Mengenal Nord Stream 2, 'Senjata' Baru AS Hajar Rusia - CNBC Indonesia

 

Mengenal Nord Stream 2, 'Senjata' Baru AS Hajar Rusia

sef, CNBC Indonesia
News
Selasa, 08/02/2022 15:30 WIB
Foto: AP/Matthew Brown

Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan Barat dan Rusia masih tegang. Meski pemimpin Prancis Emmanuel Macron kini bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk menyelesaikan masalah, konflik terus memanas.

Terbaru, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden yang bertemu Kanselir Jerman Olaf Scholz memberi ancaman baru ke Rusia, Senin (7/2/2022). Jika Rusia menyerang Ukraina, Barat akan menghentikan proyek pipa Nord Stream 2.

Lalu apa sebenarnya Nord Stream 2? Mengapa ini jadi "jurus maut" AS dan sekutu memukul Rusia?

Pipa Nord Stream 2 adalah jalur pipa gas alam antara Rusia dan Jerman. Saat ini jalur pipa itu sebenarnya sudah rampung, namun belum beroperasi.

Ini merupakan kelanjutan Nord Stream 1, yang telah beroperasi di jalur yang sama sejak 2011 di dalam Laut Baltik. Pipa membentang 1.230 km dan menghubungkan Ust-Luga di Rusia dengan Greifswald di timur laut Jerman.

Mengutip Euronews, konstruksi sudah dimulai sejak Mei 2018. Namun, proyek selesai 10 September 2021, terlambat 1,5 tahun dari jadwal.

Siapa Pemiliknya?

Pemilik pipa Nord Stream 2 adalah raksasa energi milik negara Rusia Gazprom. Di mana BUMN Rusia itu mengambil alih setengah dari biaya proyek senilai US$ 11 miliar.

Sisanya ditanggung konsorsoun perusahaan Eropa. Yakni MV (Austria), Wintershall Dea (Jerman), Engie (Prancis), Uniper (Jerman) dan Shell (Inggris).

Idealnya, jika sah beroperasi, seharusnya Nord Stream mengirimkan 55 miliar meter kubik gas setiap tahun ke 26 juta rumah tangga potensial di Jerman. Tetapi proyek tersebut masih memerlukan sertifikasi dari otoritas Jerman sebelum dapat mulai mengirimkan gas.

Di sisi lain, proyek ini kontroversial bagi sejumlah negara di kontinen itu seperti Ukraina dan Polandia. Karena ini akan menghilangkan skema "biaya transit" dari alur pengantaran gas sebelumnya.

Siapa yang Untung dengan Nord Stream?

Sebenarnya, awalnya Jerman senada dengan Rusia. Jerman mengandalkan gas Rusia, yang dianggap sebagai bahan bakar transisi dalam upaya meninggalkan energi fossil.

Pipa akan menjadi cara yang relatif murah untuk mendapatkan bahan baku dan memenuhi kebutuhan energi negara. Namun, pemerintahan kini bukanlah pemerintahan dulu.


Russian President Vladimir Putin, right, listens during a joint press conference with French President Emmanuel Macron after their talks Monday, Feb. 7, 2022 in Moscow. Russian President Vladimir Putin was back at the Kremlin in Moscow following his diplomatic foray to get support from China over the weekend during the Winter Olympics. Putin was hosting the prime meeting of the day Monday as his French counterpart Emmanuel Macron was on a mission to de-escalate tensions. (AP Photo/Thibault Camus, Pool)

Foto: AP/Thibault Camus

Menggunakan Nord Stream 2 sebagai "jurus mau" memukul Rusia sebenarnya sudah didengungkan sejumlah pihak. Salah satunya mantan Duta Besar Jerman untuk AS, Wolfgang Ischinger.

"Saya pikir saluran pipa tersebut merupakan item utama bagi kami, jika kami menanganinya dengan cerdas," katanya dimuat CNBC International.



"Jika kita (Jerman) harus menutup proyek pipa ini, Rusia pasti akan kehilangan. Anda tahu, puluhan miliar dolar atau euro ke depan," tegasnya lagi.

Namun ia menegaskan, Barat tetap perlu hati-hati. Apalagi, melansir Eurostat, sekitar 43% total impor gas Eropa berasal dari Rusia.

AS pun disebut tengah memutar otak untung mengisi kekosongan pasokan gas dengan LNG jika kekurangan pasokan terjadi. LNG dari Qatar misalnya jadi salah satunya.

Di sisi lain Rusia juga mulai melebarkan ketergantungan pendapatan bahan bakar fossilnya ke negara lain. Salah satunya China.

Pekan lalu, kedua negara menyetujui kontrak 30 tahun untuk memasok gas ke China dan membangun jaringan pipa baru. Tetapi, mengutip The Guardian, UE tetap menjadi pelanggan yang menguntungkan untuk saat ini.

Pemerintahan baru didukung tiga partai berbeda. Termasuk Partai Hijau yang menolak proyek tersebut karena alasan geostrategis dan kebijakan iklim.

Rusia sendiri tentu bisa mendapat manfaat dari ini karena hasil penjualan gas, yang akan membawa keuntungan finansial.



Halaman 2>>

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya 

Artikel populer - Google Berita