Langsung ke konten utama

Rekonstruksi Kriteria Visibilitas Hilal MABIMS dari 2, 3, 8 Menuju 3, 6, 4 - ibtimes

 ibtimes.id /visibilitas-hilal-mabims/

Rekonstruksi Kriteria Visibilitas Hilal MABIMS dari 2, 3, 8 Menuju 3, 6, 4

By Susiknan Azhari11-14 minutes 12/6/2022

Visibilitas Hilal MABIMS | Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadan telah lama terjadi. Dalam buku yang berjudul “al-Taqwim waal-Siyam” karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin sebagaimana dikutip oleh Oman Fathurohman, guru besar filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dijelaskan di Minangkabau, pada tahun 1207 H/1792 M terjadi perbedaan penentuan awal Ramadan dan Syawal antara tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah.

Selanjutnya pada tahun 1868 juga terjadi perbedaan penentuan awal Ramadan 1868 M. Pada saat itu pemerintah Belanda meminta seorang ulama Betawi, Sayyid Usman untuk meredam perbedaan tersebut. Hal ini sebagaimana dilaporkan Nico J. G. Kaptein dalam bukunya berjudul “Islam, Colonialismandthe Modern Age in theNetherlandsEastIndies: A Biographyof Sayyid Usman (1822-1914)” (Marwadi, 2022/1443).

Berdasarkan pengalaman panjang tersebut baik era kolonial maupun pasca kemerdekaan terkait perbedaan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah pada era Orde Baru pemerintah berusaha mencari titik temu antara hisab dan rukyat dengan membentuk Badan Hisab Rukyat pada tahun 1972 berdasarkan KMA No. 76 Tahun 1972, yang diketuai Saadoe’ddin Jambek. Dalam perjalanannya karena persoalan administrasi Badan Hisab Rukyat diubah menjadi Tim Hisab Rukyat (2014-2017), Tim Falakiyah (2018-2020), dan Tim Unifikasi Kalender Hijriah (2021-sekarang).

***

Berdirinya Badan Hisab Rukyat dimaksudkan untuk mempersatukan umat dalam memulai dan mengakhiri Ramadan. Tugas utamanya adalah memberi saran-saran kepada Menteri Agama RI dalam menentukan awal bulan kamariah sebagai acuan dalam pembuatan Taqwim Standar Indonesia dan sidang isbat penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Kehadiran sidang isbat dianggap sebagai jembatan untuk mempertemukan pengguna hisab dan rukyat. Hal ini dibuktikan antara tanggal yang tertera dalam Taqwim Standar Indonesia (Ramadan, Syawal, dan Zulhijah) bersesuaian dengan laporan hasil rukyatul hilal. Meskipun banyak pihak yang masih mempermasalahkan autentisitas hilal yang terlihat.

Keinginan untuk kebersamaan dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan juga terjadi di negeri Serantau. Malaysia pernah mengalami perbedaan dalam penentuan awal Ramadan 1403/1983. Menurut hasil perhitungan pada tanggal 29 Syakban 1403 bertepatan 11 Juni 1983 posisi hilal belum memenuhi kriteria yang dipedomani Malaysia. Namun di Johor dan Perak telah melaksanakan puasa pada tanggal 12 Juni 1983, sedangkan wilayah lainnya mengawali puasa pada tanggal 13 Juni 1983. Perbedaan ini menjadikan pemerintah Malaysia berusaha untuk mencari jalan keluar agar perbedaan tidak terulang dengan membentuk “Jawatankuasa Kajian Semula Penentuan Awal Ramadan dan Syawal”.

Dalam perjalanannya keinginan untuk mewujudkan kebersamaan dalam memulai dan mengakhiri Ramadan di negeri Serantau terwadahi dalam tiga negara MABIM (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia). Kemudian Singapura bergabung berubah menjadi MABIMS. Perkumpulan ini bertujuan menjaga kemaslahatan dan kepentingan umat tanpa mencampuri hal-hal yang bersifat politik negara anggota.

Visibilitas Hilal MABIMS (2,3,8): Upaya Mewujudkan Kebersamaan di Serantau

Musyawarah Jawatankuasa Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam merupakan perangkat penting dalam MABIMS yang bertugas melakukan kajian seputar hisab dan rukyat. Pertemuan pertama diselenggarakan pada tanggal 7-9 September 1991 di Pulau Pinang Malaysia. Pertemuan ini dihadiri para delegasi dari empat anggota MABIMS. Delegasi Negara Brunei Darussalam berjumlah tiga orang, yaitu Haji Salam bin Hj Besar, Haji Jaberuddin bin Haji Mohd. Salleh, dan Haji Mohd Jamil bin Haji Ali.

Selanjutnya delegasi Malaysia sebanyak tujuh orang, yaitu Haji Zainal Abidin bin Abd. Kadir, Haji Yaakob bin Lazim, Dato’ Dr. Haron Din, Dato’ Harussani bin Hj Zakaria, Abdul Majid bin Abd. Hamid, Prof. Abdul Hamid bin Mohd. Tahir, dan Dr. Abdullah bin Ibrahim. Sementara itu Indonesia mengirim delegasi sebanyak empat orang, yaitu H. ZarkowiSoejoeti, H. Taufiq, K.H. ibrahimHosen, dan Darsa S. Adapun Singapore mengutus dua delegasi, yaitu Syed Isa bin Mohd. Semait dan Kamarudin bin Afandi.

