Ketika Anak Tumbuh Tanpa Sosok Ayah

Idealnya, anak tumbuh kembang dengan dua orangtua yang berdampingan. Namun, tak semua anak bisa mengalami hal demikian. Dika (10 tahun), tinggal hanya dengan Ibunya. Kedua orangtuanya bercerai saat ia berusia tiga tahun. Berbeda dengan Mutiara (30 tahun) tumbuh tanpa sosok ayah dari sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, karena sang ayah sudah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta. Lain lagi halnya dengan Karim (22 tahun) yang memiliki kedua orangtua lengkap tapi ayahnya tak pernah cukup berinteraksi. Ketiganya mungkin memiliki cerita yang berbeda namun mereka punya satu kesaaman, ketiadaan figur ayah. 17 November 2018Oleh: Mindy Paramita
Ketiadaan figur ayah bisa disebabkan oleh kematian, atau keputusan hukum (perceraian). Dilain itu, hilangnya sosok ayah juga bisa dikarenakan kehadiran fisik tanpa peran. Menurut dr. Irmia Kusumadewi SpKj(K) tak adanya sosok ayah bisa mengganggu perkembangan psikologis anak. Beberapa diantaranya;
- Anak secara konsisten mengeluhkan perasaan ditinggalkan, selalu merasa benci akan dirinya dan berusaha memerangi perasaan tersebut.
- Mempunyai kesulitan penyesuaian sosial, masalah pertemanan dan perilaku, sombong, mudah membenci, cemas dan tidak bahagia.
- Sering membolos, penurunan performa akademis.
- Kenakalan anak, kriminalitas pada remaja termasuk kekerasan dan kejahatan serta penyalahgunaan zat terlarang dan alkohol.
- Seks bebas dan kehamilan remaja.
- Anak dengan ketiadaan figur ayah akan merasa terlecehkan dan dengan mudah melakukan pelecehan.
Anak dengan kecemasan tinggi, mudah membolos tanpa alasan, melakukan atau menerima tindakan perisak memiliki kemungkinan dampak kurangnya peran ayah. Termasuk juga remaja yang mudah melakukan seks bebas dan sarat melakukan kenalakan remaja lainnya.
Lalu bagaimana solusinya?
Untuk anak yang masih dalam tahap tumbuh kembang tanpa sosok ayah, seorang ibu dan lingkungan sekitar (keluarga dan tenaga pendidik) perlu sadar bahwa mereka butuh pertolongan. Anak dengan ketiadaan sosok ayah, sangat membutuhkan kestabilan emosi. Karena afeksi yang tak ia dapatkan dari seorang ayah tidak akan mampu tergantikan oleh sosok yang lain. Ia harus bisa belajar berdamai dengan masa lalunya dan mengontrol emosi untuk mengarahkan ke arah yang positif. Disinilah peran dukungan keluarga dan tenaga pendidik sangat penting.
Lalu pertolongan seperti apa yang mereka butuhkan? Pertolongan profesional, seperti psikolog dan psikiater. Ini berguna untuk membantu mereka mengenal mekanisme yang baru untuk beradaptasi dengan kondisinya. Mereka harus bisa;
- Mendamping anak dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pergaulan.
- Memberikan penghargaan (reward) saat ia melakukan hal positif (misal, tidak membolos, tidak melakukan tindakan perisak, dan lainnya).
Berlangganan artikel SKATA langsung ke email Anda





Tidak ada komentar:
Posting Komentar