Pengamat China Peringatkan Dunia Bila Diam-diam Indonesia Memantik Krisis Minyak Global
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fassets.pikiran-rakyat.com%2Fcrop%2F0x0%3A0x0%2Fx%2Fphoto%2F2022%2F01%2F11%2F1095048518.jpg)
ZONAJAKARTA.com - China nampaknya begitu waspada dengan potensi Indonesia jadi negara besar.
China juga yang paling sadar akan potensi Indonesia kedepannya.
Maka tak heran China melakukan investasi di Indonesia saat ini untuk menuai hasil di masa depan.
Modal Indonesia menjadi negara besar sebenarnya sudah ada di depan mata.
Letak geografis, SDA dan SDM melimpah hingga kondisi keamanan yang stabil membuat Indonesia jadi lahan investasi hijau bagi investor.
Kondusifnya iklim investasi di Indonesia juga tak terlepas dari meningkatnya sektor pertahanan.
Sektor pertahanan ialah hulu balang utama Indonesia agar keadaan dalam dan luar negeri kondusif bagi kepentingan nasional.
Soal kepentingan nasional inilah yang harus diutamakan oleh Indonesia.
Kepentingan nasional di atas segalanya dan memang itu harus lebih dipentingkan saat ini.
Untuk mengamankan kepentingan nasionalnya itulah penguatan alutsista perlu dilakukan Indonesia.
Setidaknya Indonesia sudah mengamankan fregat FREMM dan Arrowhead.
Kemudian ada F-15 Eagle II dan Rafale.
Pembelian Rafale dan F-15 Eagle II inilah yang menyita perhatian dunia.
China salah satu negara yang getol menyoroti pembelian Rafale.
China melihat apa yang dibeli Indonesia sangat meningkatkan kemampuan pertahanannya.
"Pembelian dua jet tempur canggih (Rafale dan F-15 Eagle II) yang terus menerus dilakukan oleh Indonesia sangat mengejutkan. Dulu, pembelian jet tempur canggih Indonesia biasanya belasan atau satu digit. Misalnya, jumlah Su-27 buatan Rusia kurang dari 10.
Pembelian dua pesawat tempur generasi ketiga dan setengah tempur secara berturut-turut oleh Indonesia akan sangat meningkatkan kekuatan Angkatan Udaranya," ujar pakar militer China Han Dong dikutip dari thepaper.cn.
Tapi China juga menganggap Indonesia sebagai negara yang tak bakal mampu membayar Rafale dan F-15 Eagle II sekaligus.
Harganya yang terlampau mahal membuat Indonesia disinyalir kesulitan melunasi tagihan kedua jet tempur tersebut.
"Indonesia terlihat sangat pucat sekarang karena mereka menghabiskan banyak uang untuk pesawat yang dipertanyakan.
Jadi, media lokal mencoba gunakan istilah 'transfer teknologi' sebagai alasan untuk mendapatkan kontrak yang bagus.
Pembelian puluhan bahkan ratusan pesawat Rafale mahal oleh negara miskin sendiri patut dipertanyakan. Terutama mengingat standar harga dan kualitas.
Ya, Prancis tentu tidak akan menyediakan (transfer) teknologi untuk 36 pesawat, atau bahkan 100 pesawat, baik India, apalagi Indonesia," papar sohu.com.
Menyoal fregat FREMM dan Arrowhead, Indonesia juga mendapat perhatian.
Karena kapal perang Indonesia sudah banyak yang tua.
Contoh saja Ahmad Yani class yang sudah berumur lebih dari setengah abad.
Military.people.com.cn menjelaskan jika pembelian fregat baru bagi Indonesia tepat.
"Pada tanggal 16 September, di Pameran Pertahanan Internasional Inggris yang diadakan di London, Kementerian Pertahanan Indonesia (selanjutnya disebut Indonesia) menandatangani kontrak dengan British Babcock Company untuk membeli dua fregat "Arrow"-140.
Ini merupakan pembelian fregat canggih kedua dari Eropa setelah Indonesia memesan enam fregat kelas Bergamini dari Italia pada Juni tahun ini, menunjukkan tekad Indonesia untuk mempercepat modernisasi angkatan lautnya," papar military.people.com.cn pada 12 Oktober 2021.
Indonesia membutuhkan kapal perang jenis baru dengan profil standar NATO.
"Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di selatan Asia Timur, di tengah Samudra Pasifik Barat, dan berbatasan dengan Samudra Hindia."
Tapi Indonesia harus tetap melaju untuk membangun kekuatan angkatan lautnya demi keunggulan maritim.
"Untuk membangun kembali keunggulan maritimnya di Asia Tenggara, Indonesia meluncurkan rencana modernisasi angkatan laut pada tahun 2014 untuk meningkatkan kapal aktifnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Pertahanan Indonesia telah memeriksa banyak jenis kapal baru dengan bobot lebih dari 4.000 ton, termasuk fregat kelas Iver Huitfeldt class Denmark, fregat kelas Omega Belanda, fregat kelas atas Jepang dan kapal Bergamini Italia.
Pada Juni tahun ini, Indonesia memesan enam frigat kelas Bergamini dan dua frigat kelas Maestrale yang dipensiunkan oleh Angkatan Laut Italia dari Italia," jelasnya.
Namun bila militer Indonesia jadi besar maka bisa menimbulkan masalah kedepannya.
"Jika tank darat, artileri self-propelled, rudal, dll dapat diperkuat, tentara, angkatan laut dan angkatan udara Indonesia akan relatif kuat.
Tapi ini juga menimbulkan dua masalah.
Pertama, setelah militer Indonesia kuat, apa yang akan dipikirkan negara-negara sekitarnya?
Kedua, dengan berkembangnya kekuatan militer Indonesia, apakah Amerika Serikat akan menarik Indonesia ke dalam apa yang disebut strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat?
Ini adalah kemungkinan efek dari tatanan (pembelian) senjata ini," ujar pengamat militer dari China Cao Weidong dikutip dari workercn.cn.
Tapi baru kali ini pengamat China lainnya, Liu Jinlu dari Analis Guoyuan Futures menjelaskan bila Indonesia sedang memantik krisis global.
Semua dimulai dari krisis yang terjadi di Indonesia yakni kurangnya minyak sawit.
Padahal Indonesia produsen minyak sawit terbesar dunia.
Belakangan diketahui jika salah satu oknum pejabat kementerian di Indonesia melakukan tindak korupsi mengekspor 80 persen kebutuhan minyak sawit bagi rakyat ke Indonesia ke luar negeri.
Kali ini keadaan akan dibalik Indonesia, 20 persen diekspor ke luar negeri, 80 persen silahkan dinikmati masyarakat Indonesia.
Tapi dunia menjerit akan hal ini dimana Liu Jinlu menjelaskan ini akan jadi preseden buruk bagi kebutuhan minyak sawit di dunia.
Karena ekspor minyak sawit Indonesia menyumbang sekitar 60% dari total ekspor dunia, pemberlakuan larangan tersebut akan secara signifikan mengurangi pasar global dalam jangka pendek pasokan minyak sawit.
Indonesia, sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia, pemberlakuan larangan ekspor minyak sawit saat ini, tidak diragukan lagi memperburuk krisis pasokan minyak global.
"Logikanya, pelarangan itu seharusnya merupakan tindakan jangka pendek.
Di satu sisi, penurunan harga minyak sawit domestik di Indonesia berbanding terbalik dengan kenaikan harga pasar internasional.
Di sisi lain, dari sisi perkembangan industri, pelarangan akan berdampak pada rantai industri minyak sawit domestik Indonesia dalam jangka pendek.
Minyak berada dalam siklus peningkatan produksi.
Di bawah penurunan ekspor yang tiba-tiba, penghancur domestik akan menghadapi tekanan ekspansi gudang, backlog minyak sawit mentah, dan penurunan keuntungan ekspor kilang hilir.
Tidak menutup kemungkinan bahwa tindakan perlindungan penghentian produksi atau kenaikan harga akan diambil untuk memastikan keuntungan, yang mungkin terkait dengan penerapan larangan. Melenceng dari niat semula, "kata Liu Jinlu dikutip dari wallstreetcn.com.
Di sinilah Indonesia harus tegas bahwa kepentingan nasionalnya selalu diutamakan, tak peduli China dan negara lain memprotesnya karena ini demi kemsalhatan bangsa lantaran penghentian ekspor minyak sawit ke luar negeri mutlak hak di tangan Indonesia.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar