Cerita Pemindahan Makam Raden Ronggo dan Langit yang Tiba-tiba Pekat Disertai Kilatan Petir - Halaman all

TRIBUNJOGJA.COM - Nisan di kotak makam nomer 49 itu sudah lenyap.
Di denah yang tertempel di sebelah pintu makam, deretan makam itu tidak bernama atau tidak diketahui siapa yang dikuburkan.
Namun abdi dalem Makam Banyusumurup, Mugi Wiharjo, menyebut di situlah dulu jenazah Raden Ronggo Prawirodirjo III dikuburkan pada 1810.
Dari kotak itu pula pada 1957, makamnya dibongkar dan kerangkanya dipindahkan ke Magetan.
Pembongkaran dan pemindahan makam Raden Ronggo Prawirodirdjo III ini menjadi episode menarik dari kisah makam Banyusumurup yang dibangun sejak masa Sunan Amangkurat I yang bertahta di Keraton Pleret.
Putra Sultan Agung yang dikenal pemimpin sangat bengis ini awalnya menyediakan Banyusumurup sebagai pekuburan Pangeran Pekik dan para pengikut utamanya yang dieksekusi pada 1659 karena dianggap berkomplot hendak membunuh raja.
Karena itu Banyusumurup sejak awal identik dengan pekuburan orang-orang hukuman dari kalangan dekat dengan istana.
Lantas mengapa pada 1957, Raden Ronggo "dikeluarkan" dari Banyusumurup?
Bisa jadi ini merupakan "koreksi" atas kekeliruan masa lalu oleh Sri Sultan HB IX. Raden Ronggo Prawirodirdjo III yang juga Bupati Maospati-Madiun dianggap memberontak oleh Sri Sultan HB II.
Karena itu ia diburu dan akhirnya ditemukan, mati oleh tombak Kyai Bleber miliknya sendiri. Jasadnya dibawa ke Yogyakarta, sebelum dimakamkan di Banyusumurup. Istrinya, BRAy Maduretno yang tak lain putri Sri Sultan HB II, berlepas diri dari keraton.
Ia meninggal dan dimakamkan di Gunung Bancak, Magetan, Jawa Timur. Hampir 150 tahun kemudian, Sri Sultan HB IX menyemati Raden Ronggo sebagai salah seorang penenteng kolonialisme.
Makamnya dipindah menyatu dengan istrinya di Gorang-Gareng.
Nah, cerita seram pembongkaran dan pemindahan makam Raden Ronggo Prawirodirdjo III itu diceritakan Mbah Kardi (78).
Mbah Kardi ini lahir, besar, dan tinggal di Dusun Banyusumurup. Rumahnya tak sampai 300 meter dari komplek makam. Dilahirkan pada 1940, saat makam Raden Ronggo Prawirodirjo III dibongkar, ia berusia 17 tahun.
"Jadi ya saya ingat betul kejadiannya. Waktu pembongkaran itu musim kemarau, lha tiba-tiba kok langit hitam, awan bergulung-gulung, kilat nyamber-nyamber, trus hujan. Kami semua waktu itu takut," kenang Mbak Kardi ketika ditemui awal 2018 lalu.
Tak banyak warga dusun yang berani mendekat ke komplek makam. Pekerjaan pembongkaran dilakukan abdi dalem dan orang-orang keraton serta kerabat Raden Ronggo.
Sesudah pembongkaran selesai, menurut Mbah Kardi, reda juga lah hujan serta cuaca buruk.
"Setelah kerangka dimasukkan peti, trus digotong menuju jalan dekat makam dusun di bawah sana. Waktu itu jalan ini masih setapak," jelas Mbah Kardi.
Jarak dari makam Banayusumurup hingga ke jalan di pintu masuk dusun sekitar satu kilometer. "Bisa dibayangkan jauh sebelum masa ini, atau awal-awalnya. Lokasi ini pastinya sangat terpencil dan sepi," lanjut pria yang punya 12 putra/putri ini.
Sesudah itu hingga sekarang, Mbah Kardi belum mendengar, melihat, dan mengalami peristiwa aneh lain.
"Sejak itu ya nggak ada yang aneh-aneh. Biasa saja kalau ada orang ziarah trus melihat penampakan sosok," katanya.
Tentang peristiwa di seputar pemindahan makam Raden Ronggo Prawirodirdjo III juga diakui sekilas oleh abdi dalem dan juru kunci makam, Mugi Raharjo. "Ada memang peristiwa-peristiwa yang diyakini mengiringi pemindahan makam saat itu," kata Mugi.
"Namun persisnya apa saya sendiri tidak mengetahui karena saya masih kecil," lanjutnya. Peristiwa mistis lain, menurut Mugi, sepanjang bertugas sebagai juru kunci, ya biasa-biasa saja.
Episode Raden Ronggo Prawirodirdjo III ini cukup menyita perhatian sejarah modern Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Pembangkangannya berkelindan dengan makin kuatnya cengkeraman kolonialisme Belanda masa Daendels ke keraton, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta.
Bersama Tumenggung Sumodiningrat, Raden Ronggo yang sama-sama menantu HB II, menjadi tokoh yang terlihat paling menentang Belanda. Di sisi lain ada Patih Danurejo II (menantu HB II juga) dan Putra Mahkota yang pro-Belanda.
Di kutub lain ada Sunan Paku Buwono IV dari Surakarta, yang terang-terangan bersekutu dengan Daendels, dan memiliki dendam pribadi kepada Raden Ronggo Prawirodirdjo III.
Posisi Sri Sultan HB II terjepit, dilematis karena Raden Ronggo menantu sekaligus salah seorang penasehat politiknya. Di sisi lain, ia mendapat tekanan hebat dari pihak Belanda.
Raden Ronggo menolak menghadap Daendels di Batavia. Pada 20 November 1810, ia pergi ke Madiun bersama 300 pengikut setianya. Itulah awal penanda perlawanannya kepada Belanda.
Ia memperkuat benteng di Maospati. Dukungan dan simpati datang dari berbagai elite Mataram, termasuk Bupati Panolan, Tumenggung Notowijoyo II, ayah mertua Pangeran Diponegoro.
Sultan HB II dalam tekanan Belanda akhirnya "mengirim" pasukan guna memburu Raden Ronggo. Namun demikian kenyataannya pasukan itu tidak berbuat apa-apa karena dilematis.
Dandels kemudian mengirim pasukan khusus, bersiasat dengan Patih Danurejo II, untuk menuntaskan misi. Pangeran Dipokusumo, saudara Pangeran Diponegoro, dijadikan panglima perang.
Ndalem Maospati diserbu, namun kosong. Raden Ronggo sudah memindahkan kubu ke Wonosari, Madiun beserta 100 pengikutnya yang tersisa. Ia diburu, lari ke Kertosono.
Dipokusumo akhirnya bertemu Raden Ronggo. Dengan tombaknya sendiri, Kyai Bleber, Raden Ronggo akhirnya tumbang di hadapan Dipokusumo. Jenazahnya tiba di Yogyakarta pada 21 Desember 1810.
Setelah dipertontonkan di muka umum, hari berikutnya jasadnya dimakamkan di Banyusumurup, bersatu dengan kuburan Pangeran Pekik, Pangeran Lamongan, dan Roro Oyi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar