Bukan Spirit Doll, Boneka Ini Dibuat untuk Hibur Ibu yang Kehilangan Bayinya

Fenomena spirit doll sedang ramai diperbincangkan netizen. Tren ini pertama kali dipopulerkan oleh selebriti yang merawat dan memperlakukan boneka arwah tersebut seperti anaknya sendiri.
Kepemilikan spirit doll ini masih menjadi pro kontra. Namun ada beberapa batasan yang perlu diperhatikan terlebih jika seseorang sudah terjerembab dalam ruang halusinasi. Artinya, orang tersebut tidak bisa membedakan antara realitas dan halusinasi.
Jika di Indonesia tren dengan sebutan spirit doll, di luar negeri, ada 'reborn babies'. Reborn babies ini populer di Inggris dan Amerika Serikat, dikoleksi karena penampilannya yang realistis, lengkap dengan rambut yang terbuat dari mohair, urat, kuku, bulu mata - dan bahkan sentuhan air liur di sudut mulut.
Tapi selain pecinta boneka, wanita yang berduka juga termasuk di antara pembeli boneka yang mirip dengan bayi ini.
Seorang warga Inggris Nikki Hunn, desainer grafis yang sekarang membuat boneka, mengatakan kepada surat kabar Le Quotidien bahwa dia telah menciptakan sekitar puluhan boneka untuk wanita yang kehilangan anak.
Bagi beberapa orang, 'reborn dolls' lebih dari sekadar mainan atau barang baru bagi banyak kolektornya. The Guardian mengutip sebuah studi tentang manfaat terapi terapi boneka untuk mengelola kecemasan dan depresi.
Boneka hiperrealistis juga menawarkan bantuan emosional kepada mereka yang berencana memiliki anak tetapi tidak bisa karena masalah kesuburan.
"Ada kenyamanan dalam memeluk dan secara fisik memegang sesuatu yang terasa seperti bayi, meskipun itu bukan bayi. Itu bisa melepaskan beberapa endorfin yang sama," kata pakar humaniora dari Concordia University di Montreal.
Namun, baik spirit doll atau reborn doll, pemiliknya tetap harus bisa membedakan mana yang nyata dan tidak. saat orang merawat boneka dan bersikap seolah itu adalah anaknya sendiri, itu sudah tergolong masalah.
Sementara itu efek psikologis dari kepemilikan boneka, baik spirit doll atau reborn doll ini bisa sangat tergantung dari seberapa jauh emosi yang terikat, antara si pemilik dengan bonekanya.
"Efeknya tentu tergantung diri mereka sendiri. Seberapa besar dan seberapa dalam keterikatan emosi dengan boneka tersebut," kata psikolog klinis Nuzulia Rahma Tristinarum dari Pro Help Center pada detikcom, Senin (3/1/2022).
Simak Video "Tren Konsultasi Dokter Hewan di Halodoc Naik Selama Pandemi"

(kna/up)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar