Kisah Diponegoro Gelorakan Perang Jawa, Dipicu Penerapan Hukum Eropa Gantikan Hukum Islam - SINDOnews

 

Kisah Diponegoro Gelorakan Perang Jawa, Dipicu Penerapan Hukum Eropa Gantikan Hukum Islam

Sabtu, 23 Oktober 2021 - 09:49 WIB
Kisah Diponegoro Gelorakan Perang Jawa, Dipicu Penerapan Hukum Eropa Gantikan Hukum Islam
Potret Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Bingley Raffles karya George Francis Joseph, tahun 1817. Foto/wikipedia
A A A
Posisi Keraton Jogjakarta semakin dilemahkan penguasa Inggris di Hindia Belanda, pasca perjanjian yang dibuat pada 1 Agustus 1812. Upaya pelemahan Keraton Jogjakarta ini, sengaja dilakukan Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Bingley Raffles.

Baca juga: Kisah Bupati Jogja Tan Jin Sing, Bantu Ayah Diponegoro Jadi Raja dan Mengeksplorasi Candi Borobudur

Raffles sengaja melemahkan Keraton Jogjakarta, agar tidak membahayakan stabilitas keamanan daerah. Salah satu isi perjanjian yang melemahkan posisi Keraton Jogjakarta, adalah pembubaran kekuatan militer mereka.



Dikisahkan Peter Carey dalam bukunya yang berjudul "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1854". Perjanjian yang dibuat dengan inggris membuat Keraton Jogjakarta, harus membubarkan pasukan militernya yang berkekuatan 8.000-9.000 personel.

Baca juga: Memalukan! Muktamar XIX Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Kendari Ricuh



Setelah bala tentara itu dibubarkan, pada Agustus 1812 Raffles mencoba mengirim bekas pasukan militer tersebut ke Kalimantan Timur, untuk bekerja di perkebunan-perkebunan milik Alexander Hare.

Tetapi kebanyakan dari para mantan anggota militer Keraton Jogjakarta ini menolak, dan memilih tetap tinggal di ibu kota kesultanan. Bahkan, dikemudian hari banyak dari mantan tentara Keraton Jogjakarta ini bergabung dengan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825.

Aneksasi kawasan di daerah-daerah inti (negaragung) dan mancanagara timur, terus dilakukan Raffles. Daerah yang paling penting di sini adalah Kedu. Kedu merupakan terkenal sebagai wilayah yang makmur di Jawa, karena terkenal sebagai gudang beras. Selain tentunya pembagian wilayah Keraton Jogjakarta, dengan pendirian Pakualaman.

Baca juga: Memilukan, Hidup dalam Kemiskinan Atlet Cantik Berprestasi Ini Kini jadi Buruh Tani

Hal ini membuat daerah-daerah kekuasaan Keraton Jogjakarta yang cukup jauh, seperti terbengkalai secara ekonomi, maupun administratif pemerintahan. Kondisi itupun memicu ketidakpuasan penduduk, salah satunya penduduk Jipang.

Pada akhirnya, penduduk Jipang memberikan dukungan untuk pemberontakan saudara ipar Pangeran Diponegoro, Raden Tumenggung Aria Sosrodilogo, pada ketiga Perang Jawa 1827-1828.



Pemerintah Inggris hanya mau mempertahankan pejabat-pejabat dari tingkat subdistrik yakni demang, camat, mantri desa ke bawah. Hal ini membuat bupati lalu kehilangan jabatan. Kebanyakan mereka memilih kembali ke Jogjakarta, dan sekedar bertahan dengan kehidupan yang miskin.

Baca juga: Sabtu Pahing Gempa Daratan Getarkan Salatiga, Dipicu Sesar Merbabu, Merapi, dan Telomoyo

Keluhan-keluhan dari pejabat yang dipecat inilah yang sering disebut bupati dhongkol, menyebabkan banyak dari mereka bergabung dengan Pangeran Diponegoro pada 1825, untuk menghimpun kekuatan.

Pemberlakuan perjanjian yang memberatkan penduduk lokal kian membuat terjepit. Pada perjanjian di pasal delapan disebutkan semua orang asing dan orang Jawa yang lahir di luar wilayah kerajaan, akan diperlakukan menurut hukum pemerintah kolonial.

Sebenarnya klausul ini dirancang untuk maksud baik, yakni melindungi etnis Tionghoa. Namun ternyata membuahkan banyak masalah. Setelah Februari 1814, ketika pengadilan residen dibentuk, semua proses pengadilan atau ligitasi yang melibatkan orang Tionghoa, warga asing, kaum pendatang, dan orang-orang lain yang lahir di luar teritorial keraton Jawa selatan-tengah diadili di bawah hukum pemerintah Eropa.

Baca juga: 4 Pasangan Mesum Asyik Bersetubuh di Kamar Hotel di Makassar

Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan disemua lini masyarakat. Pihak penguasa keraton Jawa tidak puas dengan pembatasan-pembatasan pada wilayah kewenangan hukum mereka. Petani Jawa harus berjuang melawan suatu sistem hukum lain yang asing.

Tak ketinggalan komunitas-komunitas agama, menyesalkan bahwa pengadilan agama atau surambi tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga pengadilan untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal.

Inilah yang menyebabkan akhirnya Pangeran Diponegoro dengan pengetahuan hukum Islam Jawa yang kuat, turut menentangnya. Ia menyebut penguasaan bangsa Eropa di Jawa menjadikan kemalangan besar bagi orang Jawa, sebab rakyat dijauhkan dari hukum ilahi yang disampaikan oleh nabi, dan dipaksa tunduk pada hukum Eropa.

Baca juga: Mengungkap Misteri Kapal Van Der Wijck yang Terkubur di Perairan Lamongan

Kekecewaan Pangeran Diponegoro kian besar setelah tak diperkenankan menegakkan hukum pidana menurut Alquran, keyakinan yang dianutnya. Apalagi banyak hukum-hukum Eropa yang diterapkan justru bertentangan dengan landasan hukum agama Islam dan hukum Jawa, yang sebelumnya diterapkan.

Kewenangan hukum Islam Jawa dalam menangani kasus-kasus pidana, menjadi tema penting selama Perang Jawa. Tuntutan-tuntutan Diponegoro yang dilayangkan semasa perang untuk diakui sebagai pengatur agama, dengan kompetensi khusus atas isu-isu pidana mendapat sambutan luas.

Di awal Perang Jawa, Diponegoro berupaya untuk menghancurkan total sekalian Keraton Jogjakarta dan membangun keraton baru, yang belum tercemar di tempat lain. Kerinduan akan datangnya regenerasi moral di bawah panji-panji islam, dan restorasi martabat kesultanan akan menjadi tema-tema penting di tahun-tahun menjelang Perang Jawa, dan menjelaskan kenapa begitu banyak warga Keraton Jogjakarta, akhirnya berpihak ke Pangeran Diponegoro pada tahun 1825.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya