Perjuangan mantan anggota Cakrabirawa melawan stigma komunis - rapler - Opsiin

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Perjuangan mantan anggota Cakrabirawa melawan stigma komunis - rapler

Share This

Perjuangan mantan anggota Cakrabirawa melawan stigma komunis - rapler

PURBALINGGA, Indonesia — Pada malam-malam tertentu, mantan anggota Cakrabirawa era Soekarno, Sulemi (77,) masih suka mengigau. Dalam igauannya itu, ia mengerang seperti sedang disakiti orang. Sulemi memang masih dihantui kenangan pahitnya di penjara. Wajah-wajah bengis yang kerap menyiksanya menyelinap kembali ke dalam mimpinya. 

Meski telah 52 tahun berlalu dan luka di tubuhnya telah lama pulih, namun trauma ihwal kengerian yang dialaminya selama di Rutan Salemba belum juga hilang. Berbagai siksaan keji yang diterimanya kala itu tak mungkin lenyap dari pikirannya, meski ia telah pikun sekalipun. 

Apalagi bekas siksaan itu masih membekas di tubuhnya. Kuku jempol kakinya yang dulu dicabut paksa menggunakan tang saat diperiksa di penjara kini tak tumbuh normal. Saat ia melihat jari-jari kakinya yang cacat itu, ia seperti diseret kembali ke masa penyiksaan dulu.  Betapa ia seperti digebuk halilintar saat kuku kakinya terpisah dari daging jari. 

"Siksaan paling pedih itu saat kuku saya dicabut. Seperti kena halilintar. Mata saya rasanya kayak copot, sakit sekali," kata Sulemi di kediamannya, Purbalingga Jawa Tengah.

Sulemi mengatakan dirinya sudah kenyang dengan bermacam hukuman fisik selama dua tahun di Rutan Guntur dan Salemba Jakarta. Ia ingat betul kala kedua tangannya diikat ke kursi, lalu tubuhnya disetrum dengan tegangan listrik hingga membuatnya terpental.  

Kakinya juga pernah ditindih dengan kaki kursi, lalu kursi itu diduduki dan dikencot. Ia hampir selalu digotong ke sel usai diperiksa karena tubuhnya sakit sampai tak bisa berjalan. Sulemi mempersilakan orang tak mempercayai ceritanya. Namun ia meyakinkan, ia siap menanggung risiko atas kebenaran yang ia coba ia sampaikan. 

Sebelum bercerita panjang lebar, Sulemi bersumpah atas nama Allah jika yang ia katakan sesuai apa yang pernah ia lihat dan alami. "Sebagai muslim, saya akan dituntut pertanggungjawaban atas apa yang saya katakan di hadapan Allah. Dan kalau saya bicara melenceng,  akan menghancurkan generasi penerus. Apapun risiko akan saya hadapi,  saya tidak akan ingkar terhadap apa yang saya  lihat dan alami," katanya.

Prinsip ini sudah lama ia pegang, meski dalam kondisi tertekan di dalam penjara. Berulangkali ia diperiksa di penjara dengan interogasi yang memojokkan hingga dituduh komunis. Namun ia tetap teguh pendirian, jawabannya selalu tegas, ia bukanlah seorang komunis atau terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Bagi parajurit muda seperti dirinya, tak mungkin ia bergulat dengan ideologi partai, kecuali doktrin prajurit untuk melindungi negara. "Kalau ditanya strategi militer saya akan jawab sesuai yang saya tahu. Tapi kalau dituduh komunis, saya lebih baik mati disiksa daripada harus mengakui sebagai komunis," katanya.

September 1965, seluruh anggota Cakrabirawa dikumpulkan oleh Komandan Batalyon 1 Kawal Kehormatan (KK) Cakrabirawa Letkol Untung Samsuri yang memberitahukan situasi negara sedang gawat. 

Tanggal 5 Oktober 1965 diisukan akan terjadi kudeta dari sejumlah perwira angkatan darat. Karena itu, para pengawal presiden harus konsinyir (waspada) berat untuk melindungi Presiden Soekarno. 

28 September 1965, anggota Cakrabirawa dikumpulkan kembali dalam apel terbuka. Seluruh pasukan dipersiapkan menjemput para jenderal kontrarevolusi pada 1 Oktober dinihari. 

"Pikiran kami,  tentu saja kudeta ini bahaya, ada yang mau menggulingkan pemimpin revolusi. Dan karena itu kami siap laksanakan perintah komandan,"katanya.

30 September 1965, Letkol Untung bersama Kolonel Latief sempat menemui Panglima Kostrad Soeharto di RS Subroto. Saat itu ia tengah menunggui Tommy Soeharto yang dirawat karena tersiram sup panas. 

Usai keluar dari rumah sakit, Untung meyakinkan ke prajurit jika laporannya kepada Pangkostrad telah beres. 

1 Oktober 1965 dini hari, pasukan dibagi ke dalam beberapa grup lalu disebar untuk menjemput jenderal. Satu rombongan penjemput berisi sekitar 35 pasukan. 

Masing-masing grup diisi 10 anggota Cakrabirawa. Sisanya berasal dari kesatuan lain di antaranya Brigif I Kodam V Jaya pimpinan Kolonel Latief. 

Satu kompi pasukan termasuk Sulemi bertugas menjemput Jenderal AH Nasution.  Perintah komandan saat itu adalah menjemput jenderal agar menghadap presiden Soekarno. 

Rombongan penjemput Nasution sempat nyasar ke rumah Menteri JE Leimana yang bersebelahan dengan rumah AH Nasution. 

Sulemi bersama anggota lain akhirnya berhasil masuk rumah Nasution tanpa hambatan. Pintu rumah depan tak terkunci. 

Ia bersama dua anggota lain Suparjo dan Hargiono mengetuk sebuah kamar yang disinyalir dihuni Nasution. Pintu kamar sempat dibuka sedikit, lalu ditutup kembali dan dikunci rapat.  

Karena tak direspon baik, Suparjo dan Hargiono menembaki gagang pintu agar terbuka sehingga mereka bisa masuk. 

Sulemi memastikan, tidak ada konfrontasi langsung antara prajurit dengan putri AH Nasution, Ade Irma Nasution yang saat itu masih belia. Jika pun peluru yang ditembakkan ke logam gagang pintu itu meleset dan tak sengaja mengenai jiwa di dalamnya, ia tidak tahu menahu. 

Ia hanya mendengar anak itu menangis saat ia bersama anggota lain meninggalkan kamar. Pikirnya, anak itu menangis wajar di tengah kondisi rumah yang tegang karena didatangi pasukan. 

Sementara AH Nasution berhasil lolos keluar kamar lalu melompati pagar. Terdengar suara tembakan prajurit di luar rumah terhadap orang diduga Nasution namun melesat.  "Saya baru tahu kalau anak itu katanya tertembak saat sudah di luar. 

"Tidak benar kalau anggota menembak langsung anak itu. Gila apa, anak kecil gak tahu apa-apa ditembak. Segila-gilanya prajurit gak mungkin lah begitu," katanya.

Vonis mati dan pesan cinta dari balik jeruji

Setelah urusan di lubang buaya, 1 Oktober 1965 selesai, pasukan Cakrabirawa diminta menyerahkan diri. Sulemi memilih menyingkir ke Cirebon dengan berjalan kaki.  Sulemi meminta perlindungan kepada kenalannya sesama pengikut Soekarno, Bupati Cirebon kala itu. 

Ia meminjam kendaraan sang bupati untuk menjemput orang tua dan anak istrinya yang masih tertinggal di rumahnya, Tomang Jakarta. Sulemi lantas memboyong keluarganya itu ke kampung halaman, Purbalingga Jawa Tengah. 

Berada di tanah kelahiran yang jauh dari ibu kota tak lantas membuat Sulemi aman. Ia masih tetap diburu. Beberapa saudaranya yang bekerja di instansi pemerintah turut diancam. 

"Saya yakinkan ke saudara saya, tenang saja. Saya akan serahkan diri. Yang penting kewajiban saya untuk selamatkan orang tua dan anak istri saya sudah selesai. Mereka sudah di Purbalingga," katanya.

Sulemi kemudian menyerahkan diri ke Kodim Purbalingga. Ia lalu dibawa ke Polisi Militer Kodam IV Diponegoro Semarang sebelum dilarikan di Rutan Guntur dan Salemba Jakarta.  Dua tahun di rutan itu, Sulemi merasakan penyiksaan yang biadab, baik fisik atau dibuat kelaparan. 

Hingga akhirnya, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menjatuhi hukuman mati atas kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Sulemi tetap tegar menerima putusan. Ia lebih terhormat mati untuk mempertahankan kebenaran. 

Penembak gagang pintu di rumah Nasution, Hargiono dihukum mati, sementara Suparjo dihukum seumur hidup. Suasana sidang putusan itu diwarnai haru karena hakim menangis tersedu saat membacakan putusan. 

"Saya gak pernah melihat seorang hakim  menangis sampai gembor-gembor. Hakim lainnya juga meneteskan air mata. Saya sadar hakim dalam posisi berat antara kebenaran dan kekuasaan," katanya.

Sulemi berusaha tegar dan tak berniat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Militer meski dibujuk oleh penasehat hukumnya.  Situasi politik kala itu, juga jalan keadilan yang buntu, membuatnya pesimis permohonannya terpenuhi. 

Namun pada akhirnya ia menerima menggunakan haknya untuk banding setelah terus dirayu kuasa hukumnya. 

Vonis mati membuat Sulemi mengubur seluruh harapannya semasa hidup. Ia memuji kesetiaan istrinya, Siti Maenah yang rela menunggunya sampai maut menjemputnya di penjara.  

Namun kecintaan Sulemi kepada Maenah membuatnya harus membuang ego. Jangan sampai Maenah ikut menderita karena menunggu seorang pria yang sudah tak punya harapan. Sulemi menulis surat pernyataan bermaterai yang mengizinkan istrinya menikah lagi dengan pria lain. 

Ia ingin melihat istrinya bisa melanjutkan kehidupannya dan tak larut terus dalam kesedihan. "Saya akan mati di penjara, jadi percuma kalau kamu menunggu. Sekarang pulanglah, saya izinkan kamu berumah tangga lagi, demi kebahagiaanmu dan anak kita. Saya ikhlas, saya tetap cinta, tapi cinta saya tidak ditumpangi nafsu," katanya.

Ternyata takdir berkata lain. Ia bisa bernafas lebih panjang. Di tingkat banding, Sulemi diputus hukuman seumur hidup. Ia dipindah ke Lapas Pamekasan, Jawa Timur, bersama 32 tahanan politik lainnya.  Oktober 1980, genap 15 tahun di penjara, Sulemi bersama 9 narapidana lain di seluruh Indonesia dinyatakan bebas. 

Ia memperoleh pengampunan dari Presiden Soeharto usai Lembaga HAM PBB beberapa kali menyoroti kondisi tahanan di Indonesia. Sulemi boleh saja bebas dari jeruji penjara, namun ia belum merdeka dari stigma yang tertanam di pikiran masyarakat terhadap eks tahanan politik. 

Karena stigma itu pula, ia kesulitan mendapatkan pekerjaan. Saat sebuah pekerjaan berhasil diraih, ia harus melepasnya kemudian karena ketahuan latar belakangnya. Sulemi akhirnya membangun usaha sendiri berbekal keterampilan seni yang didapatnya dari teman seniman di penjara. 

Sulemi membuat beragam karya seni rupa dan dijual untuk menyambung hidup. Ia kemudian menikah untuk kali kedua dengan Sri Pangestuningsih yang merupakan bekas istri temannya. 

"Pemberontakan DI/TII, juga Permesta banyak yang dihukum pimpinannya. Anggotanya dikembalikan dan dibina di kesatuan. Tapi peristiwa G 30 S ini luar biasa, prajurit yang hanya jalankan perintah ikut dihabisi sampai anak keturunan," katanya. —Rappler.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages