Negara-negara Arab Heran Indonesia Tolak Bantuan Asing untuk Banjir Sumatera - Kompas
Negara-negara Arab Heran Indonesia Tolak Bantuan Asing untuk Banjir Sumatera
KOMPAS.com – Bencana banjir dan longsor besar melanda Pulau Sumatera pada akhir November hingga awal Desember 2025, setelah hujan deras mengguyur selama berhari-hari.
Sedikitnya lebih dari 950 orang dilaporkan meninggal dunia, ratusan lainnya masih hilang, dan lebih dari 770.000 warga terpaksa mengungsi.
Di tengah skala bencana yang masif tersebut, Indonesia justru menolak sejumlah bantuan asing, termasuk bantuan 30 ton beras dari Uni Emirat Arab (UEA) untuk korban banjir di Medan.
“Kami kembalikan kepada Uni Emirat Arab,” kata Wali Kota Medan Rico Waas saat ditanya wartawan, Kamis (18/12/2025).
Ia menjelaskan, pengembalian dilakukan karena pemerintah pusat belum mengambil keputusan untuk menerima bantuan dari pihak luar atau asing.
“Jadi, kami kembalikan, kami Kota Medan tidak menerima,” ujar Rico Waas, diberitakan Kompas.com pada 18 Desember.
Rico menyebut pengembalian itu juga terkait adanya teguran dari pemerintah pusat dan Gubernur Sumatera Utara. Ia menegaskan, keputusan tersebut diambil setelah koordinasi dengan berbagai pihak.
“Intinya adalah memang kami sudah cek tentang regulasi dan penyampaian, kami ke BNPB, Kementerian Pertahanan, memang melalui koordinasi kami semua, ini tidak diterima,” ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Indonesia Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa dirinya dihubungi banyak pemimpin negara yang ingin mengirimkan bantuan ke wilayah terdampak bencana di Sumatera. Namun, Kepala Negara menyatakan Indonesia memilih menangani sendiri.
“Saya ditelepon banyak pimpinan, kepala negara yang ingin kirim bantuan. Saya bilang ‘Terima kasih concern Anda, kami mampu’. Indonesia mampu mengatasi ini,” ujar Prabowo dalam sidang kabinet paripurna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/12/2025).
Bantuan dari Timur Tengah

Infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, sekolah, kawasan permukiman, hingga jaringan listrik dan komunikasi rusak parah, membuat sebagian wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terisolasi selama berhari-hari.
Bagi negara-negara Timur Tengah, bencana tersebut langsung memicu respons solidaritas.
Pada 1 Desember, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mengirimkan telegram pribadi kepada Prabowo yang menyampaikan “duka mendalam”, disusul pesan serupa dari Raja Salman.
Uni Emirat Arab (UEA) menyatakan bantuan kemanusiaan telah disiapkan, dengan Duta Besar UEA untuk Indonesia Abdulla Salem Al Dhaheri menegaskan negaranya siap mengirim tim dan logistik segera setelah Indonesia menyatakan keterbukaannya.
Ucapan belasungkawa juga datang dari Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, Sultan Oman Haitham bin Tariq, serta Presiden Iran Masoud Pezeshkian yang bahkan menawarkan pengiriman tim darurat.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang mewakili 57 negara mayoritas Muslim, turut menyerukan dukungan cepat bagi Indonesia.
Menurut Middle East Monitor, tawaran tersebut bukan sekadar simbolis. Hubungan Indonesia dan Timur Tengah terjalin erat melalui agama, migrasi tenaga kerja, investasi dana kekayaan negara Teluk, hingga kemitraan strategis.
Oleh karena itu, dorongan untuk membantu muncul secara cepat dan tulus.
Indonesia tolak bantuan asing
Pernyataan serupa disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi sehari kemudian, dengan menegaskan pemerintah memiliki pertimbangan sendiri.
Sikap tersebut menimbulkan tanda tanya di kalangan negara-negara Timur Tengah. Di mata mereka, kebutuhan kemanusiaan sangat besar dan bantuan datang dari negara sahabat tanpa syarat politik maupun kepentingan strategis.
Menurut Direktur Desk Indonesia-MENA di Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) Jakarta, Dr Muhammad Zulfikar Rakhmat, negara-negara MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara) bertindak atas dasar belas kasih, solidaritas keagamaan dan kemitraan tulus.
"Tawaran bantuan tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan dan kemanusiaan bersama. Keengganan Pemerintah Indonesia menciptakan jarak ketidaknyamanan antara niat baik yang tulus dari kawasan tersebut dan perhitungan politik Jakarta yang berorientasi ke dalam negeri," tulisnya, dalam opini di Middle East Monitor.
Namun, lanjut Zulfikar, peristiwa ini tidak mengurangi hubungan yang telah lama terjalin antara Indonesia dan Timur Tengah.
"Jalur ibadah, migrasi pekerja, investasi, dan kajian keagamaan akan terus mengikat mereka bersama."
Timur Tengah merespons dengan tulus dan cepat. Indonesia merespons dengan hati-hati berdasarkan sejarah, kedaulatan, dan kepekaan seputar tata kelola lingkungan, imbuhnya.
Isu lingkungan dan sensitivitas politik
Salah satu faktor yang ikut membentuk sikap pemerintah adalah isu tata kelola lingkungan.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyoroti tumpang tindih antara wilayah terdampak banjir dengan konsesi pertambangan, perkebunan, serta kehutanan industri di daerah hulu.
Menurut pemetaan mereka, izin pertambangan, eksplorasi migas, dan perkebunan skala besar berada di kawasan daerah aliran sungai yang krusial.
Aktivis menilai deforestasi, erosi lereng, dan degradasi sungai akibat aktivitas tersebut turut memperparah frekuensi dan intensitas banjir.
Isu ini dinilai sensitif karena sebagian konsesi disebut memiliki keterkaitan historis atau tidak langsung dengan tokoh bisnis yang dekat dengan elite politik, meski klaim tersebut masih diperdebatkan.
Dalam konteks itu, kehadiran tim internasional—mulai dari insinyur, ahli hidrologi, hingga analis bencana—dikhawatirkan dapat membuka sorotan global terhadap potensi kegagalan tata kelola lingkungan.
Bagi pemerintahan baru yang ingin menampilkan kendali dan kapasitas, pengawasan semacam itu dianggap tidak diinginkan.