Journal: Kebaya Goes To UNESCO, Segera Menyusul Batik?
Advertisement
Liputan6.com, Jakarta - Senyum Arma Jala Vira Shanty semringah saat menyiapkan sejumlah keperluan menari. Sabtu siang merupakan jadwal rutin wanita berusia 27 tahun itu belajar menari di salah satu sanggar di kawasan Jakarta Selatan. Hari itu, Arma memilih menggunakan kebaya kuning yang dipadukan dengan kain khas Nusa Tenggara menjadi pilihan fesyennya.
Rambutnya dibiarkan terurai dengan sedikit dijepit. Arma tampak nyaman dan anggun dengan penampilaannya. Kebaya merupakan salah satu busana yang dipilihnya untuk berkegitan di luar pekerjaannya sebagai karyawan di salah satu instansi pemerintah.
Advertisement
Meskipun menggunakan pakaian tradisional, dia mengaku kebaya yang dikenakannya tak membatasi mobilitasnya sebagai anak muda. Selain untuk ke sanggar, kerap kali Arma memilih kebaya untuk bepergian. Seperti halnya ke mal atau nongkrong di kedai kopi.
Arma mengaku sudah sejak masih berusia balita mengenal kebaya. Bermula dari sejumlah undangan pernikahan yang dihadirinya bersama keluarga.
"Ayahku itu seorang TNI yang mana kalau misalkan ada acara pernikahan itu wajib banget mengenakan baju nasional. Nah, dari situ ayah ngajak anak-anaknya dipakaiin kebaya juga. Dari situ aku terbiasa pakai kebaya," kata Arma kepada Liputan6.com.
Saat itu kebaya koleksinya sebatas kembaran dengan sang ibu. Mulai sejak itu koleksi kebaya Arma terus bertambah. Keputusan dia untuk berbusana kebaya untuk mobillitasnya sehari-hari baru dimulai tahun lalu setelah mulai rutin latihan tari Bali di sanggar. Awalnya sepulang latihan tari bersama temannya nongkrong dengan tetap mengenakan kebaya.
"Lalu mikir kok lucu ya makai kebaya. Terus akhirnya aku mencoba untuk tetep makai kebaya meskipun aku hangout sendirian atau sama pacar," ucapnya. Selain itu, beberapa kali dia juga mencoba main golf menggunakan kebaya.
Harga kebaya koleksi Arma pun bervariatif. Mulai dari Rp 90ribu dan untuk kain bawahannya sekitar Rp 200-300ribu. Bahkan dia berkeinginan mengoleksi kain dari setiap daerah di Indonesia.
Kebaya kutubaru dengan berbagai warna menjadi jenis yang paling banyak dimilikinya. Alasanya kebaya kutubaru tampak lebih cantik saat dikenakan. Menurut Arma gaya colorful membantunya terlihat lebih stylish.
"Aku biasanya sepatu bebas yaaa, biasanya kalau pakai sepatu converse atau sneakers gitu atau enggak crocs. Kalau atasnya ya kebaya casual biasa warna-warni, terus kainnya juga kadang makai perpaduan yang agak gelap atau yang banyak warnanya juga. Jadi aku bisa masukin lagi ke sepatu yang warnanya ada di sini juga (warna kain)," papar dia.
Hal senada juga dilakuan oleh pendiri Omah Budaya Wulangreh, Reny Ajeng. Kesehariannya juga seringkali mengenakan kebaya. Busana tradisional itu mulai menemaninya sehari-hari sejak tahun 2018. Pemicunya yaitu penampilan guru-guru tari di sanggar tari miliknya yang melatih dengan busana kebaya.
"Kalau dalam istilah Jawanya tertular, semacam oh mereka cantik yaa, dari situlah kemudian kebiasaan untuk berkebaya itu mulai," kata Reny kepada Liputan6.com.
Sebelumnya Reny tidak cukup berani mengenakan kebaya untuk beraktivitas di luar rumah kecuali ada acara tertentu, misalnya pernikahan. Saat memulai menggunakan kebaya wanita asal Semarang, Jawa Tengah mengaku kesulitan untuk memadukan dengan kain yang ada.
Namun seiring waktu, Reny sudah ahli untuk memadukan busana yang akan dikenakananya. "Semakin ke sini ternyata semua warna bisa dipadu padankan dengan warna kain atau warna jarik apapun itu bagus-bagus aja. Jadi, sekarang lebih liat ke equipment aja, kalau acara acara santai itu aku biasanya pakai kebaya kutubaru, atau ini contohnya kebaya encim ya lebih santai," ucap dia.
Kebaya Bikin Anggun dan Feminim
Saat acara resmi Reny memilih kebaya kartini dan dipadukan dengan kain. Berbusana kebaya untuk aktivitas di luar rumah memang belum banyak peminat. Bahkan beberapa tahun lalu Reny seringkali diperhatikan orang-orang dan dianggap sedang mendatangi sebuah acara formal.
Reny awalnya mengoleksi kebaya dengan membeli disalah satu toko langgananya. Seiring jalannya waktu dia memilih untuk memproduksi sendiri bersama ibunya. Selain itu saat mengenakan kebaya kata dia terpenting seseorang tersebut percaya diri layaknya mengenakan pakaian sehari-hari.
"Karena ketika kita percaya diri dengan diri kita sendiri, itu kita pun makainya juga akan lebih cantik, terus kita juga akan lebih nyaman pakainya. Kedua berani eksplore untuk mix and match, karena tadi paduan apapun itu bagus aja untuk kebaya," ujarnya.
Selain di dalam negeri, kegiatan mengenakan kebaya juga dilakukan oleh WNI yang tinggal di Paris, Prancis. Helene mengaku sudah mulai suka mengenakan pakaian tradisional Indonesia itu sejak 2006. Saat itu kata dia belum banyak masyarakat umum yang mengenakan kebaya untuk aktivitas sehari-hari.
"Kebaya itu memang bagus dan kebaya itu untuk acara-acara resmi dari modelnya, motif, bahan, itu cantik sekali. Cuma yang saya lihat bahwa kebaya itu bisa dipakai dalam keseharian. Untuk acara-acara keseharian dengan dipadukan dengan baju yang lebih casual," kata Helene kepada Liputan6.com.
Menurut dia saat mengenakan kebaya seseorang akan tampak anggun dan feminim. Hal tersebutlah yang menjadi alasan dia ingin mengenakan kebaya di luar acara formal.
Advertisement
Kebaya Goes to UNESCO
Belakangan, busana kebaya akan diajukan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda ke UNESCO, badan khusus Perserikatan Bangsa Bangsa, yang bergerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Artinya, kebaya akan menyusul batik, busana tradisional Indonesia yang telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO sejak 2 Oktober 2009.
Tagar Kebaya Goes To UNESCO pun kini mulai digaungkan. Misalnya sejumlah selebriti yang beramai-ramai mengunggah foto berkebaya di media sosial untuk mengajak masyarakat menggunakan kebaya.
Tak hanya di dalam negeri, dari luar negeri dukungan Kebaya Goes To UNESCO pun mengalir deras. Sekitar 200 perempuan di wilayah Washington D.C dan sekitarnya meramaikan parade “Cantik Berkebaya" di kawasan National Mall, pusat kota Washington DC (07/08/2022). Kegiatan ini merupakan bentuk dukungan KBRI Washington D.C bersama masyarakat dan diaspora Indonesia terhadap upaya pendaftaran kebaya sebagai Warisan Tak Benda (Intangible Heritage) UNESCO.
Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) KBRI Washington, D.C., Ayu Heni Rosan menyampaikan tujuan dari kegiatan ini. "Kebaya adalah warisan budaya dari leluhur kita yang wajib dilestarikan. Melalui kegiatan ini, para perempuan dan diaspora Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat telah menunjukkan peran dan kontribusinya secara nyata terhadap gerakan Kebaya Goes to UNESCO. Kami juga akan terus menggiatkan upaya promosi kebaya sebagai busana khas Indonesia agar lebih dikenal oleh publik AS", ucap Ayu.
Sementara di Paris, Prancis, dukungan juga ditunjukkan sejumlah warga Indonesia dengan selalu menggunakan kebaya di acara-acara tertentu. Mereka juga menggunakan tagar "Selasa Berkebaya" sebagai perwujudan cinta mereka kepada Kebaya.
Akhir pekan ini, tepatnya Minggu, 28 Agustus di London, Inggris, juga akan digelar "Kebaya Parade, From London to UNESCO", sebagai dukungan usaha Indonesia untuk mengegolkan misi kebaya menjadi warisan tak benda UNESCO.
Acara ini akan digelar di dua tempat: Buckhingham Palace Victoria Fountain dan Picnic Area St. James Garden.
Penolakan Pengajuan secara Bersama
Namun belakangan terdapat sejumlah kritik dari kalangan mengenai adanya wacana pengajukan kebaya ke UNESCO secara bersama-sama atau multination dengan negara lain. Seperti halnya Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Suara kontra itu salah satunya disampaikan Yayasan Kebudayaan Rancage, salah satu anggota Koalisi Tradisikebaya.id. Wakil ketua yayasan, Etti RS menyebut sekalipun pengajuan usulan ke UNESCO merupakan otoritas pemerintah, masyarakat juga berhak berpendapat. Proses pengusulannya juga semestinya melibatkan segenap masyarakat karena setiap negara memiliki kekhasan budaya yang dilatari pola kehidupan masyarakat setempat.
Pengajuan kebaya ke UNESCO oleh beberapa negara dapat membiaskan riwayat budaya, dari mana sesungguhnya asal mula busana tersebut. Selain itu, apabila diakui oleh banyak negara, mungkin saja kebaya tidak lagi menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia, bukan lagi bagian dari jati diri bangsa. Karena itu, saya kira akan banyak komunitas yang menolak wacana ini," ucap Etti dalam rilis yang diterima Liputan6.com.
Dia menilai jika wacana 'milik bersama' itu terus dilanjutkan, dapat berdampak pada warisan budaya Indonesia lainnya. Ia khawatir generasi mendatang akan kehilangan akar karena tidak bisa lagi membedakan mana budaya asli nenek moyangnya dan mana budaya dari bangsa lain.
"Sejak beberapa waktu lalu, kita sering didera masalah jati diri. Misalnya, klaim sebagian wilayah tanah air oleh negara lain, bahasa Indonesia yang didesak bahasa asing, lebih mencintai produk luar negeri daripada produk bangsa sendiri, dan sebagainya. Demikian pula dalam bidang budaya," kata dia.
"Kita harus menjaga identitas tersebut. Sebab jika identitas kita sudah hilang, maka bisa hilang segalanya," ia menyambung.
Terkait hal ini, Direktur Perlindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Irini Dewi Wanti punya jawaban. Menurut Irini, saat ini pihaknya belum memutuskan pengajuan kebaya ke UNESCO dengan single atau multination. Menurut dia, berbagai kemungkinan dapat saja terjadi.
"Misalnya untuk kebaya yang memang kebaya Indonesia kita misalnya bisa single. Tetapi kalau yang multinasional kita kan ada baju kurung misalnya ya, kalau yang disebut juga misalnya melayu itu kebaya panjang gitu kan, misalnya ya ini misalnya," kata Irini kepada Liputan6.com.
Irini menyatakan semua keputusan untuk rencana pengajuan ke UNESCO tetap akan melibatkan para komunitas kebaya. Yakni dengan berbagai diskusi bersama. "Jadi artinya kita tetap pada sebagaimana ini berproses pasti melalui diskusi-diskusi dan juga kesamaan pemahaman terhadap pemahaman apakah ini jadi single nominasi atau multi kedepannya," ucapnya.
Irini menuturkan, berdasarkan aturan yang ada setiap negara yang akan mengajukan ke UNESCO mengenai Warisan Budaya Tak Benda secara single nation hanya dapat dilakukan setiap dua tahun sekali. Sedangkan jika multi nation dapat dilakukan setiap tahun.
Irini juga menyatakan rencana pengajuan kebaya ke UNESCO pun belum ditetapkan dan bukan tahun ini. "Kita saat ini yang di sekretariat UNESCO masih proses jamu, jadi itu tiap-tiap negara hanya punya jadwal dua tahun satu warisan budaya. Jadi kalaupun kita di 2023 kalau kita dapat jamu berarti untuk kebaya ya masih 2024 ya usulannya untuk dapat instruksi di 2025," papar dia.
Kendati begitu saat ini bersama para komunitas kebaya pihaknya masih terus melakukan sejumlah persiapan yang dibutuhkan untuk pengajuan. Misalnya latar belakang sejarah kebaya hingga sejumlah riset yang ada.
"Nilai persis dari kebaya itu bagaimana, kehidupan masyarakat pendukungnya, terus siapa komunitas yang akan menjadi vokal poin dalam pengusulan ini, kemudian juga nanti diperlukan video, foto dengan kualitas yang baik untuk menunjukkan kondisi dari kebaya itu sendiri. Kemudian juga naskah akademiknya yang by riset gitu ya," ujar Irini.
Advertisement
Edukasi Pelestarian Kebaya di Masyarakat
Ketua Perempuan Berkebaya Indonesia Rahmi Hidayati membenarkan, saat ini belum ada keputusan pasti kapan pendaftaran kebaya ke UNESCO. Rahmi menyatakan spesifikasi kebaya yang akan diajukan ke UNESCO juga belum diputuskan dan masih menjadi pembahasan.
"Artinya akhir September kita bisa mendaftarkan berkas berkasnya ke UNESCO (jika multination). Tapi kalau mau single nation itu paling cepat 2023 itu juga kalau bisa, karena sebelumnya yang udah siap itu ada reog, dan lain-lain. Ada budaya yang udah siap maju," kata Rahmi kepada Liputan6.com.
Dia melanjutkan, "Apakah kita bisa mendahului atau kita harus nunggu tiga tahun lagi untuk mendaftarkan, karena udah ada kebudayaan lain yang udh siap duluan, ngantre."
Perancang busana, Musa Widyatmodjo mengapresiasi langkah masyarakat yang meramaikan kegiatan menggunakan kebaya dalam kegiatan sehari-hari. Kendati begitu, dia menyayangkan banyaknya masyarakat yang tidak dapat membedakan antara baju kurung dan kebaya.
"Banyak yang saya lihat kita mempromosikannya kebaya-kebaya tapi yang dipakai baju kurung itu juga salah. Karena baju kurung dengan kebaya berbeda dan saya sedih sekali melihat banyaknya wanita-wanita Indonesia yang semangat mempromosikan kebaya-kebaya go UNESCO tetapi saya lihat itu ada beberapa diantara mereka yang justru memakainya baju kurung, bukan baju kebaya," kata Musa kepada Liputan6.com.
Musa juga mengharapkan agar dengan adanya rencana pengajuan kebaya ke UNESCO dapat memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai peran salah satu busana tradisional tersebut. Seperti halnya pemahaman dalam berbusana kebaya yang baik dan benar.
"Berkebaya itu bukan soal pakem, peraturan (yang) ketat, repot, dan sebagainya bukan. Tetapi, lebih kepada bagaimana kita memahami kapan, dimana, dan saat apa kita memakai kebaya. Boleh enggak kebaya dengan celana pendek terus memakai sendal jepit? Boleh, tidak ada yang melarang," ucap dia.
Secara fesyen, Musa menyebut masyarakat dapat mengekspresikan busana kebaya sesuai keinginannya. "Dengan kata lain jangan dibikin rumit. Memang, berkebaya itu tidak rumit, kayak bersanggul, sanggul itu rumit, repot, harus disunggar disasak. Iya, kalau memang melakukan upacara prosesi Jawa," papar dia.
Selain itu, Musa menyatakan diperlukannya edukasi dalam pelestarian budaya di masyarakat. Tugas tersebut yaitu negara dan orang tua. Dia mencontohkan dalam budaya Yogyakarta. Ketika seorang anak tidak tahu budaya dan adat istiadat setempat itu merupakan kesalahan dari orang tuanya.
"Sebagai orang yang harusnya melestarikan dan menjaga budaya kita. Dan sementara itu juga, di negara ini tidak ada program yang jelas-jelas tujuannya melestarikan budaya. Itu tidak ada. Bahwa katakanlah budaya Jawa berbeda dengan budaya Sumatera. Jadi, tugas tersebut adalah tugas pemerintah dan orang tua atau keluarga. Kalau keluarga sudah melaksanakan nanti otomatis akan berdampak bagi masyarakat.
Selain para komunitas budaya, Musa juga mengharapkan pemerintah dapat mengajak pengusaha hotel hingga media televisi ikut serta dalam pelestarian pakaian tradisional. Hal tersebut diyakini sebagai bentuk pelestarian budaya.
Sejarah dan Berbagai Jenis Kebaya di Indonesia
Kebaya merupakan salah satu busana tradisional Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebaya merupakan baju perempuan bagian atas, berlengan panjang, dan dipakai dengan kain panjang. Namun, melampaui definisi itu, kebaya telah dimaknai secara lebih personal dan bisa saja berbeda antara satu dengan orang Indonesia yang lain.
Asal kata kebaya berasal dari bahasa Arab, abaya yang berarti pakaian. Dipercayai, kebaya dulunya berasal dari daerah Tiongkok yang sudah berusia ratusan tahun yang lalu. Kemudian penggunaan busana kebaya mulai menyebar dari Malaka, Jawa, Bali, Sumatra dan Sulawesi.
Kebaya bahkan menjadi simbol emansipasi perempuan melalui representasi sosok Raden Ajeng Kartini pada abad ke-19. Pada saat itu kebaya juga sebagai pembeda kelas hingga status sosial di masyarakat. Untuk keluarga bangsawan Jawa kebaya yang dikenakan dari sutra, beludru, dan brokat. Sedangkan dari kelas biasa mengenakan kebaya bahan katun.
"Sebenarnya kebaya dengan berkebaya itu berbeda. Kalau kebaya itu kan hanya satu potong busana atasan wanita Indonesia yang biasanya dipadu padankan dengan kain panjang atau sarung panjang. Itu adalah kebaya. Tapi, kalau kita berbicara berkebaya itu kita berbicara tentang padu padannya," kata perancang busana, Musa Widyatmodjo kepada Liputan6.com.
Kata dia, untuk berkebaya itu bermacam-macam kategorinya. Berkebaya untuk upacara adat berbeda peraturannya dengan kebaya nasional. Kemudian untuk kebaya sendiri juga mempunyai banyak jenisnya. Misalnya kebaya kutubaru atau bef.
Dalam dunia mode, bef merupakan kain penutup yang menghubungkan lipatan kebaya kanan dan kiri di bagian dada. Lalu, kebaya Kartini atau busana yang dikenakan oleh R.A Kartini saat itu.
"Kebaya kartini itu adalah kebaya yang berkerah atau tanpa kerah tapi didepannya itu langsung bertemu antara tengah muka dengan tengah muka tanpa ada jarak," ucap dia.
Selanjutnya kata Musa ada pula kebaya noni atau atasan yang biasanya berwarna putih dan dikombinasikan dengan renda-renda dengan warna senada. Ada pula kebaya Sunda, di mana bentuk lehernya umumnya berbentuk bulat atau U.
"Kemudian ada lagi kebaya encim atau kebaya nyonya, itu yang berbordir dengan warna-warni cerah yang berpengaruh dari bordiran warna-warni bunga dari Tionghoa. Jadi, itu adalah perbedaan aneka ragam kebaya. Walaupun sebagian kebaya itu ada pakemnya sendiri, ada peraturannya sendiri, ada rumusnya sendiri. Tergantung pada masa apa kebaya itu dikenakan," dia menjelaskan.
Advertisement
Komentar
Posting Komentar