Kisah Hakim Menangis Tersedu saat Bacakan Vonis Hukuman Mati untuk Anggota Cakrabirawa - tribunnews
Kisah Hakim Menangis Tersedu saat Bacakan Vonis Hukuman Mati untuk Anggota Cakrabirawa - Tribunnews
Sulemi eks anggota Cakrabirawa di rumahnya, Purbalingga
Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki
TRIBUNJATENG.COM, PURBALINGGA - Suasana sidang pengadilan militer Jakarta mulanya diselimuti rasa tegang. Sulemi, anggota Batalyon 1 Kawal Kehormatan (KK) Cakrabirawa menanti keputusan akhir sang hakim yang akan menentukan nasib hidupnya ke depan.
Ketukan palu sang hakim membuat hatinya bergelegar. Di persidangan itu, Sulemi kalah. Segala pembelaannya seakan tak berfaedah. Vonis hukuman mati membuatnya harus berserah.
Tetapi pengawal pribadi Soekarno itu tak ingin terlihat lemah. Kematian lebih mulia daripada harus menutupi kebenaran. Karena itu, ia tak menyesal.
Air matanya mampu tertahan, meski tengah menanggung puncak kepedihan. Ia seakan ingin terlihat sebagai pemenang, bukan pecundang. Karena itu, Sulemi tegar.
Tetapi yang lemah justru hakim yang menyidangnya. Kata demi kata dalam surat vonis itu seperti mata pisau yang menikam. Sang hakim seakan tak mampu menyembunyikan kehancuran hatinya.
Saat bibirnya membacakan putusan, air matanya bercucuran. Ketua hakim itu menangis berlebihan.
Adapun dua hakim pembantu lain di sisinya sedikit lebih tegar, meski air matanya tetap keluar.
Suasana sidang saat itu pun diliputi keharuan. Sang prajurit harus menerima hukuman maksimal, hanya karena menjalankan perintah atasan.
"Saya tidak pernah melihat seorang hakum ketika memutuskan terdakwa menangis "gembar-gembor". Itu menangis saat baru ketuk palu. Saya tidak apa-apa, saya terima," katanya.
Reaksi emosional sang hakim itu membuat Sulemi berpikiran lain terhadap hakim tersebut. Sang hakim mungkin saja mengetahui aturan kemiliteran, serta bagaimana seorang prajurit harus bersikap dalam pelaksanaan fungsinya. Sang hakim barangkali mengetahui persis posisi prajurit Cakrabirawa dalam peristiwa 1965.
Di sisi lain, hakim mungkin dihadapkan dalam posisi yang berat dalam mengambil keputusan. Barangkali, ia berat memilih antara berpijak pada kebenaran, atau berpihak kepada kekuasaan.
"Barangkali hakim tahu aturan kemiliteran, seorang prajurit harus bagaimana. Tapi kenapa. Nah karena kekuasaan inilah. Ia berat mana, kebenaran apa kekuasaan. Saya gak papa, saya terima saja," katanya.
Menerima putusan itu berarti Sulemi merelakan nyawanya berakhir di ujung senapan. Ia harus mengubur impiannya tentang masa depan. Sulemi pun telah siap untuk itu.
Tetapi penasehat hukumnya kala itu mencoba membangkitkan semangatnya. Keputusan hukum bisa ditentang. Masih ada jalan untuk memperoleh keadilan di tingkat banding.
Jika menang nanti, ada harapan, ia bisa memperoleh keadilan, atau setidaknya hukumannya diperingan.
"Penasehat saya bilang, pak Lemi katanya tadi mau memperjuangkan. Tapi kenapa ketika diputus hakim, diterima saja," katanya.
Sulemi akhirnya berubah pikiran. Jika masih ada harapan untuk dapat memperjuangkan kebenaran, kenapa tidak dia mengusahakan.
Sulemi akhirnya menuruti saran penasehat untuk mengajukan banding atas keputusan hukum yang menimpanya.
Usaha Sulemi di tingkat banding akhirnya berbuah hasil. la berhasil lolos dari hukuman mati. Sulemi diputus hukuman lebih ringan, yakni seumur hidup.
Meski belum memenuhi rasa keadilan, keputusan itu cukup melegakan. Paling tidak, ia masih bisa meneruskan hidup, meski harus terkurung dalam penjara.
"Saya terima hukuman seumur hidup, dari Salemba terus ke Cipinang," katanya.
Dua anggota Cakrabirawa lain yang ikut menjemput AH Nasution bersama Sulemi, Hargiono dan Suparjo pun bernasib sama. Hargiono mendapatkan vonis hukuman mati. Sementara Suparjo harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara atas vonis 20 tahun hukuman penjara.
Sulemi adalah satu di antara anggota Cakrabirawa yang ditugaskan menjemput para jenderal pada 1 Oktober 1965 dini hari.
Ia berada dalam rombongan pasukan yang ditugasi menjemput Jenderal AH Nasution di kediamannya untuk menghadap Presiden Soekarno. Para jenderal ini diisukan akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965.
Sulemi dan anggota lain berhasil masuk rumah Nasution tanpa hambatan. Pintu rumah depan tak terkunci. Ia bersama dua anggota lain, Suparjo dan Hargiono menuju sebuah kamar tempat Nasution berada.
Sulemi mengetuk pintu kamar agar sang jenderal keluar. Pintu sempat dibuka sedikit, lalu ditutup kembali dan dikunci rapat.
Sulemi lantas memerintahkan dua anggotanya, Hargiono dan Suparjo untuk membuka paksa pintu itu. Keduanya menembaki kunci pintu mengunakan sten agar pintu terbuka.
Sulemi membantah terjadi konfrontasi langsung antara prajurit dengan putri AH Nasution, Ade Irma Nasution yang saat itu masih belia.
Jikapun peluru yang ditembakkan ke logam pintu itu meleset, lalu tanpa sengaja mengenai gadis kecil itu di dalam kamar, Sulemi tak mengetahuinya.
Kunci berhasil dirusak, pintu terbuka. Namun Nasution sudah tidak berada di kamar. Ia berhasil lolos keluar kamar kemudian melompati pagar.
Suara tangis Ade Irma terdengar oleh prajurit saat meninggalkan kamar. Tetapi Sulemi tak berpikir macam-macam. Ia menilai itu tangis wajar seorang bocah saat menghadapi situasi tegang.
"Sangat luar biasa yang mengatakan anaknya itu ditembak. Ini fitnah yang sangat luar biasa. Edan apa, anak kecil gak ada sangkut pautnya apa-apa ditembak," katanya.(*)