Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Gen Z Spesial

    Gen Z Mulai Menyerah Punya Rumah, Duit Habis Buat Belanja dan Investasi Nekat! - VIVA

    3 min read

     

    Gen Z Mulai Menyerah Punya Rumah, Duit Habis Buat Belanja dan Investasi Nekat!

    Minggu, 14 Desember 2025 - 15:15 WIB
    Oleh :

    Share :

    Jakarta, VIVA – Impian memiliki rumah sendiri semakin terasa menjauh bagi generasi muda. Harga properti yang terus naik, sementara pertumbuhan upah tertinggal, membuat kepemilikan rumah tampak semakin tidak terjangkau. Kondisi ini tercermin dari usia pembeli rumah pertama yang kini melonjak hingga rata-rata 40 tahun, sebuah sinyal bahwa pasar perumahan semakin sulit diakses oleh generasi muda.

    Baca Juga :

    Kekecewaan tersebut ternyata berdampak luas terhadap cara Generasi Z mengelola keuangan dan memandang masa depan. Studi terbaru dari peneliti Northwestern University dan University of Chicago menunjukkan bahwa generasi ini cenderung membelanjakan lebih banyak pendapatan dibanding menabung, mengurangi upaya kerja, serta mengambil investasi berisiko. 

    Dalam penelitian tersebut, Seung Hyeong Lee dari Northwestern dan Younggeun Yoo dari University of Chicago juga mengutip survei Harris Poll 2024 tentang kondisi pasar properti. Survei itu menunjukkan bahwa 42 persen warga Amerika Serikat dan 46 persen responden dari Gen Z setuju dengan pernyataan “tidak peduli seberapa keras saya bekerja, saya tidak akan pernah mampu membeli rumah yang benar-benar saya cintai.”

    Baca Juga :

    Ilustrasi perumahan

    Photo :

      Biasanya, rumah tangga akan menyesuaikan pola konsumsi demi menjaga tujuan jangka panjang seperti membeli rumah. Namun, menurut para peneliti, generasi muda kini telah melewati sebuah ambang batas. Mereka memasuki fase di mana mereka mulai menyerah sepenuhnya terhadap pembelian rumah.

      Baca Juga :

      Gagasan bahwa Gen Z mulai menyerah ini juga digaungkan oleh analis ekonomi Kyla Scanlon. Ia menyebut generasi muda menghadapi fenomena nihilisme finansial, yakni kondisi ketika mereka mempertanyakan makna American Dream di tengah upah yang stagnan, beban utang pendidikan, dan dominasi korporasi besar.

      Scanlon menulis bahwa Gen Z telah menyaksikan American Dream membusuk di depan mata mereka, ketika pendidikan tinggi menjadi barang mewah, krisis perumahan memperparah biaya hidup, dengan latar belakang stagnasi politik dan kemajuan teknologi yang cepat, bahkan mungkin terlalu cepat. 

      Salah satu perubahan perilaku paling nyata terlihat pada kebiasaan menabung dan belanja. Lee dan Yoo menemukan bahwa Gen Z kini lebih banyak membelanjakan uang daripada menyimpannya. 

      “Kami menemukan bahwa ketika harga rumah naik hingga titik di mana penyewa tidak lagi mampu membeli rumah dalam waktu yang dapat diperkirakan dengan menabung dari upah mereka, para penyewa menyerah pada pembelian rumah dan justru menggunakan tabungan mereka untuk meningkatkan konsumsi,” ungkapnya, sebagaimana dikutip dari Fortune, Minggu, 14 Desember 2025.

      Temuan ini sejalan dengan berbagai riset lain yang menunjukkan maraknya fenomena doomspending di kalangan Gen Z. Salah satu studi menunjukkan hampir separuh dari mereka tidak memiliki dana darurat sama sekali. Survei Bankrate juga mencatat hingga 27 persen Gen Z memiliki utang yang lebih besar dibanding tabungan mereka.

      Aleksandra Medina, salah satu pendiri aplikasi keuangan Frich, sebelumnya mengatakan, banyak Gen Z berjalan di atas tali keuangan yang rapuh. "Mereka terombang-ambing antara menutup pengeluaran langsung atau menyisihkan uang untuk keadaan darurat, dan akhirnya membayar barang dengan kredit,” ujarnya. 

      Sebagian Gen Z mungkin berharap akan mendapatkan warisan dari fenomena Great Wealth Transfer senilai US$124 triliun. Namun, survei Northwestern Mutual menunjukkan bahwa hanya sedikit yang benar-benar dapat mengharapkan limpahan uang tunai ketika anggota keluarga mereka meninggal dunia.

      Sementara itu, riset lain pada 2025 menunjukkan bahwa Gen Z jauh lebih mungkin memiliki aset kripto dibandingkan rekening pensiun. “Tidak pernah menjadi hal buruk bagi siapa pun dari generasi mana pun untuk tertarik pada keuangan pribadi mereka. Saya pikir selama mereka melihat risiko dan imbal hasil berdasarkan tujuan mereka, itu umumnya baik. Namun saya menjadi khawatir ketika melihat kecenderungan berlebihan ke aset berisiko,” papar Mark Smrecek, pemimpin pasar kesejahteraan finansial di Willis Towers Watson.

      Komentar
      Additional JS