Alasan Warga BSD Tinggalkan Rumah dan Pilih Tinggal di Zona Bahaya Semeru - Kompas
Alasan Warga BSD Tinggalkan Rumah dan Pilih Tinggal di Zona Bahaya Semeru

LUMAJANG, KOMPAS.com - Ratusan warga terdampak erupsi Gunung Semeru di Dusun Sumbersari, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada 19 November 2025, ternyata sudah pernah direlokasi pemerintah.
Warga yang kini permukimannya terdampak itu pernah direlokasi ke hunian tetap (Huntap) Bumi Semeru Damai (BSD) Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, pada 2022.
Relokasi tersebut menyusul tragedi erupsi Gunung Semeru yang terjadi pada 4 Desember 2021.
Saat itu, rumah warga di Dusun Sumbersari tidak terdampak signifikan.
Hanya atapnya yang terbuat dari asbes jebol karena tidak bisa menahan beratnya abu vulkanik disertai hujan.
Namun, karena lokasinya berada di kawasan rawan bencana (KRB) III atau zona merah, pemerintah memutuskan melakukan relokasi kepada ratusan jiwa yang tinggal di sana.
Kala itu, pemerintah membangun lebih dari 1.900 unit rumah untuk diberikan kepada para penyintas, lengkap dengan perabotan rumah tangga seperti kursi, almari, kasur, hingga perlengkapan dapur.
Bahkan, identitas warga sudah dipindahkan dari alamat lama ke lokasi BSD.
Namun, setelah erupsi 4 Desember 2022, hampir 3 tahun Gunung Semeru tidak pernah erupsi dengan skala besar.
Warga yang awalnya hanya diizinkan untuk bekerja akhirnya memilih menempati rumah lama mereka di zona merah karena merasa aman.
Sukar, salah satu warga mengaku, nekat menempati rumah lama di Dusun Sumbersari karena tidak punya pekerjaan di kompleks relokasi BSD.
Menurutnya, sejak tinggal di BSD, ia kerap menggunakan tabungannya bersama istri bahkan menjual beberapa barang berharga yang dimilikinya.
"Di BSD mau makan apa? Tidak ada pekerjaan malah jual barang-barang," kata Sukar di Lumajang, Selasa (2/12/2025).
Di Sumbersari, Sukar mengaku, memiliki lahan pertanian seluas 1/4 hektar yang biasa ditanami cabai.
Meski tidak setiap hari panen, kata Sukar, cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah putranya.
"Di sini ada sawah sedikit, kalau bolak-balik jauh, misal ada hujan dan banjir malah buat yang di rumah kepikiran," jelasnya.
Ahmad, warga lainnnya juga mengaku hal serupa.
Menurutnya, apabila ia harus bolak-balik dari BSD ke Pronojiwo, ongkos harian tidak cukup dibandingkan pendapatannya sebagai petani.
Bahkan, saat ini, ia masih ragu untuk kembali ke BSD meskipun rumahnya di Sumbersari sudah hancur.
"Belum tahu mau kemana kalau pengungsian ditutup," kata Ahmad.
Adapun, pada hari terakhir masa tanggap darurat, diketahui masih ada 319 jiwa di posko pengungsian.
Belum diketahui berapa jumlah warga di pengungsian yang sudah menerima huntap di BSD maupun yang belum pernah diberi pemerintah.