Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Keuangan OJK Spesial

    Perlukah OJK Revisi Aturan Penagihan Utang oleh Debt Collector? - CNN Indonesia

    6 min read

     

    Perlukah OJK Revisi Aturan Penagihan Utang oleh Debt Collector?

    CNN Indonesia
    Rabu, 17 Des 2025 07:12 WIB

    Pengamat menilai OJK perlu mengevaluasi aturan terkait penagihan utang oleh debt collector mengingat masih ada kekerasan di lapangan dan lemahnya pengawasan. (istockphoto/narvo vexar).
    Jakarta, CNN Indonesia --

    Kasus kekerasan dalam penagihan utang oleh pihak ketiga (debt collector) kembali jadi sorotan usai insiden pengeroyokan yang menewaskan dua mata elang (matel) di Kalibata, Jakarta Selatan pada pekan lalu.

    Pengeroyokan terhadap dua matel hingga tewas tersebut dipicu oleh utang kredit sepeda motor. Dalam insiden itu, enam polisi ditetapkan menjadi tersangka.

    Peristiwa ini pun menimbulkan pertanyaan tentang kecukupan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melindungi debitur dari tindakan intimidatif.

    OJK memang memperbolehkan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) untuk menggunakan pihak ketiga mewakilinya dalam penagihan utang. Namun, ada aturan main yang ditetapkan.

    Lihat Juga :

    Saat ini, aturan atau tata cara penagihan utang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 22/POJK.07/2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.

    Dalam pasal 92 ayat 2 huruf h beleid ini, dituliskan bahwa konsumen berhak diperlakukan atau dilayani secara tidak diskriminatif oleh PUJK atau pihak ketiga yang bekerja untuk atau mewakilinya.

    "PUJK wajib memastikan pihak ketiga yang bekerja untuk dan/atau mewakili kepentingan PUJK memperlakukan atau melayani Konsumen secara tidak diskriminatif," tulis aturan ini.

    OJK juga menekankan dalam aturan ini, apabila PUJK melanggar kebijakan dan prosedur tertulis terkait perlindungan konsumen, maka akan dikenakan sanksi, administratif mulai dari peringatan tertulis, pencabutan izin usaha hingga denda hingga Rp15 miliar.

    Lihat Juga :

    Lalu perlukah OJK merevisi aturan saat ini?

    Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan kasus kekerasan dalam penagihan utang di Kalibata tersebut sudah cukup menjadi alasan kuat mengubah aturan saat ini.

    "Kasus Kalibata menunjukkan aturan yang ada belum cukup kuat mencegah kekerasan di lapangan," ujarnya.

    Insiden tersebut dinilai bukan sekadar persoalan pelanggaran oleh individu tertentu. Lemahnya kontrol dan pengawasan dinilai membuka ruang bagi praktik penagihan yang melampaui batas hukum.

    "Masalahnya bukan hanya oknum, tapi lemahnya kontrol dan pengawasan," ujar Ronny.

    Lihat Juga :

    Ia menilai OJK perlu mengambil langkah tegas agar penagihan utang tidak berubah menjadi tindak kriminal. Menurutnya, kejelasan batas kewenangan menjadi kunci mencegah kekerasan berulang.

    Jika praktik penagihan agresif terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh debitur. Kepercayaan publik terhadap industri pembiayaan juga terancam menurun.

    "OJK perlu mempertegas batas antara penagihan utang dan tindakan kriminal. Jika dibiarkan, kepercayaan publik pada industri pembiayaan bisa rusak," kata Ronny.

    Di sisi lain, Ronny mengakui keberadaan debt collector memiliki manfaat dari sisi bisnis. Penagihan oleh pihak ketiga dinilai mampu meningkatkan efisiensi dan menekan angka kredit macet. Namun, keuntungan tersebut dibayangi risiko sosial yang besar.

    Lihat Juga :

    Pasalnya, praktik penagihan di lapangan kerap diwarnai intimidasi hingga kekerasan fisik.

    "Plusnya, perusahaan pembiayaan lebih efisien dan kredit macet bisa ditekan. Minusnya, seperti terlihat di Kalibata, risiko kekerasan, intimidasi, dan main hakim sendiri sangat besar," kata Ronny.

    Menurutnya, dampak praktik tersebut tidak berhenti pada individu debitur. Citra industri keuangan secara keseluruhan ikut tercoreng.

    Oleh sebab itu, Ronny mendorong OJK merevisi aturan dengan menekankan standar profesional penagih utang. Sertifikasi dan pendaftaran resmi dinilai wajib diberlakukan.

    Lihat Juga :

    "Pertama, penagih wajib bersertifikat dan terdaftar resmi. Kedua, larangan tegas penagihan fisik di jalan atau ruang publik," ujar Ronny.

    Ia menyebutkan tanggung jawab perusahaan pembiayaan juga perlu ditegaskan dalam regulasi. Perusahaan tidak boleh melepaskan diri dari tindakan pihak ketiga.

    "Perusahaan pembiayaan harus bertanggung jawab penuh atas tindakan debt collector, tidak bisa lepas tangan," katanya.

    Ia juga menekankan pentingnya sanksi yang berat dan cepat jika terjadi kekerasan. Tanpa sanksi tegas, efek jera dinilai sulit tercapai.

    "Sanksi berat dan cepat harus diterapkan, termasuk pencabutan izin," ujar Ronny.

    Lihat Juga :

    Pengawasan Lemah

    Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai revisi aturan penagihan memang perlu dilakukan. Ia menilai regulasi yang ada belum sepenuhnya efektif di lapangan.

    "OJK memang perlu merevisi aturan penagihan oleh pihak ketiga karena di lapangan masih banyak celah," kata Yusuf.

    Ia menjelaskan POJK Nomor 22 Tahun 2023 sebenarnya telah mengatur larangan menagih pihak selain debitur. Namun, pengawasan yang lemah membuat pelanggaran terus terjadi.

    "Banyak debt collector yang tidak patuh, dan pengawasan terhadap mereka sangat terbatas," ujarnya.

    Lihat Juga :
    Komentar
    Additional JS