Sejarah Masjid Jogokariyan: Muncul di Sarang Komunis Kini Jadi Tempat Rekonsiliasi Eks PKI
SuaraJogja.id - Masjid Jogokariyan yang terletak di Jalan Jogokaryan No.36, Kemantren Mantrijeron, Kapanewon Mantrijeron, Kota Jogja diidentikkan dengan kampung islami. Barangkali tidak banyak orang yang tahu bila Masjid Jogokariyan dahulunya merupakan basis simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketua Dewan Syuro Takmir Masjid Jogokariyan, Ustaz Muhammad jazir ASP menjelaskan, kampung ini awalnya adalah tanah palungguh atau perumahan dinas bagi abdi dalem Prajurit Jogokaryo. Kawasan tersebut dibuka pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IV sekitar tahun 1822 atau tiga tahun sebelum terjadinya Perang Diponegoro.
"Selesai Perang Diponegoro, kemudian ada penyusupan pasukan," kata Ustaz Jazir ditemui SuaraJogja.id, Minggu (26/9/2021).
Pasukan yang menyusup justru semakin bertambah setelah masa kepemimpinan Sri Sultan HB ke- VIII. Saat itu, prajurit Keraton Jogjakarta tidak lagi prajurit reguler, hanya prajurit upacara.
"Jadi Prajurit Jogokaryo yang semula prajurit besar, ada kavaleri, infantri, dan artileri berubah menjadi prajurit upacara. Jumlah anggotanya pun menyusut dari 750 tinggal 75," ungkapnya.
Lantaran tak lagi berfungsi, maka Keraton Jogjakarta kalau akan berperang minta bantuan kepada tentara Belanda. Pasalnya, Belanda takut dan khawatir bila Keraton kuat jika punya pasukan. Alhasil, Prajurit Jogokaryo yang juga berstatus abdi dalem tidak lagi memiliki pekerjaan dan penghasilan.
"Kemudian tanah yang ada di sini diberikan sebagai tanah hak milik. Setelah kemerdekaan RI dikonversi ke tanah hak milik," katanya.
Tanah tersebut kemudian diberikan kepada para prajurit guna mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi karena kebiasaan dahulu di masa aktif sebagai prajurit serba kecukupan dan punya kebiasaan judi, candu (sejenis narkoba), hingga mabuk, maka perlahan tanah-tanah itu dijual. "Satu per satu mulai dari sawah sampai rumah dijual karena punya kebiasaan seperti itu. Tanahnya dibeli oleh kelompok pedagang yang berasal dari Karangkajen, Kotagede, serta Wonokromo," terang dia .
Menurut pria lulusan Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, para abdi dalem tersebut meski punya gelar tapi hidupnya miskin dibanding pendatang yang jadi pengusaha. Sehingga timbul kecemburuan sosial, situasi ini dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk menggalang massa. Sekitar tahun 1955-1956 menjelang pemilu dewan konstituante dan mulai berebut massa.
"Oleh karena itu, masyarakat di sini pada 1955-1956 lebih condong ke PKI. Karena slogan komunis yang menjanjikan sama rata dan sama rasa," ujarnya.
Selain itu, mereka sudah lama mereka mengalami marginalisasi karena ekonomi. Tanah-tanah yang luas ini pun jadi milik pengusaha yang datang.
"Akibatnya kecemburuan sosial itu ditumpangi isu-isu politik kelas. Hasilnya PKI mendapatkan dukungan yang cukup kuat," kata dia yang juga lulusa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Pertumbuhan massa PKI di wilayah Jogokaryan semakin kuat sejak 1955 sampai dengan 1966. Melihat semakin banyaknya masyarakat yang memilih PKI, puncaknya pada 12 Maret 1966, Mayjen Soeharto menerbitkan Surat Pernyataan Sebelas Maret atau yang dikenal dengan Supersemar.
"Dalam Supersemar itu dinyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang. Kemudian diadakan operasi penangkapan, di sini banyak warga yang ditangkap," tuturnya.
Warga yang ditangkap ada yang dibawa ke LP wirogunan, Nusa Kambangan, sampai Pulau Buru. Bahkan ada yang hilang dan dieksekusi entah dimana. Dampaknya, mereka yang dituding berafiliasi dengan PKI meninggalkan anak-anaknya.
"Ada anak-anak yang ditinggalkan masih ada di sini tapi hidupnya susah," katanya.
Ketika tahun 1966 selesai penumpasan G30S PKI, warga muslim di sini, sambungnya, secara politis memberanikan diri merintis pembangunan masjid. Namun saat akan membangun masjid terkendala ketersediaan lahan.
"Karena tidak ada tanah wakaf maka diupayakan beli. Beli tanahnya dibantu oleh pengusaha dari Karangkajen, bahkan sebagai tokoh utamanya yaitu Pak Haji Jazuri sebagai pengusaha batik yang besar, kebetulan punya tanah luas. Kemudian bisa membeli lahan seluas 900 meter persegi," ujar dia.
Awalnya Masjid Jogokariyan tidak dibangun di pinggir seperti saat ini, melainkan di sebelah selatan. Saat akan dibangun, Pak Haji Amin Said sebagai panitia usul jika masjid sebaiknya dibangun di pinggir jalan. Akhirnya muncul ide untuk tukar guling dengan tanah yang ada di pinggir jalan.
"Pak Haji Amin Said itu ayah saya yang mengusulkan bagaimana kalau tanah yang ada di tepi jalan milik Ibu Abu Hadis ditukar dengan tanah yang sudah dibeli tadi," imbuhnya.
Singkat cerita, pemilik tanah yakni Ibu Abu Hadis menyetujui usulan tersebut. Sebab, saat itu suaminya sudah mau pensiun dari Dinas Pekerjaan Umum di Temanggung, Jawa Tengah.
"Akhirnya tanah ditukar dan ditambah pihak masjid saat itu membangunkan rumah untuk Ibu Abu Hadis lengkap dengan isinya," jelasnya.
Dia mengatakan, tanggal 22 september 1966 ialah peletakan batu pertama Masjid Jogokariyan. Masjid diresmikan pada 20 agustus 1967.
"Masjid ini diresmikan dan digunakan pertama kali untuk salat jumat. Waktu itu bangunan utamanya hanya masjid 9x9 meter persegi ditambah serambi 5x6 meter persegi," ungkapnya.
Warga Jogokaryan lainnya yang sudah tinggal berpuluh-puluh tahun silam, Setiyadi (76) menyampaikan, dahulu masyarakat masih berafiliasi dengan PKI. Banyak warga yang ditangkap karena dinilai terlibat dalam partai ataupun organisasi underbow-nya. Seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) serta Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Ia sendiri aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kala masih duduk di bangku SMA.
Saat penangkapan, katanya, ia hanya melihat mereka dibawa pergi oleh aparat. Ia tidak tahu mereka dibawa kemana.
"Mungkin ada yang dibawa ke Nusakambangan, Cilacap atau kemana. Saya tidak tahu persis," kata dia yang berbaring di kasur usai mengalami kecelakaan lalu lintas.
Jadi Tempat Rekonsiliasi
Menurutnya, butuh waktu yang cukup panjang untuk menghapus stigma terhadap orang yang dicap sebagai PKI. Langkah yang dilakukan yakni masjid hadir sebagai rekonsiliasi.
"Mami membuat masjid hadir memberi untuk mereka (orang yang dicap PKI) dengan memberi bantuan berupa makanan, obat, dan mendirikan SD Muhammadiyah Jogokariyan," katanya.
Lanjutnya, pada 1968 SD Muhammadiyah Jogokariyan didirikan di rumah Haji Jazuri yang saat itu terletak di Jalan Jogokariyan nomor 5. Sekolah itu dipakai oleh anak-anak simpatisan PKI yang sudah tidak punya orang tua akibat penumpasan G30S PKI.
"Mereka yang orang tuanya dipenjara atau hilang, sekolah di sana dan tidak dikenakan biaya sama sekali," ucapnya.
Ustaz Jazir termasuk orang yang mengenyam bangku SD di sana. "Saya masih ingat saat itu teman saya satu kelas ada yang 2-3 orang adalah kakak beradik," selorohnya.
Di sekolah itu, siswa diajarkan beribadah dan mengaji. Mulai kelas 3 SD setiap zuhur dibawa ke masjid untuk salat berjamaah.
"Sampai tahun 1973 SD Muhammadiyah Jogokaryan masih menempati lokasi yang sama. Saya termasuk lulusan pertama, kemudian pada 1974, ada tanah di Jalan Jogokaryan No.77 yang diwakafkan oleh salah seorang pengusaha untuk dipindah ke sana," jelasnya.
Semua yang bersekolah di sana diperlakukan sama. Dengan demikian, masjid punya peranan penting.
"Sampai sekarang ini ada jemaah kami orang-orang yang dulunya dicap PKI tapi mereka sudah melebur jadi satu," katanya.
Dia mengklaim tidak ada kendala untuk menghapus stigma miring soal PKI. Menurutnya, proses pendekatannya halus melalui pendidikan maupun sosial.
"Bukan pakai pendekatan politik, alhamdulillah enggak masalah," ujar pria yang jadi takmir sejak tahun 1999 itu.
Ditambahkannya, Masjid Jogokariyan bisa menjadi seperti ini, penataan dimulai tahun 1999. Hasil penataan mulai nampak pada 2003. k
"Kami bisa renovasi masjid, bangunan yang lama dibongkar dan membangun yang baru. Pada 2005 kami bisa memperluas tanah masjid yang semula 900 meter, 300 meter dijual tinggal 600 meter. Sekarang sudah diperluas menjadi 1.478 meter persegi," tuturnya.
Tidak Terlalu Besar
Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Baskara T. Wardaya mengatakan, kekerasan politik yang terjadi mulai 1965, banyak yang jadi korban sejatinya tidak mengerti tentang apa yang terjadi di Jakarta pada 1 Oktober 1965.
"Sampai saat ini pun masyarakat belum tahu apa yang terjadi saat itu. Informasinya masih buram, tergantung mau dilihat dari perspektif mana," tutur Romo Baskara.
Sehingga tidak ada perlawanan, yang terjadi ialah mereka ditangkap lalu dibuang, dieksekusi, dan ditembak. Jika yang dipermasalahkan ialah karena menjadi anggota PKI, padahal partainya legal.
"PKI kan bukan partai terlarang waktu itu," ujarnya.
Untuk korban PKI di DIY, katanya, korban terbesar justru berada di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Itu berdasarkan penelitian para sejarawan.
"Jogja kan termasuk Jawa bagian tengah, ya korbannya banyak sekali. Tidak terkecuali mereka yang dibuang di luweng di Kabupaten Gunungkidul," papar dia.
Ia menyebut, PKI baru mulai dilarang oleh pemerintah pada 1966.
Sepengetahuannya, pergerakan PKI di Jogja sendiri tidak terlalu besar. Alasannya, kebanyakan anggota partainya petani dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dan ada banyak pemuda.
"BTI ini kan mencoba melaksanakan UU Pokok Agraria tahun 1960 dengan yang namanya aksi sepihak. Itu banyak berada di Jawa Tengah," katanya.
Hal tersebut tidak banyak di Jogja karena tanah milik Sri Sultan. Sehingga petaninya berbeda dengan di Jawa Tengah.
"Menurut saya pergerakan reformasi agraria itu tidak banyak karena ini tanah Sri Sultan. Sedangkan di tempat lain, tanah-tanah dikuasai tuan tanah," tambahnya.
Komentar
Posting Komentar