Kritik Elitisme dalam Lirik Lagu "Joko Tingkir Ngombe Dawet"
Publik sedang diramaikan oleh polemik lirik lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet. Dipicu oleh penilaian atas lirik lagu ciptaan Pratama, yang menganggap bahwa lirik lagu tersebut bernuansa pelecehan nama tokoh besar Jaka Tingkir. Sosok yang disebut dalam lirik lagu tersebut merupakan tokoh sentral di Jawa. Ia dikenal sebagai raja Pajang, juga sebagai seorang wali di tanah Jawa.
Seperti dituturkan kiai kharismatik asal Bojonegoro, Jawa Timur, K.H. Ahmad Anwar Zahid, Jaka Tingkir merupakan cikal bakal dari tokoh-tokoh kiai di seluruh Indonesia. Maka, ia pun tidak berkenan dengan pemarodian nama Jaka Tingkir dalam lagu tersebut. Bahkan, ia meminta agar pencipta lagu mengganti lirik lagu ciptaannya.
Hal senada juga disampaikan Gus Muwafik, yang mengungkapkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, merupakan keturunan dari Jaka Tingkir. Oleh karenanya, penyebutan nama Jaka Tingkir yang terkesan main-main dalam lirik lagu itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak etis. Ia menduga, jika pencipta lagu tersebut tidak terlalu mengerti sejarah.
K.H. Ma’ruf Khozin, Direktur Aswaja Center NU Jawa Timur, juga ikut bereaksi. Ia menyatakan, ketokohan Jaka Tingkir dalam sejumlah film di Indonesia juga dikesankan seolah-olah ia seorang raja yang memegang pedang. Padahal, Jaka Tingkir tidak sekadar raja, melainkan pula seorang ulama. Namanya memiliki kemuliaan tersendiri. Karenanya, kemuliaan Jaka Tingkir harus dijunjung tinggi dan dihormati.
Tak mau memperpanjang polemik itu, pencipta lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet” pun akhirnya buka suara di hadapan publik. Belum lama ini, lewat unggahan video YouTube di channel Tama Halu 008, pencipta lagu ini menyatakan permohonan maafnya kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ia mengaku, jika apa yang dilakukannya murni karena ketidaktahuannya.
Melalui tayangan video berdurasi 3 menitan itu, Pratama mengaku jika ia tidak berniat melecehkan nama Jaka Tingkir. Bahkan, ia juga telah mengubah lirik lagu ciptaannya dengan tidak menggunakan nama Jaka Tingkir lagi.
Terlepas dari polemik tersebut, fenomena “Joko Tingkir Ngombe Dawet”, dalam kacamata budaya postmodern merupakan fenomena yang patut dikaji lebih mendalam. Terutama, untuk menemukan pesan-pesan apa yang diselipkan lirik lagu tersebut.
Seperti diketahui, era postmodern merupakan era kelanjutan modernisme. Ditunjukkan melalui peleburan batas antara budaya tinggi dan budaya rendah. Para pemikir postmodernisme menganggap modernisme telah gagal merancang bangunan peradaban manusia. Perburuan solusi yang ditawarkan modernisme justru menjerumuskan manusia ke dasar jurang yang dalam.
Terlebih, solusi tawaran modernisme mengarahkan manusia untuk meninggalkan pilar-pilar keimanan. Dengan kata lain, keimanan menjadi penghalang bagi upaya pencarian solusi atas masalah-masalah yang dihadapi umat manusia. Menurut perspektif modernisme, segala masalah diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri. Maka, manusialah yang mesti mencari solusinya.
Kondisi itu membuat para pemikir postmodernisme berupaya melakukan pembaruan gagasan melalui pembongkaran logosentrisme. Yaitu, dengan mempermasalahkan masalah yang dihadapi manusia. Mengurai dan melucuti masalah satu persatu, bagaikan menguliti bawang merah hingga struktur terdalamnya. Namun, upaya itu tidak lantas memberikan tawaran solusi atas masalah yang dihadapi. Menurut mereka, melalui penguraian masalah itu tiap-tiap orang diberi kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri.
Pemikiran postmodernisme inilah yang kemudian dirayakan oleh dunia seni ke dalam bentuk-bentuk baru. Maka muncullah seni parodi, kitsch, pastiche, camp, dan skizofrenia.
Parodi merupakan bentuk seni yang diilhami dari dialog yang maknanya diplesetkan. Tuturan-tuturan dalam dialog ini biasanya dipinjam dari teks-teks yang semula bernuansa serius. Namun, lewat pemlesetan makna, dialog yang dimainkan itu cenderung bermaksud kritik, sindiran, atau kecaman.
Kitsch merupakan bentuk seni tiruan dari teks-teks yang semula diagungkan. Akan tetapi, peniruan itu tidak lantas memberi nilai tambah atau membuat karya-karya seni yang diagungkan ini menjadi semakin agung. Sebaliknya, ia hanya membuat tiruan yang nilainya menjadi murahan.
Pastiche adalah seni yang sekadar meminjam dari teks-teks lama. Ia mencomot beberapa unsur dalam teks lama itu untuk ditampilkan. Tetapi, seni jenis ini sangat dangkal, tanpa kedalaman yang berarti. Segala sesuatu yang ditampilkan hanya wilayah permukaan.
Sementara camp, cenderung menjadi seni duplikasi. Ia mengambil fakta-fakta di dalam realitas untuk diolah dan dijadikan karya seni. Akan tetapi, realitas itu didistorsi dan dijadikan sebagai sesuatu yang artifisial. Bahkan, camp cenderung menyuguhkan hal-hal yang luar biasa dari hal-hal yang sebenarnya sangat sederhana. Boleh dibilang, camp menjadi upaya menentang keangkuhan seni dari kebudayaan tinggi. Ia berupaya merebut seni dari menara gading kebudayaan tinggi.
Skizofrenia dalam pandangan seni postmodernisme merupakan seni yang mengurai kesimpangsiuran simbol-simbol. Seni jenis ini tidak memberi arahan yang pasti tentang makna dari sebuah karya seni itu sendiri. Makna yang dihasilkan cenderung kontradiktif, ambigu, terpecah, dan samar-samar.
Jelaslah, bahwa seni postmodern adalah seni yang main-main. Seni yang hanya menjadi bagian dari industrialisasi yang mengalami over-produksi, over-konsumsi, dan over-komunikasi. Keadaan demikian kemudian memicu munculnya beragam pertanyaan tentang permasalahan yang sedang dihadapi oleh zaman. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan itu sejatinya sebuah jawaban bagi mereka yang menyadari pergeseran dan perubahan zaman.
Jika menimbang-nimbang pada kategorisasi seni postmodern, kira-kira lirik lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet” masuk dalam kategori yang mana? Kitsch, Parodi, Pastiche, Camp, atau skizofrenia? Ada baiknya kita cermati lagi lirik lagu yang menuai polemik itu.
Joko Tingkir Ngombe Dawet
Joko Tingkir ngombe dawet Jo dipikir marai mumet Ngopek jamur nggone Mbah Wage Pantang mundur, terus nyambut gawe Pantang mundur, terus nyambut gawe
Ning Purwokerto tuku ketan Iki cerito anak rantauan Lombok rawit pedes tenan Golek duwit kanggo masa depan Golek duwit kanggo masa depan (hey-hek!)
Rokok klobot ning ngisor wit mlinjo Paling abot ninggal anak-bojo Tuku donat ning Kalimantan Tetep semangat kanggo masa depan Tetep semangat kanggo masa depan
Godhong kenikir, godhong koro Jo dipikir aku arep ngliyo Mangan jamur, mangan koro Aku jujur, kowe ra percoyo Aku jujur, kowe ra percoyo
Ning Banyuwangi tuku ketan Iki cerito anak rantauan Lombok rawit pedes tenan Golek duwit kanggo masa depan Golek duwit kanggo masa depan
Pola pembaitan pada lirik lagu ini tampak meminjam pola puisi lama, yaitu pantun (istilah Jawa: parikan). Hanya, ada sedikit pembeda. Pada pantun, tiap bait terdiri 4 baris, 2 baris awal sampiran, 2 baris berikutnya amanat. Sementara, lirik lagu ini tidak demikian. Baris 1 dan 3 sampiran, baris 2 dan 4 isi/amanat.
Pola persajakan pada lirik lagu ini menggunakan pola persajakan aliterasi. Yaitu, persajakan yang dibangun melalui kesamaan bunyi di tengah dan akhir kalimat. Maka, boleh dibilang jika diksi yang digunakan pun cenderung bersifat permainan kata.
Sifat main-main inilah yang membuat lirik lagu ini lebih didominasi unsur pinjaman. Bahkan, kalau dilihat dari permainan kata yang digunakan, lirik lagu ini tidak bisa digolongkan sebagai karya seni bermutu tinggi. Lirik lagu ini hanya mencomot beberapa realitas yang sebenarnya tidak ada kaitan satu sama lain. Pada bait pertama, baris pertama misalnya, lirik lagu ini meminjam dua realitas, yaitu Joko Tingkir dan ngombe dawet.
Joko Tingkir dipinjam sebagai entitas yang mewakili kehadiran subjek. Penghadiran entitas Joko Tingkir ini sekadar pinjaman. Terlepas dari segala sesuatu yang melekat pada entitas Jaka Tingkir. Dengan kata lain, Joko Tingkir disebut hanya sebagai nama yang mewakili karakter orang Jawa, atau lebih tepatnya seorang pemuda Jawa yang bernama Joko Tingkir.
Meski begitu, perlu pula menengok fakta lain tentang realitas Jaka Tingkir. Dalam sejarah kebudayaan Jawa, nama ini merupakan nama yang disakralkan. Jaka Tingkir adalah nama lain dari raja Kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya. Pada masa mudanya, ia menyandang nama Mas Karebet. Ia juga dikenal sebagai tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa dan Nusantara. Keagungan nama Jaka Tingkir ini memperlihatkan eksistensi kebudayaan tinggi.
Lain halnya dengan realitas tentang ngombe dawet (minum dawet). Realitas ini boleh dibilang merupakan perwakilan dari budaya rendah. Sebab, ia tidak lebih dari realitas sehari-hari yang mudah ditemui di kehidupan pinggir jalan.
Seperti yang diketahui, dawet merupakan minuman khas dari daerah Banjarnegara. Seiring perkembangan zaman, minuman khas Banjarnegara ini menyebar ke hampir seluruh pelosok Pulau Jawa. Tidak menutup kemungkinan sampai ke luar Pulau Jawa.
Di beberapa daerah di Jawa, minuman ini dijual bebas di pinggir-pinggir jalan atau di tempat-tempat keramaian. Tak terlalu sulit untuk menemukan realitas minum dawet. Kemudahan ini pula yang membuat realitas keseharian ngombe dawet terekam ke dalam memori masyarakat. Utamanya, masyarakat kalangan bawah. Apalagi dawet sampai saat ini belum menjadi minuman mahal sebagaimana secangkir kopi di Starbuck. Dengan istilah kekinian, boleh dibilang dawet tidak masuk dalam daftar menu minuman para “sultan”.
Melalui penggabungan dua unsur pinjaman itu, lirik lagu memproduksi realitas kedua, yaitu realitas artifisial tentang Joko Tingkir yang sedang meminum dawet. Realitas artifisial ini melahirkan pula makna baru sekaligus distorsi makna tentang Joko Tingkir.
Bagi sebagian masyarakat yang masih sangat menghormati ketokohan Jaka Tingkir, realitas artifisial dan makna baru pada lirik ini dirasa cukup mengganggu. Sebab, dalam tradisi keraton Jawa, seorang raja memiliki kedudukan mulia. Lebih-lebih raja yang dimaksud juga menyandang gelar seorang wali.
Sedangkan, dalam pandangan awam, minuman dawet dipandang semata-mata sebagai minuman tradisional kelas rakyat jelata. Dalam realitas sehari-hari, dawet dijual bebas di pinggir-pinggir jalan. Pemandangan ini mengesankan jika lirik lagu tersebut seolah-olah menggambarkan adegan seorang raja tengah meminum dawet di pinggir jalan. Tentu, pemandangan yang ada dalam ruang imajinasi ini dianggap tidak pantas, karena dinilai merendahkan kesakralan makna Jaka Tingkir yang tersimpan dalam ingatan kolektif sebagian besar masyarakat Jawa.
Secara implisit, realitas arifisial yang dibangun oleh lirik lagu tersebut sebenarnya tengah menyajikan sebuah pertanyaan besar tentang batas antara budaya tinggi dan budaya rendah. Apakah batas yang kaku dan berjarak itu masih diperlukan, sementara di tengah-tengah masyarakat kelas bawah ada semacam klangenan (ruang rindu) yang mendambakan sosok pemimpin yang merakyat? Ruang yang mempertemukan antara gusti dan kawula dalam nuansa kegembiraan yang senada. Keduanya dapat bercengkerama dalam keakraban yang dapat membangun dan menumbuhkan kemesraan dan keharmonisan.
Ini sekaligus mempertanyakan bangunan konsep kepemimpinan Jawa yang dirumuskan dalam Hastabrata. Seorang pemimpin mesti mengayomi sebagaimana watak bumi, mesti banyak memberi tanpa menghitung berapa banyak dan berapa besar pemberiannya seperti matahari. Pemimpin juga harus berani dan bersikap tegas seperti api, juga memiliki keterbukaan terhadap wawasan dan pengetahuan baru sebagaimana samudra. Pemimpin mesti pula berlaku seperti langit yang menyimbolkan kecakapan, kemampuan, dan kompentensi. Mesti juga berlaku seperti angin yang mampu bergerak cepat dan cekatan. Seorang pemimpin juga mesti berlaku menyenangkan dan membawa kedamaian bagi rakyatnya, seperti rembulan. Dan, seorang pemimpin sejati mesti menjadi inspirasi, sebagaimana bintang.
Kesemuanya, baru akan benar-benar dapat dilaksanakan jika pola kepemimpinan yang dimainkan mampu meretas jarak antara gusti dan kawula. Tidak ada lagi pembagian kelas yang terlalu kaku antara gusti dan kawula. Bahwa pembagian kelas sudah menjadi kesemestian, akan tetapi perilaku dalam kepemimpinan mesti mampu mewujudkan nilai-nilai keindahan yang terumuskan dalam ungkapan memayu hayuning buwana, memberi keindahan pada sesuatu yang sudah indah.
Berangkat dari realitas artifisial pada larik pertama itu, muncullah ungkapan yang menjadi pesan dari lirik tersebut; “Jo dipikir marai mumet”. Secara semantik, ungkapan ini memberi kesan pengabaian. Seolah-olah apapun masalah yang dihadapi dalam kehidupan tidak perlu menjadi beban pikiran. Akan tetapi, jika diurai lebih dalam, maka ungkapan ini memiliki lapis-lapis makna yang tidak sekadar pengabaian.
Pertama, jika dikaitkan dengan realitas artifisial yang dibangun oleh larik pertama, ungkapan ini boleh jadi bermakna sebagai pengabaian atas benturan yang terjadi di antara konstruksi budaya tinggi dan budaya rendah. Artinya, keberadaan hierarki kebudayaan tersebut tidak lagi dipandang sebagai masalah yang berarti. Dengan kata lain, ungkapan sederhana ini mencoba mempertanyakan kembali arti penting hierarki kebudayaan tersebut.
Kedua, lewat pertanyaan itu, terdapat ungkapan yang satire tentang struktur kekuasaan dalam bangunan kebudayaan yang hierarkis. Ungkapan ini seolah ingin menggugat nilai-nilai moral dan etika kepemimpinan yang telah terumuskan sebelumnya. Secara halus, ungkapan ini menyodorkan sebuah pertanyaan; masihkah nilai-nilai itu berlaku atau sudahkah ditinggalkan dan ditanggalkan, terutama oleh para elite?
Jika jawabannya iya, maka poin ketiga yang bisa diambil adalah boleh jadi pengabaian yang dihadirkan dalam lirik lagu ini menjadi tanda, bahwa pengabaian itu adalah pilihan sikap. Dalam hal ini, sikap abai itu ditujukan kepada bangunan-bangunan budaya agung yang juga telah ditinggalkan oleh kaum elite. Dengan kata lain, ungkapan ini semacam gugatan atas perilaku kaum elite yang membanggakan hak previlege justru telah memicu robohnya bangunan-bangunan budaya adiluhung itu. Sikap tersebut diperjelas pada dua larik berikutnya (larik 3 dan 4) / Ngopek jamur nggone Mbah Wage / Pantang mundur / terus nyambut gawe //.
Seperti pada dua larik sebelumnya, larik-larik ini memainkan pola yang serupa. Selain sekadar main-main kata, juga memperlihatkan fenomena pertentangan budaya elite (budaya tinggi) dengan budaya rendah. Budaya tinggi diwakili melalui simbol jamur. Sedangkan budaya rendah dihadirkan secara simbolik melalui penghadiran Mbah Wage.
Realitas ngopek jamur (memetik jamur) tentu bukan realitas yang mudah ditemukan dalam keseharian. Realitas ini sangat terbatas ruangnya. Tidak semua orang mampu menangkap realitas tersebut sebagai realitas sehari-hari.
Seperti diketahui jamur, bagi sebagian masyarakat—khususnya masyarakat perkotaan—masih menduduki posisi yang cukup punya kelas. Ia menjadi jenis sayuran yang harganya bisa membuat isi dompet cepat menipis. Tetapi, tidak menutup kemungkinan ada budaya lain yang menjadikan jamur sebagai santapan sehari-hari.
Jamur juga dapat dimaknai sebagai simbol pengayom. Terutama, karena bentuknya mirip dengan payung atau cendawan. Payung, dalam budaya Jawa menjadi simbol pengayom. Dalam tradisi keraton Jawa, payung digunakan untuk melindungi para bangsawan saat di luar istana. Payung juga digunakan sebagai pelindung bagi jenazah saat diantar ke pemakaman dengan menggunakan keranda. Payung, dengan demikian memiliki fungsi sebagai bentuk penghormatan.
Sementara Mbah Wage sebagai nama pada dasarnya diambil atau dipinjam secara acak. Nama Wage memiliki kecenderungan sebagai nama rakyat biasa. Kalaupun kemudian nama tersebut dikaitkan dengan nama pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman, tetap saja nama tersebut tidak mewakili keningratan. Terlebih, apabila menilik biografi penggesek biola di tengah peserta Kongres Pemuda II itu.
Apapun itu, kedua baris yang terdapat pada akhir bait pertama lirik lagu itu memperlihatkan fenomena yang serupa dengan dua baris sebelumnya. Pertentangan antara budaya elitis dan budaya kejelataan yang diakhiri dengan sebuah pilihan sikap pada baris keempat. Yaitu, pantang mundur, terus nyambut gawe.
Pilihan sikap ini tak sekadar pengabaian. Akan tetapi, menjadi manifestasi dari sikap abai itu sendiri yang dirupakan dalam bentuk tindakan. Yaitu, terus berupaya melakukan kerja-kerja keseharian yang harapannya dapat melanggengkan kehidupan.
Gagasan pada dua larik terakhir berimplikasi pada sistem nilai yang semula diagungkan. Sistem nilai itu cenderung ditinggalkan, lantaran perilaku elitis kelompok elite dipandang telah meninggalkan jauh tatanan nilai itu. Bahkan, sebagaimana tergambarkan dalam baris ketiga, melalui simbol jamur yang dipetik dari tanah Mbah Wage, perilaku elitis telah tercerabut dari akar budayanya yang tertanam dan tumbuh di hati rakyat jelata. Dengan kata lain, nilai-nilai keagungan itu telah “dirampas” oleh perilaku elitis sebagian kalangan elite.
Oleh sebab itu, pilihan sikap pantang mundur, penting nyambut gawe boleh jadi merupakan gugatan atas perilaku elitis kelompok elite. Sebuah pertanyaan yang diajukan kepada kelompok elite. Bahwa dengan perilaku elitis yang cenderung membanggakan hak previlege mereka, apakah kelompok elite masih sudi memberi pengayoman kepada rakyatnya? Ataukah sebaliknya, mereka justru mengemis pengayoman dari rakyat jelata? Lalu, jika mereka mengemis pengayoman dari rakyatnya, kegundahan apa yang sedang dialami pada kelompok elite ini, sehingga mereka malah menjadi beban bagi rakyatnya?
Merujuk pada entitas Jaka Tingkir, agaknya lirik lagu ini—entah disadari atau tidak oleh penciptanya—pada akhirnya tampak sebagai sebuah pengulangan. Dalam hal ini, lirik lagu tersebut seakan-akan mengingatkan kembali pada kisah tentang Jaka Tingkir itu sendiri. Terutama yang ditulis dalam Babad Jaka Tingkir (Babad Pajang). Khususnya lagi, kisah tentang perlawanan sang ayah dari Jaka Tingkir, Ki Ageng Pengging terhadap Kesultanan Demak, yang kemudian sekaligus dijadikan simbol perlawanan rakyat pinggiran terhadap penguasa.
Hanya, pengulangan ini ditampilkan dalam wajah baru dengan perspektif yang juga berbeda dari Babad Jaka Tingkir. Apabila dalam Babad Jaka Tingkir perspektif yang digunakan adalah perspektif kaum elite, maka perspektif yang dihadirkan dalam lirik lagu tersebut adalah perspektif kejelataan. Perspektif wong cilik yang boleh jadi tak cukup pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan Jaka Tingkir itu sendiri.
Tak heran pula jika cara dan gaya lirik lagu itu menghadirkan Jaka Tingkir menjadi tampak main-main. Bahkan, terkesan tak dalam atau dangkal. Lantas, pertanyaannya kini, mengapa bisa sedangkal itu? Mungkinkah ada yang keliru dalam menanamkan nilai-nilai agung ke dalam kehidupan rakyat pinggiran? Jika ada, mengapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi? Mungkinkah ini terjadi oleh pembiaran yang dilakukan kelompok elite karena mereka sibuk mengemis pengayoman dari rakyat pinggiran?
Sungguh, lirik ini sebenarnya patut dibaca sebagai kritik tajam terhadap praktik kebudayaan masyarakat masa kini. Alih-alih menghendaki rakyat jelata menuruti aturan hukum, moral, dan etika, kelompok elite justru menunjukkan kecenderungan yang sebaliknya. Meski begitu, kelompok elite selalu meminta agar hak previlegenya dihargai oleh kalangan jelata. Pemandangan inilah yang dirasa terus berulang-ulang. Alhasil, rakyat pun memilih membalikkan badan. Mereka memilih untuk menjalani kehidupannya masing-masing, karena sudah tak ada lagi yang bisa diharapkan dari keberadaan kaum elite ini.
Komentar
Posting Komentar