Alasan Indonesia Tiada di Daftar Negara Tak Bersahabat di Mata Rusia - Tim detikcom - detikNews - Opsiin

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Alasan Indonesia Tiada di Daftar Negara Tak Bersahabat di Mata Rusia - Tim detikcom - detikNews

Share This

 

Alasan Indonesia Tiada di Daftar Negara Tak Bersahabat di Mata Rusia

Tim detikcom - detikNews
Rabu, 09 Mar 2022 07:41 WIB
Russian President Vladimir Putin attends a flag raising ceremony on the ferry Marshal Rokossovsky via a video link at the Novo-Ogaryovo state residence outside Moscow on March 4, 2022. (Photo by Alexey NIKOLSKY / SPUTNIK / AFP)
Foto: Presiden Vladimir Putin (AFP/ALEXEY NIKOLSKY)
Jakarta -

Indonesia tidak masuk dalam daftar negara-negara yang dianggap melakukan tindakan-tindakan tidak bersahabat terhadap Rusia. Alasannya karena daftar ini hanya berlaku bagi negara yang menjatuhkan sanksi terhadap Rusia karena invasi ke Ukraina.

Seperti dilansir Newsweek, Selasa (8/3/2022), daftar negara-negara tak bersahabat itu dirilis pemerintah Rusia pada Senin (7/3) waktu setempat, ketika invasi militer yang diperintahkan Presiden Vladimir Putin ke Ukraina memasuki hari ke-12.

Baca juga:

Kantor berita Rusia, TASS News Agency, dalam laporannya menyebut bahwa daftar itu telah disetujui oleh pemerintah Federasi Rusia.

"Australia, Albania, Andorra, Inggris, termasuk Jersey, Anguilla, British Virgin Islands, Gibraltar, negara-negara anggota Uni Eropa, Islandia, Kanada, Liechtenstein, Mikronesia, Monaco, Selandia Baru, Norwegia, Republik Korea (Korea Selatan), San Marino, Makedonia Utara, Singapura, Amerika Serikat, Taiwan, Ukraina, Montenegro, Swiss, Jepang," demikian seperti disebutkan dalam dekrit yang dirilis situs pemerintah Rusia.

Dekrit pemerintah Rusia itu menyebut bahwa negara-negara dan wilayah yang masuk ke dalam daftar dianggap telah melakukan 'tindakan tidak bersahabat terhadap Rusia, perusahaan Rusia dan warga negaranya'.

"Negara-negara dan wilayah yang disebutkan dalam daftar telah menerapkan atau bergabung menjatuhkan sanksi terhadap Rusia setelah dimulainya operasi militer khusus Angkatan Bersenjata Rusia di Ukraina," sebut TASS News Agency dalam laporannya.

Disebutkan juga oleh pemerintah Rusia bahwa transaksi bisnis di Rusia yang melibatkan negara-negara yang masuk dalam daftar, akan membutuhkan izin khusus dari pemerintah. Langkah ini merespons rentetan sanksi yang dijatuhkan negara-negara Barat terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina.

Simak Video 'Jokowi Ungkap Perang Rusia VsUkraina Picu Krisis Pengungsi Terbesar':

Kenapa Indonesia Tak Sanksi Rusia?

Hampir dua minggu setelah invasi Rusia ke Ukraina, tanggapan dari sejumlah negara dipertanyakan. Pada Rabu (02/03) lalu, sembilan dari 11 negara Asia Tenggara mendukung resolusi Majelis Umum PBB untuk menegur Moskow atas invasinya dan menyerukan perdamaian. Sementara Vietnam dan Laos, dua mitra bersejarah Rusia, menyatakan abstain.

Seperti dilansir DW, terlepas dari pilihan pemberian suara secara diplomatik, tanggapan dari pemerintah Asia Tenggara beragam- beberapa diam. Singapura membuat keputusan langka untuk menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Indonesia dengan cepat mengkritik tindakan Presiden Vladimir Putin. Filipina, sekutu perjanjian AS, menggambarkan dirinya sebagai pihak netral. Sementara itu, Thailand dan Malaysia tetap diam.

Baca juga:

Rusia dipandang sebagai mitra dagang utama

Banyak pemimpin regional telah menyerukan perdamaian, tetapi berusaha untuk tidak memihak dalam konflik. Rusia adalah mitra dagang terbesar kesembilan dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), yang kemungkinan menjadi alasan beberapa negara memilih untuk tidak mengkritik Moskow. Lebih penting lagi, Rusia adalah pemasok senjata terbesar di kawasan itu, mengutip laporan Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm.

Lebih dari 80% peralatan militer Vietnam telah disuplai oleh Rusia sejak tahun 2000. Rusia juga telah menjual senjata ke Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan menjadi salah satu penyedia utama amunisi kepada junta militer Myanmar. Pada Desember 2021, Jakarta juga menjadi tuan rumah latihan maritim bersama Rusia-ASEAN yang pertama.

Zachary Abuza, seorang profesor di National War College di Amerika Serikat mengatakan, sudut pandang militer bisa dilebih-lebihkan. "Sebagian besar ekspor senjata Rusia terkonsentrasi di Vietnam dan Myanmar", paparAbuza. Sementara penjualan ke negara-negara regional lainnya gagal berkembang seperti yang diharapkan Moskow.

"Ada banyak sekali kesepakatan," kata Abuza menambahkan.

Sebaliknya, dia merujuk pada penjelasan lain. Bagian dari elit politik Asia Tenggara memandang Putin sebagai pemimpin kuat yang telah mencerca tatanan dunia yang dipimpin AS. Presiden Filipina Rodrigo Duterte memuji Putin sebagai "pahlawan favoritnya." Tahun 2021, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen menganugerahi pemimpin Rusia itu dengan "Orde Persahabatan."

Saksikan juga Live! Adu Perspektif: Aktivis '98 Bicara Demokrasi Kita

Keengganan untuk 'campur tangan' dalam urusan yang jauh

Menurut beberapa analis, pemerintah Asia Tenggara tidak ingin membuat Cina frustrasi, karena itu memberikan respons samar terhadap perang Ukraina. Beberapa negara Asia Tenggara bersengketa dengan Beijing atas klaim wilayah di Laut Cina Selatan dan kawasan itu tidak ingin meningkatkan persaingan AS-Cina.

Namun, Shada Islam, seorang komentator hubungan internasional Asia yang berbasis di Brussel, menilai tanggapan itu tidak banyak kaitannya dengan Cina melainkan lebih pada "kewaspadaan tradisional kawasan itu untuk tidak mencampuri urusan negara lain," terutama atas apa yang bagi sebagian orang tampak sebagai krisis yang jauh di Eropa Timur.

Beberapa hari setelah invasi, Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana mengatakan, "bukan urusan kami untuk ikut campur dalam apa pun yang mereka lakukan di Eropa."

AS dan negara-negara Eropa "kecewa dan sedikit bingung dan berharap mereka dapat meyakinkan [pemerintah Asia Tenggara] untuk berubah pikiran," kata Islam.

Selama beberapa dekade, pemerintah Asia Tenggara telah mengambil kebijakan ketat untuk tidak mencampuri urusan negara lain - yang disebut "Cara ASEAN." Namun, tampaknya ada celah terbentuk dalam posisi ini, setelah beberapa pemerintah mengambil garis keras terhadap junta militer Myanmar, dengan melarang hadir dalam pertemuan puncak regional tahun 2021.

Tampaknya juga ada banyak perdebatan, terutama di garis depan tentang mengapa perang di Ukraina pecah. Menurut survey terbaru Negara Asia Tenggara, yang diterbitkan Februari 2022 oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute, pendapat terbagi antara AS dan Cina, tetapi mayoritas warga Asia Tenggara bertekad untuk tidak terseret ke dalam orbit salah satu negara adidaya.

"Sementara menentang penggunaan kekuatan militer Rusia terhadap warga sipil dan pelanggaran kedaulatan Ukraina, negara-negara di kawasan juga harus berbicara tentang akar penyebab perang: yakni perluasan NATO ke Eropa Timur yang memprovokasi ketidakamanan Rusia," demikian argumen Evi Fitriani, seorang Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Saksikan juga Live! Adu Perspektif: Aktivis '98 Bicara Demokrasi Kita




(rdp/rdp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages