Soroti Bencana Aceh-Sumatera, DPR Dorong Regulasi Pendidikan Darurat Lewat RUU Sisdiknas
Jakarta, VIVA – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti menilai Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan revisi dari UU Nomor 20 Tahun 2003 perlu memuat aturan khusus mengenai penyelenggaraan pendidikan dalam situasi bencana.
Esti mengatakan, semua pihak harus belajar dari peristiwa bencana di Aceh dan Sumatera.
Menurut Esti, kejadian banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat menunjukkan sistem yang ada belum memberikan perlindungan memadai bagi keberlanjutan pendidikan di situasi tidak terduga.
"Dalam draf RUU Sisdiknas, saya mengusulkan agar dimasukkan pasal-pasal khusus mengenai penanganan sektor pendidikan dalam situasi bencana. Negara harus menyiapkan anggaran, mekanisme, dan standar operasionalnya," kata My Esti dalam keterangannya, Sabtu, 13 Desember 2025.
Esti mengusulkan, anggaran penanganan pendidikan dalam situasi bencana dimasukkan baik di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, kemudian Kementerian Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah, maupun di Kementerian Agama.
“Kita memerlukan aturan yang membuka ruang bagi penyelenggaraan pendidikan darurat dan bantuan dana bagi siswa maupun mahasiswa yang terdampak,” tuturnya.
Berdasarkan data di laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Kamis (11/12), tercatat 986 orang meninggal dunia, 224 orang masih dinyatakan hilang, dan 5.100 lainnya mengalami luka-luka akibat bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat.
Bencana banjir dan longsor tersebut diketahui berdampak pada 52 kabupaten/kota di tiga provinsi. BNPB juga mencatat ada 157,9 ribu rumah yang rusak.
Selain itu, sekitar 800 ribu jiwa masih menjadi pengungsi akibat bencana. Bencana juga merusak 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, hingga 498 jembatan.
Terkait hal ini, Esti menegaskan pendidikan darurat harus menjadi bagian dalam regulasi nasional. Layanan pendidikan darurat tersebut mencakup pendirian sekolah darurat, penyediaan modul belajar alternatif, serta memastikan proses belajar tetap berjalan meskipun sarana dan prasarana rusak.
"Hak atas pendidikan tidak boleh berhenti hanya karena bencana melanda suatu wilayah," tegas Esti.
Pimpinan Komisi Pendidikan DPR itu juga menekankan pentingnya mekanisme pendanaan yang siap digunakan ketika bencana terjadi. Esti menilai dana darurat tersebut diperlukan tidak hanya untuk penanganan fisik seperti pembangunan ruang belajar sementara, tetapi juga dukungan administratif dan bantuan biaya pendidikan.
"Sehingga siswa dan mahasiswa dari keluarga terdampak tidak meninggalkan bangku sekolah atau perkuliahan. Respons pendidikan tidak bisa bergantung pada inisiatif ad hoc setiap kali bencana terjadi," jelasnya.
Selain pendanaan, Esti pun menilai perlu ada SOP nasional yang mengatur langkah penanganan pendidikan pasca-bencana. Menurutnya, SOP tersebut harus memastikan pendataan cepat, aktivasi sekolah darurat, dan pemulihan kegiatan belajar dengan mempertimbangkan kebutuhan psikososial anak.
“Kita bisa belajar dari pengalaman penanganan bencana banjir dan longsor di Aceh dan Sumatera,” kata Esti.
Menurut data Kemendikdasmen per Minggu, 30 November 2025, sebanyak 310 satuan pendidikan di Aceh rusak dan digenangi lumpur sehingga tidak memungkinkan untuk berlangsungnya pembelajaran ataupun ujian. Bencana di Aceh juga berdampak pada 56.430 siswa dan 7.683 guru, sebagaimana data dari Posko Tanggap Darurat Dinas Pendidikan Aceh.
Kemudian satuan pendidikan yang terdampak di Sumut berjumlah 385, dan Sumbar berjumlah 314. Rinciannya pada Provinsi Aceh yaitu 57PAUD, 91 SD, 55 SMP, 65 SMA, 34SMK, 1PKBM/SKB, dan 7SLB.
Sedangkan sekolah terdampak bencana di Provinsi Sumut yaitu 76 PAUD, 199 SD, 92 SMP, 11 SMA, 6 SMK, dan 1 SLB. Sementara di Provinsi Sumbar yaitu 51 PAUD, 63 SD, 71 SMP, 20 SMA, 1 SMK, dan 8 SLB terdampak bencana.
