WNI di Sri Lanka Saat Terjadi Krisis: Harga Sembako Naik 4 Kali Lipat, Mata Uang Jatuh, BBM dan Elpiji Langka Halaman all - Kompas

 

WNI di Sri Lanka Saat Terjadi Krisis: Harga Sembako Naik 4 Kali Lipat, Mata Uang Jatuh, BBM dan Elpiji Langka Halaman all - Kompas.com

Seorang pendukung Pemerintah Sri Lanka membawa bendera negara setelah bentrok dengan massa anti-pemerintah di luar kantor presiden di Colombo, Sri Lanka, Senin (9/5/2022).

COLOMBO, KOMPAS.com - Perdana Menteri (PM) Sri Lanka, Mahinda Rajapaksa, telah mengundurkan diri di tengah gelombang demonstrasi massal yang memprotes cara pemerintah menangani krisis ekonomi.

Pria berusia 76 tahun itu mengirimkan surat pengunduran diri kepada adiknya, Presiden Gotabaya Rajapaksa.

Dalam surat tersebut, dia menulis mengenai harapan dirinya untuk mengatasi krisis ekonomi namun kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya tampaknya tidak memuaskan kubu oposisi kecuali kalau dia mundur.

Pengunduran diri, menurut Rajapaksa, diniatkan untuk mendorong terbentuknya pemerintahan yang terdiri dari semua partai demi menuntun negara itu keluar dari krisis ekonomi.

Sejak gelombang demonstrasi muncul pada awal April, para pengunjuk rasa berkumpul di luar kantor perdana menteri guna menuntut Rajapaksa lengser.

Video Rekomendasi

Pemilu Lebanon Pasca Krisis

Demonstrasi ini memicu bentrokan berdarah antara kubu antipemerintah dan pendukung Rajapaksa di Ibu Kota Kolombo. Sedikitnya 78 orang cedera akibat bentrokan tersebut, menurut pihak rumah sakit.

Sri Lanka mengalami krisis ekonomi terburuk sejak meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1948.

Pemerintah bahkan meminta warganya yang berada di luar negeri untuk mengirimkan uang ke dalam negeri demi memenuhi kebutuhan bahan pangan dan bahan bakar, setelah negara itu gagal membayar utang luar negeri senilai 51 miliar dollar (Rp732 triliun).

Cadangan devisa Sri Lanka telah habis dan tidak lagi bisa menopang kebutuhan rakyat, seperti makanan pokok, obat-obatan, dan bahan bakar.

Para dokter di Sri Lanka mengatakan sudah banyak rumah sakit kehabisan obat-obatan dan persediaan penting karena krisis ekonomi negara itu memburuk.

Kondisi ini membuat berang sebagian masyarakat mengingat kebutuhan hidup sehari-hari tak lagi terjangkau.

Pemerintah menyalahkan pandemi Covid yang mematikan sektor pariwisata. Namun, sejumlah pakar menilai pemerintah salah kelola ekonomi.

Pengakuan WNI saat terdampak krisis di Sri Lanka

Ni Putu Yuli, WNI atau terapis spa Indonesia di Sri Lanka.
Lihat Foto
Dok. Pribadi via BBC News Indonedia
Ni Putu Yuli, WNI atau terapis spa Indonesia di Sri Lanka.

Dua warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Sri Lanka mengatakan krisis di negara itu sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Ni Putu Eka Yuli Suswantari yang bekerja sebagai terapis spa di ibu kota Colombo mengatakan yang sangat dia rasakan adalah tingginya biaya hidup dan sulitnya pengiriman uang ke Indonesia dengan nilai mata uang yang anjlok.

"Krisis yang terjadi sangat memengaruhi semua. Semua serba mahal, jadinya kita dapat gaji sekian, dan bekal hidup sekian, semua dihemat," kata Yuli kepada BBC News Indonesia.

Terapis spa yang sudah bekerja di Sri Lanka selama tiga tahun itu mencontohkan uang yang biasa dia kirim sekitar 140.000 rupee dan biasanya bernilai sekitar Rp6 juta-Rp7 juta, sekarang sampai di Bali jadi di bawah Rp5 juta.

WNI lain, Dita Kleyn yang tinggal di Kandy, mengatakan sering mendengar kesulitan rekan-rekan lain yang bekerja di spa.

"Yang mendapat gaji rupee, banyak teman-teman Indonesia yang kerja sebagai terapis spa sangat terdampak sekali untuk pengiriman duit ke Indonesia karena mata uangnya jatuh," kata dia.

Dita tinggal selama 12 tahun di Sri Lanka dan suaminya, seorang warga setempat, bekerja di luar negeri.

Namun dia mengatakan juga "sangat terdampak krisis" yang terjadi sejak Maret lalu.

"Kita susah sekali cari sembako, BBM, gas elpiji (untuk masak). Untuk BBM, kita tunggu berjam-jam, dan itu pun dijatah. Ada yang antre semalaman," cerita Dita kepada BBC News Indonesia.

"Sembako ada yang harganya naik empat kali lipat. Belum tarif dasar listrik, akan mengalami kenaikan 100 persen, yang saya dengar," tambahnya lagi.

Baik Yuli di Colombo dan Dita di Kandy, yang berjarak sekitar tiga jam berkendara dari ibu kota, sama-sama merasakan pemadaman listrik.

"Bisa sampai empat sampai lima jam sehari. Kita juga pernah mengalami mati  sampai 13 jam sehari. Sangat mengganggu sekali untuk kegiatan sehari-hari. Saya sebagai WNI, kami saja sudah sangat kelimpungan, terbebani, apalagi masyarakat lokal," cerita Dita.

Dia biasa menyediakan katering masakan Indonesia bagi yang memesan.

Menurut KBRI di Kolombo, pekerja migran Indonesia di Sri Lanka berjumlah kurang dari 200 orang dan sebagian besar bekerja sebagai spa terapis di ibu kota Kolombo.

Krisis di Sri Lanka bermula setelah negara itu mengumumkan tidak memiliki cadangan devisa untuk membayar utang negara. Sejak bulan lalu, ribuan orang turun ke jalan-jalan untuk menuntut turunnya Presiden Gotabaya Rajapaksa yang terus menekankan ia tidak akan mundur.

Jumat lalu (6/5/2022), polisi menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan ribuan pengunjuk rasa di depan gedung parlemen di ibu kota Kolombo.

Para demonstran marah karena naiknya harga kebutuhan pokok.

Transportasi, fasilitas kesehatan, pendidikan dan sistem perbankan sangat terganggu akibat protes dan pemogokan yang sudah berlangsung lebih dari satu bulan.

Baca Juga

Komentar