Pada pertemuan ini masing-masing delegasi menyampaikan makalah. Delegasi Brunei Darussalam menyampaikan makalah diwakili oleh Haji Salam bin Haji Besar yang berjudul “Rumusan Penyelarasan Rukyah Bagi Menentukan Awal Ramadhan, Awal Syawal dan Aidil Adha”. Delegasi Indonesia diwakili Darsa menyampaikan makalah berjudul “Penyatuan Rukyah Di Kalangan Negara-Negara ASEAN: Sebuah Tinjauan dari Segi Hukum Islam”. Tuan rumah Malaysia diwakili oleh Dato’ Dr. Harun Din menyampaikan makalah berjudul “Kemungkinan Menyelaraskan Rukyah Antara Negara Brunei Darussalam, Republik Indonesia, Malaysia Berdasarkan Hukum Syarak dan Undang-Undang atau Peraturan-Peraturan yang dipakai di Malaysia”.

***

Selain pemaparan dari delegasi, Malaysia juga memberi kesempatan kepada Prof. Madya Dr. Mohammad Ilyas menyampaikan makalah berjudul “Penyelarasan Taqwim Hijriah dari Perspektif Saintifik dan Teknikal”. Adapun delegasi Singapore diwakili oleh Syed Isa bin Mohd. Semait menyampaikan makalah dengan judul “Kemungkinan Menyelaras Rukyah Antara Negara-Negara Anggota Berdasarkan Hukum Syarak dan Undang-Undang atau Peraturan Yang Dipakai di Negara Singapura”.

Keputusan penting dalam pertemuan ini terkait penyelarasan Takwim Hijriah, musyawarah bersepakat agar Pusat Kajian Ilmu Falak Universiti Sains Malaysia (USM) menyiapkan konsep kalender selama lima tahun untuk kawasan Asia-Pasifik. Sekiranya ada perbedaan dalam penentuan awal bulan hijriah hendaknya dilakukan kajian lanjutan merujuk data yang dikumpulkan negara masing-masing. Musyawarah juga bersepakat menjadikan USM sebagai panitia penyatuan kalender Islam dan berkolaborasi dengan “Departemen Agama” Republik Indonesia.

***

Dalam pertemuan Jawatankuasa Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam ke-3 bertempat di Labuan Sabah Malaysia tanggal 29 Zulkaidah 1412/1-2 Juni 1992 menghasilkan beberapa keputusan penting. Salah satunya tentang kriteria yang menyatakan “Indonesia, Malaysia, dan Singapore bersepakat apabila rukyat atau hilal syar’i menunjukkan sekurang-kurangnya tinggi hilal 2 derajat jaraknya dari matahari 3 derajat atau umur bulan 8 jam ketika matahari terbenam, maka awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah ditetapkan berdasarkan Rukyat atau Hisab tersebut, sedangkan negara Brunei Darussalam berpendapat dalam keadaan tersebut akan menetapkan ketiga awal bulan dimaksud dengan rukyat atau istikmal”.

Keputusan di atas merupakan asal-usul kriteria visibilitas hilal MABIMS (2,3,8). Pada kutipan putusan di atas dengan jelas menunjukkan bahwa tiga syarat kriteria visibilitas hilal MABIMS (2,3,8) bersifat alternatif bukan kumulatif. Dalam perjalanannya kehadiran kriteria visibilitas hilal MABIMS memberi jalan keluar untuk mewujudkan kebersamaan dalam mengawali Ramadan, Syawal, dan Zulhijah di tingkat MABIMS. Selama 30 tahun di Indonesia, Malaysia, dan Singapore antara data yang tertera di Takwim masing-masing negara bersesuaian dengan hasil observasi, sedangkan Brunei Darussalam beberapa kali mengalami perbedaan antara data yang tertera di Takwim dengan hasil observasi, seperti awal Ramadan dan awal Syawal 1440 H.

Neo- Visibilitas MABIMS (3,6.4): Antara Cita dan Fakta

Selanjutnya setelah kriteria Visibilitas Hilal MABIMS 2,3,8 digunakan selama kurang lebih 20 tahun ada upaya untuk melakukan evaluasi. Keinginan anggota MABIMS mengevaluasi kriteria Visibilitas Hilal MABIMS 2,3,8 telah berlangsung lama dan secara resmi dimunculkan pada Muzakarah Rukyat dan Takwim Islam Negara Anggota MABIMS 1435/2014 di Jakarta. Selanjutnya dibahas pada Muzakarah Rukyah dan Takwim Islam Negara Anggota MABIMS 2016 tanggal 28 Syawal-1 Zulkaidah 1437/2-4 Agustus 2016 bertempat di Dewan Utama Klana Beach Resort Port Dickson Negeri Sembilan Malaysia.

(Sumber Foto : Dokumen Pribadi)

Pada pertemuan ini delegasi Malaysia berjumlah 30 orang (5 orang mufti, 13 orang panel pakar falak JAKIM, 10 orang wakil jabatan mufti, 2 orang pengarah bahagian JAKIM), Indonesia 4 orang, Singapore 2 orang ahli falak, dan Brunei Darussalam berjumlah 3 orang. Pada pertemuan ini delegasi Indonesia menyampaikan makalah berjudul “Rukyat Hilal Pengelolaan Citra dan Signifikansinya dalam Perbaikan Kriteria Imkanur Rukyat”.

Dalam makalahnya delegasi Indonesia mengusulkan perbaikan kriteria IR MABIMS adalah ketinggian 4° dan elongasi 7°. Delegasi Malaysia mengusulkan ketinggian 3° dan elongasi 5°. Usulan ini berdasarkan hasil kajian di Malaysia sejak 1972 sampai 2013. Delegasi Singapore hanya mengusulkan sudut elongasi tidak kurang 6.4° merujuk artikel Mohamed Odeh yang berjudul “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”.

(Sumber Foto : Dokumen Pribadi)

***

Sementara itu Brunei Darussalam mengusulkan umur bulan minimal 19 jam atau elongasi tidak kurang 6.4°. Karena tidak adanya kesepakatan maka dibentuk tim kecil untuk merumuskan kriteria perbaikan. Masing-masing negara diwakili 2 orang. Akhirnya tim kecil memutuskan perubahan kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS menjadi 3,6.4. Dalam konteks Indonesia hingga saat ini belum ada penjelasan secara resmi mengapa delegasi Indonesia saat itu mengusulkan perubahan ketinggian hilal 4° dan elongasi 7° kemudian menerima 3,6.4.

Kehadiran Neo-Visibilitas Hilal MABIMS adalah upaya memperbaiki kriteria sebelumnya. Namun dalam implementasinya, khususnya di Indonesia waktu sosialisasi kepada ormas Islam kurang maksimal dan terkesan “dipaksakan”. Hal ini bisa diperhatikan laporan hasil observasi yang disampaikan pada sidang Isbat Awal Ramadan dan Awal Syawal 1443 H. Pada sidang Isbat Awal Ramadan 1443 H semua pelapor yang berjumlah 34 orang dari Papua hingga Aceh berasal dari pegawai di lingkungan Kementerian Agama RI tanpa melibatkan “para pelapor” yang selama ini terlibat dalam observasi.

Sementara itu laporan hasil observasi awal Syawal 1443 H lebih didominasi pelapor yang tidak disebut pada laporan awal Ramadan 1443 H. Dalam konteks ini muncul statemen di tengah masyarakat jika “hilal” diperlukan maka semua pelapor dikerahkan untuk berhasil melihat hilal. Sebaliknya jika hilal tidak diperlukan maka laporan para pelapor diabaikan begitu saja. Tentu saja pernyataan ini perlu direnungkan bersama. Apalagi hasil wawancara penulis dengan salah seorang yang berhasil melihat hilal awal Syawal 1443 salah satu lokasi di Jawa Timur tergambar bahwa menurut hasil hisab yang dipedomani di lokasi tersebut belum memenuhi Neo-Visibilitas Hilal MABIMS.

***

Menurutnya data yang beredar di lokasi tersebut menunjukkan bahwa ketinggian hilal 5 derajat 14 menit 07.53 detik (hakiki) dan 4 derajat 49 menit 34.84 detik (mar’i) dan elongasi 5 derajat 44 menit 57 detik. Pertanyaannya mengapa para hakim menerima laporan tersebut. Apakah sosialisasi tentang perubahan kriteria baru dari 2,3,8 menuju 3,6.4 di lingkungan Pengadilan Agama berjalan dengan baik dan sudah dipahami para hakim ataukah ada hal lain yang “memaksa” hakim untuk menerima laporan agar kebersamaan dalam memulai Idul Fitri 1443 H dapat terwujud?

Selanjutnya implementasi Neo-Visibilitas Hilal MABIMS juga menjadi diskusi yang hangat di Malaysia. Dalam kalender Islam yang dikeluarkan JAKIM tanggal 1 Syawal 1443 H jatuh pada hari Selasa 3 Mei 2022 karena hasil hisab menunjukkan belum memenuhi kriteria Neo-Visibilitas Hilal MABIMS. Selama tiga puluh tahun antara data di Kalender Islam selalu bersesuaian dengan hasil observasi. Namun tahun ini antara teori dan praktik tidak sama karena di Labuan Sabah dilaporkan beberapa orang berhasil melihat hilal. Salah satunya adalah Angku Bolkhizan Ahmad Thani. Hal ini sama yang terjadi di Brunei Darussalam, sedangkan Singapore menganggap data hasil hisab belum memenuhi kriteria baru sehingga Idul Fitri 1443 H jatuh pada hari Selasa 3 Mei 2022.

𝘞𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘈’𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘪 𝘢𝘴-𝘚𝘢𝘸𝘢𝘣.

Print Friendly, PDF & Email

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya