru diawali dengan peristiwa politik yang kontroversial, kemudian dilanjutkan dengan pemberangusan dan pemaksaan wadah tunggal, serta penangkapan terhadap mereka yang berbeda pandangan dari pemerintah.
Baca Juga
Di Hari Pahlawan, Gus Mus Bacakan Puisi tentang Marsinah
"Bahkan sebagian yang ditangkap-tangkap itu masih hilang tiada jejak hingga sekarang," tegasnya.
Sejarah hidup Marsinah
Marsinah adalah buruh perempuan di PT CPS, Sidoarjo, Jawa Timur, yang berani memperjuangkan hak rekan-rekannya. Pada 1993, gaji buruh di perusahaan itu hanya Rp1.700 per bulan, lebih rendah dari Upah Minimum Regional Jawa Timur sebesar Rp2.250. Marsinah dan teman-temannya menuntut agar perusahaan menaikkan upah dan memperbaiki kondisi kerja, termasuk hak cuti, jam istirahat, dan jam kerja yang wajar.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi, Marsinah bersama sekitar 150 buruh melancarkan mogok kerja pada 3 sampai 4 Mei 1993. Aksi ini diikuti intervensi dari pihak militer setempat. Pada 5 Mei, Marsinah masih aktif berunding dengan perusahaan, tetapi beberapa buruh dipaksa mundur dan digiring ke Kodim Sidoarjo.
Baca Juga
Menyandingkan Soeharto dengan Gus Dur dan Marsinah sebagai Pahlawan, Bentuk Pengaburan Sejarah
Marsinah kemudian hilang pada 5 Mei 1993, dan jenazahnya ditemukan tiga hari kemudian, pada 8 Mei. Kasusnya memicu penyelidikan resmi, dan beberapa pihak dari perusahaan sempat ditahan dan diinterogasi secara keras.
Beberapa di antara mereka mengalami siksaan fisik dan mental. Proses hukum berlangsung hingga 1995, dengan vonis awal penjara bagi para terdakwa, namun akhirnya mereka dibebaskan melalui kasasi Mahkamah Agung.
Hingga saat ini, pelaku pembunuhan Marsinah masih belum terungkap. Meski begitu, Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporannya Nomor 1773 tahun 1999, pada poin 230 menilai peristiwa tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap hak-hak pekerja dan hak asasi manusia.