Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Pilkada

    HEADLINE: Usulan Pilkada Serentak 2024 Digelar 27 November 2024, Payung Hukumnya? - Liputan6

    33 min read

     

    HEADLINE: Usulan Pilkada Serentak 2024 Digelar 27 November 2024, Payung Hukumnya?

    DPR dan Mendagri Tito Evaluasi Pilkada 2020
    Perbesar
    Mendagri Tito Karnavian (kanan), bersama Plt Ketua KPU Ilham Saputra (tengah) dan Ketua Bawaslu Abhan menghadiri rapat dengar pendapat dengan Komisi II di gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (19/1/2021). Rapat membahas evaluasi pelaksanaan Pilkada 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

    Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengusulkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah atau Pilkada Serentak pada 27 November 2024.

    "Kami mengusulkan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan wali kota pada 27 November 2024, mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016," kata Ketua KPU Ilham Saputra dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR, Bawaslu dan DKPP di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/9/2021).

    Ilham menjelaskan, alasan penetapan waktu itu mengacu pada persiapan Pilkada 2018 selama 12 bulan (Juni 2017 sampai Juni 2018), persiapan Pemilu 2019 selama 20 bulan (Agustus 2017 sampai April 2019) dan persiapan Pilkada 2020 (September 2019 sampai Desember 2020).

    Selain itu, berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

    Ketentuan ini sudah menjadi harga mati seiring dengan ditariknya revisi UU Pemilu dari pembahasan. Padahal salah satu implikasi hukum dari penundaan pilkada ini membuat banyak kursi kepala daerah definitif harus diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai 2024.

    "Memang menurut saya (implikasinya) akan besar, karena jumlah kepala daerah yang akan habis masa jabatannya lumayan besar. Tidak sedikit daerah yang akan dipimpin penjabat kepala daerah dan lama pula, hampir dua tahun. Dalam situasi seperti itu mereka juga harus menyiapkan pelaksanaan bukan hanya pilkada, tapi pemilu serentak," ujar pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti kepada Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).

    Menurut dia, bobot kinerja seperti itu mestinya bukan diemban oleh Pj, tapi harus definitif, supaya bisa mengambil kebijakan dengan segera. Sebab, apa pun posisi penjabat kapala daerah itu, dia tak akan bisa mengambil keputusan yang tidak disekenariokan sejak awal.

    "Dengan durasi panjang dan beban pekerjaan yang berat, saya rasa tidak cukup hanya diemban oleh Pj, makanya kita usulkan 2022 ini tetap dilaksanakan pilkada," tegas Ray.

    Dia mengatakan, jika tak bisa digelar di 2022, tetap bisa digelar di 2023 atau digabung dengan kepala daerah yang masa jabatannya habis di 2003. Demikian pula dengan kepala daerah yang masa jabatannya habis di 2024, pilkadanya bisa digelar di 2025, sehingga pada 2029 sudah bisa digelar pilkada serentak secara keseluruhan.

    "Dengan begitu tenggang waktunya tidak terlalu panjang. Kan kalau mereka terpilih di 2023, hanya setahun itu masa tenggang waktunya, artinya 2029 tetap ada Pj. Mereka yang nantinya dipilih 2023, kan mestinya berakhir 2028, nah pilkada serentaknya digelar 2029, jadi Pj hanya setahun, tapi itu lebih baik karena jaraknya hanya setahun, bukan dua tahun," beber Ray.

    Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai tidak jelasnya pelaksanaan pilkada serentak menunjukkan pembuat undang-undang tidak siap menghadapi siklus pemilu dan kepentingan politik mereka dengan menunda pembahasan rancangan UU Pemilu.

    "Itu yang menimbulkan ekses seperti ini, penundaan (pilkada) itu lebih banyak pendekatan politiknya dibandingkan kesiapan proses penyelenggaraan. Itu terbukti hal seperti ini tidak terantisipasi baik oleh peraturan perundang-undangan," ujar Feri kepada Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).

    Infografis Pertimbangan bila Pilkada Serentak Digelar 27 November 2024. (Liputan6.com/Abdillah)
    Perbesar
    Infografis Pertimbangan bila Pilkada Serentak Digelar 27 November 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

    Karena itu, lanjut dia, ada instrumen ketatanegaraan yang dikenal dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Kalau memang ada potensi hal kegentingan yang memaksa Perppu bisa dikeluarkan presiden.

