Perjuangan Warga Aceh Tamiang Bertahan 8 Hari tanpa Bantuan Pemerintah: Hanya Warga Bantu Warga - Kompas
Perjuangan Warga Aceh Tamiang Bertahan 8 Hari tanpa Bantuan Pemerintah: Hanya Warga Bantu Warga
ACEH UTARA, KOMPAS.com – Darussalam (29), warga Desa Sungai Liput, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang, menceritakan detik‐detik penyelamatannya dari banjir dahsyat yang menerjang pada 26 November 2025 sekitar pukul 02.00 WIB.
Bersama istrinya, Mahyuni, dan empat anak mereka, Darussalam memutuskan meninggalkan rumah.
Meski berada di atas bukit, rumah itu tetap tenggelam karena banjir yang begitu besar.
“Tetangga yang di bawah naik ke halaman rumah kami. Itu pun tenggelam juga, kami lihat air begitu deras. Jam 02.00 WIB, kami putuskan pergi meninggalkan rumah ke lebih belakang, ke atas bukit,” ujar Mahyuni kepada Kompas.com, Sabtu (6/12/2025).
Air diperkirakan mencapai enam meter dari badan jalan. Gelap, Hujan, dan Menyebrang via Pohon Pinang
Pada pukul 03.00 WIB, air terus meninggi. Listrik padam, hujan deras, dan angin kencang.
Warga nekat menyeberangi anak sungai menggunakan batang pinang sebagai jembatan darurat.
“Anak sungai itu hanya pohon pinang jadi jembatannya. Itulah yang kami lewati, ada yang bawa bayi dan lain sebagainya,” ceritanya.
Tak Ada Bantuan Pemerintah
Mereka berjalan menelusuri bukit, menghindari air bah yang mulai mencapai kaki bukit. Hujan deras dan jalan licin dilalui hingga menemukan sebuah rumah yang lebih tinggi, tempat mereka bertahan selama delapan hari.
“Kami bertahan di situ hingga hari kedelapan. Warga bantu warga. Tidak bicara lagi bantuan pemerintah, tidak ada sama sekali,” katanya.
Bahan makanan diperoleh dari pedagang yang menjualnya lewat perahu, tetapi dengan harga sangat tinggi.
Gas 3 kilogram yang normalnya Rp 20.000 dijual Rp 150.000. Beras lima kilogram dijual Rp 120.000, dan mi instan Rp 200.000 per kardus.
“Kami tidak punya pilihan, anak‐anak harus makan. Seberapa mahal pun kami beli. Padahal beras itu sudah terendam banjir, kami beli juga,” ujarnya.
Pada 2 Desember 2025, mereka akhirnya bisa keluar dari desa.
“Desa kami sekitar 600 jiwa, 90 persen rumah hancur,” katanya.
Mengungsi ke Lhokseumawe
Kini Mahyuni dan anak‐anak tinggal sementara di rumah saudara di Lhokseumawe, sementara Darussalam kembali ke Aceh Tamiang untuk membersihkan rumah dan membantu warga lain.
“Anak dan istri di Lhokseumawe itu. Biar aman,” pungkasnya.
Banjir di kawasan tersebut menghancurkan ratusan rumah, memutus listrik, dan menghambat evakuasi korban.