Riwayat Soesilo, Ahli Malaria Era Kolonial yang Dieksekusi Jepang
Ilustrasi Mozaik Ahli Malaria Era Kolonial yang Dieksekusi Jepang. tirto.id/Rangga
Dr. Raden Soesilo adalah ahli malaria pribumi era Hindia Belanda. Ia dieksekusi Jepang 78 tahun lalu. Makamnya ada di Ancol.
Ereveld Ancol adalah salah satu makam kehormatan yang dimiliki sekaligus dikelola pemerintah Belanda untuk mereka yang tewas dalam Perang Dunia Kedua terutama saat masa pendudukan Jepang. Sebagian yang dimakamkan di sana semasa hidupnya mengabdi sebagai Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) atau orang-orang yang dihormati.
Terkubur pula mereka yang tidak diketahui namanya, dengan kayu nisan sekadar bertuliskan “onbekend” atau “onbekenden”—merujuk banyak orang tidak dikenal yang dikubur dalam satu liang lahat. Profesor Achmad Mochtar, direktur pribumi pertama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang meninggal dipenggal Jepang, termasuk di antara yang disemayamkan dengan model nisan bersama-sama.
Berjarak 10 meter bersemayam koleganya, Dr. Raden Soesilo, dengan nisan yang mewakili 10 orang bertuliskan “Verzamelgraf Bandjermasin”, menandakan jenazah dipindahkan dari Banjarmasin, tempat ia dieksekusi Jepang pada 1943. Jepang menuduh Soesilo merencanakan pemberontakan dan menjalin kontak dengan kapal selam Amerika Serikat di Sungai Barito.
Soesilo adalah dokter peneliti ahli malaria lulusan sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman Hindia Belanda, STOVIA. Ia juga adik salah satu pendiri Boedi Oetomo, Dokter Soetomo. Sejak 1931, Soesilo menjabat sebagai kepala laboratorium malaria di Geneeskundig Laboratorium, yang berubah nama menjadi Lembaga Eijkman pada 1938.
Sangat wajar pemerintah kolonial menaruh perhatian besar terhadap malaria karena itu adalah penyakit tropis yang merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dan dapat menyebabkan endemi, bahkan hingga saat ini. J. Kevin Baird dalam artikel di BMC Public Health (2017) menyebut hampir 3 miliar orang terancam terkena malaria, dengan ratusan juta orang terinfeksi dan ratusan ribu meninggal.
Studi tentang penyakit ini dimulai sejak akhir abad ke-19 dan Lembaga Eijkman menjadi pelopor untuk daerah tropis. Lembaga Eijkman misalnya menjadi tuan rumah bagi Robert Koch, ahli patologi terkemuka asal Jerman, saat melakukan survei mikroskopis malaria, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk endemik di Hindia Belanda, di Jawa pada 1899.
Ketika ahli serangga dan parasitologi Steffen Lambert Brug menjabat Direktur pada 1920, Lembaga Eijkman memasukkan unsur taksonomi dan sistematika nyamuk untuk mempelajari penyakit ini.
Soesilo memainkan peran penting. Ia bersama para gurunya, W. A. P. Schüffner dan Nicholas Swellengrebel, termasuk dalam tim yang memelopori penelitian terhadap 24 varietas spesies nyamuk Anopheles pembawa malaria. Mereka merintis dimasukkannya identitas spesies nyamuk ke dalam sains dan kesehatan masyarakat, sebuah elemen penting dalam kedokteran tropis hingga kini.
J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki dalam Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang. Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Romusha 1944-1945 (hlm. 58, 60-61) menyebut kontribusi mereka dalam mengenal karakter nyamuk Anopheles, taksonomi, dan epidemiologi malaria memelopori malariologi di Asia. Malariologi dalam kesehatan masyarakat merupakan penerjemahan dari penemuan Ronald Ross, seorang ahli bedah Angkatan Darat India-Inggris, pada 1898. Kembali mengutip J. Kevin Baird dalam artikel di BMC Public Health (2017), Ross meletakkan landasan rasional dalam melawan malaria, yaitu menyerang nyamuk pembawanya, bukan sekadar mengobati yang sudah terinfeksi.