    "Makanya yang paling cepat mengisi kekosongan hukum adalah melalui Perppu. Atau meskipun ada hukum tapi tidak mampu menyelesaikan masalah, sehingga dapat dilakukan dengan Perpu," tegas Feri.

    Jadi isi Perppu itu harus dipastikan menyelesaikan masalah pemilu atau pilkada, terutama yang berkait masalah penyelenggara atau penjabat kepala daerah di daerah yang tak memiliki pemimpin itu. Jika status penyelenggara itu hanya sebatas Pj kepala daerah, akan tetap sulit lantaran yang bersangkutan tak bisa mengambil kebijakan strategis terkait pilkada.

    "Tapi problemnya tidak hanya itu saja, problemnya juga soal kemandirian, kemerdekaan, dan independensi kelembagaan. Kalau penyelenggaraan pilkada dijalankan Pj akan membuat repot luar biasa. Apalagi kalau Pj ditunjuk dari pegawai-pegawai tertentu, itu tidak sehat dalam proses penyelenggaraan pilkada," ujar Feri.

    Namun, pendapat berbeda datang dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI Luqman Hakim. Menurut dia, pilkada serentak merupakan amanat UU Nomor 10 Tahun 2016. Di dalam UU ini disebutkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di seluruh wilayah NKRI dilaksanakan bulan November 2024.

    "Tanggal 27 November 2024 sebagai hari pelaksanaan pemungutan suara pilkada, sudah dibicarakan dengan Komisi II, Kemendagri, Bawaslu dan DKPP. Bagi daerah-daerah yang masa bakti kepala daerahnya sudah habis, akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah," Luqman saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).

    Secara administrasi, lanjut dia, kewenangan dan kepemimpinan birokrasi penjabat (Pj) kepala daerah tidak akan mengahadapi masalah. Kewenangan yang dimiliki sama persis dengan kepala daerah definitif. Hanya satu yang membedakan, yakni Pj tidak berhak menerima tunjangan jabatan.

    "Jadi tidak ada ruginya. Tidak semua kepala daerah yang habis periodenya 2022 dan 2023 bisa mancalonkan kembali, karena sebagian sudah dua kali menjabat," jelas anggota Fraksi PKB ini.

    Apalagi, lanjut dia, sejak awal para kepala daerah itu sudah tahu bahwa periodenya akan habis pada saat digelar pilkada serentak 2024.

    "Saya percaya semua kepala daerah yang memenangkan Pilkada Serentak 2020 kemarin, sudah membaca dengan seksama UU Nomor 10 Tahun 2016. Mereka tahu berapa lama akan menjabat sebagaimana yang diatur di dalam UU ini," tegas Luqman.

    "Sekali lagi, Pilkada Serentak pada November 2024 untuk memilih kepala/wakil kepala daerah di seluruh wilayah NKRI itu amanat UU Nomor 10 Tahun 2016. Siapa pun harus menjalankan itu. Komisi II DPR tentu taat pada UU," dia menandaskan.

    Scroll down untuk melanjutkan membaca

    Revisi Batal, Panggung Hilang

    Anies dan Ariza makan nasi kapau
    Perbesar
    Masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan wakilnya Ahmad Riza Patria akan habis pada 2022. (Twitter @BangAriza

    Tak ada lagi langkah mundur. Dengan batalnya revisi UU Pemilu, maka payung hukum penyelenggaraan pilkada serentak akan menggunakan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan kata lain, Pilkada Serentak akan digelar 27 November 2024.

    Yang paling dirugikan dengan batalnya revisi UU Pemilu ini adalah ratusan kepala daerah yang akan habis masa tugasnya pada 2022 dan 2023. Sebab, dalam revisi UU Pemilu, pelaksanaan pilkada serentak akan dinormalisasi sesuai tahun berakhirnya masa jabatan, bukan menunggu jeda hingga 27 November 2024.

    Konsekuensi dengan diberlakukannya UU Pilkada yang sekarang, bagi kepala daerah yang berminat kembali mengikuti kontestasi pilkada harus bersabar menunggu Pilkada Serentak 2024, baik bagi yang baru menjabat satu periode atau dua periode berminat ke level di atas, seperti dari bupati/wali kota ke gubernur atau dari gubernur ke presiden, juga bersabar menunggu 2024.

    Bagi kepala daerah yang habis masa jabatan di 2022 dan 2023, bisa jadi untuk sementara jeda, break, istirahat menjadi rakyat biasa. Pada posisi inilah yang ditengarai akan menurunkan elektabilitas yang bersangkutan.

    "Dia kan kehilangan panggung, jadi panggungnya untuk memperkenalkan diri dan menarik simpati itu dengan sendirinya hilang, karena di kita itu mengingat karya orang masa berlakunya pendek sekali," tegas pengamat politik Ray Rangkuti.

    Hal senada juga ditegaskan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera. Seorang kepala daerah atau yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah tak bisa lagi mengangkat isu daerah guna menarik elektoral.

    "Untuk gubernur, wali kota dan bupati yang habis masa jabatan pada 2022-2023 tentu sangat dirugikan karena mereka akan kehilangan peluang dan tidak punya panggung dan wadah untuk mengikuti kontestasi," ujar Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera kepada Liputan6.com, Selasa (7/9/2021).

    Dengan kata lain, popularitas bisa meredup. Sedikit banyak rakyat akan melupakan. Sekaligus kalau tidak dikelola dengan baik, figur-figur semacam ini akan turun nilai jual untuk bertarung di pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur dan pemilihan presiden.

    Tak hanya itu, menurut Mardani, dampak negatif dari penundaan ratusan pilkada itu juga akan dirasakan daerah bersangkutan. Bagi masyarakat pelayanan akan terganggu karena posisi dan kewenangan penjabat kepala daerah itu terbatas.

    "Mereka tidak bisa melakukan tindakan yang sifatnya perubahan drastis. Apalagi ini di masa pandemi, butuh kebijakan yang sifanya juga cepat dan itu tidak bisa diambil jika bukan pejabat definitif," tegas dia.

    "Dampak negatif juga terlihat pada proses politik, saya khawatir akan terjadi kondisi di mana kepala daerah dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan elektoral 2024," imbuh Mardani.

    Perbesar
    Infografis Deretan Kepala Daerah Habis Masa Jabatan di 2022 dan 2023. (Liputan6.com/Abdillah)

    Dugaan Mardani ada benarnya, karena mayoritas fraksi di DPR sendiri berusaha mencari jalan aman. Buktinya, mayoritas fraksi 'balik badan' dari rencana revisi UU Pemilu. Mayoritas fraksi di parlemen yang awalnya setuju revisi RUU Pemilu, belakangan sepakat menolak melanjutkan pembahasan yang sudah disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021 itu. Hanya Partai Demokrat dan PKS yang tegas ingin revisi RUU Pemilu.

    Salah satu isu krusial yang menjadi perdebatan dalam revisi UU Pemilu ini adalah normalisasi pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023. Awalnya hanya PDI Perjuangan yang menyatakan menolak normalisasi Pilkada pada 2022 dan 2023. Belakangan, mayoritas fraksi partai pendukung pemerintah menyusul sikap PDIP.

    PDIP misalnya, berpendapat Pilkada selanjutnya sebaiknya tetap digelar pada 2024 seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

    Mendukung pendapat PDIP, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid menyebut revisi UU Pemilu setiap jelang pelaksanaan Pemilu dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas demokrasi yang sedang terus ditata dan dikembangkan di Indonesia.

    Demikian pula Fraksi Partai Golkar DPR yang sebelumnya mendorong revisi UU Pemilu, belakangan juga sepakat menunda revisi. "Sikap terakhir setelah mencermati dan mempelajari RUU Pemilu, serta melihat situasi saat ini, memutuskan untuk menunda revisi UU Pemilu," kata Wakil Ketua Umum Golkar, Nurul Arifin.

    Serupa dengan Golkar, PKB juga belakangan menyatakan pihaknya akan menghentikan pembahasan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sesuai dengan perintah Ketua Umum DPP PKB Muhaminin Iskandar.

    "Ketua Umum DPP PKB memerintahkan Fraksi PKB di DPR RI agar menghentikan pembahasan draf RUU Pemilu yang saat ini sedang berjalan dan mendukung Pilkada Serentak Nasional sesuai UU 10/2016 yaitu November 2024," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB Luqman Hakim.

    Sementara Ketua Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh menegaskan bahwa dirinya mengarahkan agar Fraksi Partai NasDem DPR RI mengambil sikap untuk tidak melanjutkan revisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu, termasuk mendukung pelaksanaan pilkada serentak pada tahun 2024.

    Surya Paloh mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dan melakukan upaya pemulihan ekonomi akibat wabah tersebut. Oleh karena itu, dia memandang perlu menjaga soliditas partai-partai politik dalam koalisi pemerintahan, dan bahu-membahu menghadapi pandemi.

    Adapun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) termasuk yang sejak awal menolak rencana revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. PPP berpandangan kalau regulasi untuk pemilu itu setidaknya bisa digunakan minimal dalam dua kali penyelenggaraan.

    "PPP tidak bersepakat untuk melakukan perubahan UU Pemilu, meskipun RUU revisi UU Pemilu ini menjadi usulan inisiatif DPR," kata Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi, dalam sebuah diskusi daring.

    Sama dengan PPP, PAN sejak awal menegaskan sikap sejalan dengan pemerintah untuk menolak revisi UU Pemilu. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus menyarankan agar fraksi-fraksi di DPR RI fokus dalam membantu pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 daripada membahas RUU Pemilu.

    Berbeda dengan suara mayoritas, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini menilai revisi UU Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu.

    "Kami melihat ada kebutuhan dan kepentingan revisi UU Pemilu, yaitu untuk perbaikan kualitas demokrasi hasil evaluasi kita atas penyelenggaraan pemilu lalu," ujar Jazuli dalam keterangannya di Jakarta.

    Fraksi PKS juga menginginkan agar pilkada serentak dinormalisasi pada 2022/2023 agar kepemimpinan daerah di masa pandemik oleh pejabat definitif. Menurutnya, jika digelar pada 2024 beban dan ongkos ekonomi, sosial, dan politik menjadi sangat berat.

    Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra juga menyatakan partainya setuju normalisasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023 dalam RUU Pemilu. Termasuk di dalamnya Pilkada DKI Jakarta pada 2022.

    Menurut Herzaky, pilkada merupakan momen emas bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik di daerah masing-masing. Demokrat menilai perlu waktu dan kesempatan cukup bagi masyarakat untuk mendalami dan memahami sosok serta rekam jejak para calon kepala daerah.

    Scroll down untuk melanjutkan membaca

    Ketika Ratusan Daerah Tanpa Pemimpin

    Pelantikan Kepala Daerah
    Perbesar
    Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah melantik 11 kepala daerah pemenang Pilkada, di Baruga Karaeng Pattingalloang yang berada di Rumah Jabatan Gubernur Sulsel, pada Jumat (26/2/2021). (Liputan6.com/ Fauzan)

    Pemerintah dan DPR telah menyepakati pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar serentak pada 2024. Pencoblosan untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden dijadwalkan pada 21 Februari. Sementara penyelenggaraan pilkada serentak dilakukan pada 27 November.

    Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra mengonfirmasi, ada 101 daerah yang seharusnya menggelar pilkada pada 2022 karena masa jabatan kepala daerahnya habis pada, yakni tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.

    Kemudian ada 170 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2023, yang terdiri dari 17 gubernur, 38 wali kota dan 115 bupati.

    Namun, daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023 itu baru akan melaksanakan pemilihan kepala daerah pada pilkada serentak 2024.

    Hal ini akan berdampak pada jumlah penjabat (Pj) atau pejabat sementara (Pjs) untuk menggantikan posisi kepala daerah hingga penyelenggaraan Pilkada 2024.

    Merujuk pada Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada, dan berdasarkan jumlah kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023, maka akan ada 271 kepala daerah yang kepemimpinannya bakal diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah.

    Dan itu artinya, dari total kepala daerah yang berjumlah 548 orang yang terdiri dari 34 gubernur, dan 514 bupati/walikota, hampir setengahnya akan diisi Pj. kepala daerah, yang ditentukan oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Pj. Gubernur ditentukan Presiden, sementara Pj. Bupati dan Wali Kota ditentukan Mendagri.

    Masa jabatan Pj. kepala daerah ini bervasiari, tergantung masa ahir jabatan kepala daerah masing-masing. Akan tetapi rata-rata mereka menjabat lebih dari 20 bulan dalam rentang tahun 2022 hingga 2024, atau sampai Pilkada serentak 2024 dilaksanakan pada bulan November.

    Pasal 201 ayat 9 UU 10/2016 tentang Pilkada berbunyi: Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

    Sementara, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik sebelumnya mengatakan, ada empat jabatan pengganti kepala daerah yang dapat mengisi kekosongan, yakni pejabat sementara (Pjs), penjabat (Pj), pelaksana harian (Plh), dan pelaksana tugas (Plt).

    Ia menuturkan, Plh dan Pjs memiliki kewenangan yang terbatas, tidak penuh seperti kepala daerah. Sementara, Pj dan Plt memiliki kewenangan yang penuh dan sama seperti kepala daerah.

    Berikut daftar 101 daerah yang masa jabatan kapala daerahnya akan berakhir pada 2022:

    Gubernur:

    1. Aceh

    2. Kepulauan Bangka Belitung

    3. DKI Jakarta

    4. Banten

    5. Gorontalo

    6. Sulawesi Barat

    7. Papua Barat

    Bupati:

    1. Aceh Besar

    2. Aceh Utara

    3. Aceh Timur

    4. Aceh Jaya

    5. Bener Meriah

    6. Pidie

    7. Simeulue

    8. Aceh Singkil

    9. Bireuen

    10. Aceh Barat Daya

    11. Aceh Tenggara

    12. Gayo Lues

    13. Aceh Barat

    14. Nagan Raya

    15. Aceh Tengah

    16. Aceh Tamiang

    17. Tapanuli Tengah

    18. Kepulauan Mentawai

    19. Kampar

    20. Muaro Jambi

    21. Sarolangun

    22. Tebo

    23. Musi Banyuasin

    24. Bengkulu Tengah

    25. Tulang Bawang Barat

    26. Pringsewu

    27. Mesuji

    28. Lampung Barat

    29. Tulang Bawang

    30. Bekasi

    31. Banjarnegara

    32. Batang

    33. Jepara

    34. Pati

    35. Cilacap

    36. Brebes

    37. Kulon Progo

    38. Buleleng

    39. Flores Timur

    40. Lembata

    41. Landak

    42. Barito Selatan

    43. Kota Waringin Barat

    44. Hulu Sungai Utara

    45. Barito Kuala

    46. Bolaang Mongondow

    47. Kepulauan Sangihe

    48. Bangai Kepulauan

    49. Buol

    50. Takalar

    51. Muna Barat

    52. Buton Selatan

    53. Buton Tengah

    54. Bombana

    55. Kolaka Utara

    56. Buton

    57. Boalemo

    58. Seram Bagian Barat

    59. Buru

    60. Maluku Tenggara Barat

    61. Maluku Tengah

    62. Pulau Morotai

    63. Halmahera Tengah

    64. Nduga

    65. Lanny Jaya

    66. Sarmi

    67. Mappi

    68. Tolikara

    69. Kepulauan Yapen

    70. Jayapura

    72. Puncak Jaya

    73. Dogiyai

    74. Tambrauw

    75. Maybrat

    76. Sorong

    Wali Kota:

    1. Banda Aceh

    2. Lhokseumawe

    3. Langsa

    4. Sabang

    5. Tebingtinggi

    6. Payakumbuh

    7. Pekanbaru

    8. Cimahi

    9. Tasikmalaya

    10. Salatiga

    11. Yogyakarta

    12. Batu

    13. Kupang

    14. Singkawang

    15. Kendari

    16. Ambon

    17. Jayapura

    18. Sorong

    Berikut daftar daerah yang masa jabatan kepala daerahnya akan berakhir pada 2023:

    Gubernur:

    1. Sumatera Utara

    2. Riau

    3. Sumatera Selatan

    4. Lampung

    5. Jawa Barat

    6. Jawa Tengah

    7. Jawa Timur

    8. Bali

    09. Nusa Tenggara Barat

    10. Nusa Tenggara Timur

    11. Kalimantan Barat

    12. Kalimantan Timur

    13. Sulawesi Selatan

    14. Sulawesi Tenggara

    15. Maluku

    16. Papua

    17. Maluku Utara

    Wali Kota:

    1. Serang

    2. Tangerang

    3. Bengkulu

    4. Gorontalo

    5. Jambi

    6. Bekasi

    7. Cirebon

    8. Sukabumi

    9. Bandung

    10. Banjar

    11. Bogor

    12. Tegal

    13. Malang

    14. Mojokerto

    15. Probolinggo

    16. Kediri

    17. Madiun

    18. Pontianak

    19. Palangkaraya

    20. Tarakan

    21. Pangkal Pinang

    22. Tanjung Pinang

    23. Tual

    24. Subulussalam

    25. Bima

    26. Palopo

    27. Parepare

    28. Bau-bau

    29. Kotamobagu

    30. Sawahlunto

    31. Padang Panjang

    32. Pariaman

    33. Padang

    34. Lubuklinggau

    35. Pagar Alam

    36. Prabumulih

    37. Palembang

    38. Padang Sidempuan

    Bupati:

    1. Aceh Selatan

    2. Pidie Jaya

    3. Padang Lawas Utara

    4. Batu Bara

    5. Padang Lawas

    6. Langkat

    7. Deli Serdang

    8. Tapanuli Utara

    9. Dairi

    10. Indragiri Hilir

    11. Merangin

    12. Kerinci

    13. Muara Enim

    14. Empat Lawang

    15.Banyuasin

    16. Lahat

    17. Ogan Komering Ilir

    18. Tanggamus

    19. Lampung Utara

    20. Bangka

    21.Belitung

    22.Purwakarta

    23. Bandung Barat

    24. Sumedang

    25. Kuningan

    26. Majalengka

    27. Subang

    28. Bogor

    29. Garut

    30. Cirebon

    31. Ciamis

    32. Banyumas

    33. Temanggung

    34. Kudus

    35. Karanganyar

    36. Tegal

    37. Magelang

    38. Probolinggo

    39. Sampang

    40. Bangkalan

    41. Bojonegoro

    42. Nganjuk

    43. Pamekasan

    44. Tulungagung

    45. Pasuruan

    46. Magetan

    47. Madiun

    48. Lumajang

    49. Bondowoso

    50. Jombang

    51. Tangerang

    52. Lebak

    53. Gianyar

    54. Klungkung

    55. Lombok Timur

    56. Lombok Barat

    57. Sikka

    58. Sumba Tengah

    59. Nagekeo

    60. Rote Ndao

    61. Manggarai Timur

    62. Timor Tengah Selatan

    63. Alor

    64. Kupang

    65. Ende

    66. Sumba Barat Daya

    67. Kayong Utara

    68. Sanggau

    69. Kubu Raya

    70. Pontianak

    71. Kapuas

    72. Sukamara

    73. Lamandau

    74. Seruyan

    75. Katingan

    76. Pulang Pisau

    77. Murung Raya

    78. Barito Timur

    79. Barito Utara

    80. Gunung Mas

    81. Barito Kuala

    82. Tapin

    83. Hulu Sungai Selatan

    84. Tanah Laut

    85. Tabalong

    86. Panajam Pasut

    87. Minahasa

    88. Bolmong Utara

    89. Sitaro

    90. Minahasa Tenggara

    91. Kepulauan Talaud

    92. Morowali

    93. Parigi Moutong

    94. Donggala

    95. Bone

    96. Sinjai

    97. Bantaeng

    98. Enrekang

    99. Sidereng Rappang

    100. Jeneponto

    101. Wajo

    102. Luwu

    103. Pinrang

    104. Kolaka

    105. Gorontalo Utara

    106. Mamasa

    107. Polewali Mandar

    108. Maluku Tenggara

    109. Membramo Tengah

    110. Paniai

    111. Puncak

    112. Deiyai

    113. Jayawijaya

    114. Biak Numfor

    115. Mimika

    Komentar
    Additional JS