Ahli Malaria
Satu contoh adalah ketika Soesilo menangani infeksi malaria yang tinggi di Jawa. Karena masyarakat dekat dengan budi daya padi, Soesilo mempelajari Anopheles aconitus yang suka berkembang biak di sawah. Ia menemukan ada periode tertentu di mana larva spesies ini tergenang dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar sepekan kemudian, larva menjadi dewasa dan terbang meninggalkan sawah. Soesilo pun meminta petani untuk menyiram air ke sawah pada periode tertentu dengan tujuan agar larva hanyut dan mati sebelum berkembang.
Hasilnya, di mana pun metode tersebut diterapkan, kasus infeksi malaria hampir lenyap.
“Saya percaya penyiraman sawah pada periode-periode tertentu berkontribusi atas sebagian besar terberantasnya malaria di Jawa. Budi daya padi pun terus berkembang tanpa membawa konsekuensi beban malaria yang berat. Saya sangat menghargai Soesilo atas peninggalan itu,” tulis J. Kevin Baird, ahli malaria dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), dalam sebuah email pada 10 Desember 2021.
Baird memberikan contoh lain yang menunjukkan kejeniusan Soesilo menggabungkan pengetahuan lokal dan sains. Anopheles sundaicus adalah spesies pembawa penyakit malaria di dekat pantai. Spesies ini suka bertelur di atas hamparan alga yang mengapung—habitat yang ideal bagi telur untuk berkembang menjadi dewasa dan terlindung dari pemangsa. Soesilo menemukan bahwa banyak kolam ikan dan udang yang terbengkalai di pantai tertutup hamparan alga, rumah yang sangat menyenangkan bagi larva dalam jumlah yang sangat besar. Inilah penyebab penyakit malaria di kawasan pesisir melonjak sangat tinggi.
Jika kolam dibersihkan sehingga bebas dari hamparan alga, nyamuk menghilang, demikian juga kasus malaria.
Baird melanjutkan bahwa peran terbesar Soesilo adalah memelopori metode pengendalian malaria yang disebut “sanitasi spesies”. Sanitasi spesies mencakup identifikasi spesies nyamuk, mempelajari bagaimana ia hidup di alam, dan pada akhirnya mencari tahu kelemahannya. Pengetahuan ini diperlukan agar manusia dapat mengetahui cara melawannya dengan cara memodifikasi lingkungan.
Dengan segala reputasinya tersebut, pada 1936 Soesilo pernah memimpin pertemuan delegasi Indonesia dengan tim ahli malaria dari Liga Bangsa-Bangsa yang dikepalai oleh Emilio Pampana di Sumatra.
Ketika Jepang datang, mereka menganggap dokter-dokter lulusan STOVIA harus diawasi ketat. Jepang menilai STOVIA adalah inkubator pemikiran dan gerakan politik, sebuah kecurigaan yang sama sekali tidak keliru.
Di Kalimantan, sebuah pulau yang direncanakan menjadi koloni warga Jepang di Indonesia, fasis mengeksekusi ribuan orang dalam rentang 1943-1944, terutama warga Hindia yang memiliki kedudukan sosial tinggi dan berpendidikan. Pembantaian ini sebagian besar terjadi di Mandor, Kalimantan Barat, dan sebagian lagi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Kota yang disebut terakhir jadi tempat Raden Soesilo menutup usia. Ia dieksekusi tentara Jepang pada 20 Desember 1943, persis 78 tahun lalu.
Baca juga artikel terkait MALARIA atau tulisan menarik lainnya Uswatul Chabibah
(tirto.id - Humaniora)
Kontributor: Uswatul Chabibah
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Rio Apinino
Kontribusi Raden Soesilo terhadap pemberantasan malaria di Hindia Belanda sangat besar
Berita Menarik Lainnya
Komentar
Posting Komentar