Merinding, Ini Pidato Bung Karno sebelum Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia - inews

 

Merinding, Ini Pidato Bung Karno sebelum Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia



Solichan Arif 

SURABAYA, iNews.id - Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta pada 17 Agustus 1945. Pada saat itu, Bung Karno mengenakan setelan jas putih berbahan dril lengkap dengan peci. 

Begitu juga dengan Mohammad Hatta atau Bung Hatta, juga mengenakan setelan jas serupa, tapi tanpa mengenakan peci. Di posisi sebelah menyamping, Fatmawati, istri Bung Karno memakai kain kebaya, berkerudung seperti lazimnya perempuan Sumatera waktu itu.

SK Trimurti berdiri di sebelah Fatmawati. SK Trimurti merupakan jurnalis yang sekaligus aktivis Partai Indonesia, dan juga istri Sayuti Melik, pengetik teks naskah Proklamasi Kemerdekaan.

Di dekat tiang bendera bambu, berdiri pemuda Latief Hendraningrat dan pemuda Suhud, tentara Peta (Pembela Tanah Air) yang ditunjuk sebagai pengerek bendera pusaka Merah Putih.

Awalnya yang didaulat mengerek bendera yakni SK Trimurti. Namun karena merasa tidak pantas menerima kehormatan itu, Trimurti kemudian melimpahkan kepada Latief Hendraningrat.

Pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan didahului dengan upacara pengibaran bendera merah putih. Semua yang hadir menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengiringi sang saka merah putih yang bergerak menuju puncak tiang.

“Tak ada yang memimpin lagu, sehingga suara yang dihasilkan terdengar sumbang,” demikian yang tertulis dalam buku Berkibarlah Benderaku Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka.

Tepat pukul 10.00 Wib usai pengibaran bendera merah putih, suasana hening mencekam. Bung Karno mengeluarkan kertas yang terlipat dari saku jasnya. Sebelum membaca naskah pendek yang telah diketik dan dibubuhi beberapa coretan, Bung Karno memberi pidato pengantar sebagai berikut:

Saudara-saudara sekalian.

Saya telah minta saudar-saudara  hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita.

Bahkan telah beratus-ratus tahun!. Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya, dan ada turunnya. Tetapi, jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.

Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-hentinya. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka.

Tetapi, pada hakekatnya kita tetap menyusun tenaga kita sendiri. Kita tetap percaya kepada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri.

Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia.

Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad. Dengarkanlah proklamasi kami.

Bung Karno pun mengumandangkan teks Prokalamasi Kemerdekaan Indonesia dengan Bung Hatta berdiri sedikit di belakang sebelah kiri. Setelah naskah proklamasi selesai dibacakan, Bung Karno menutup sambutannya sebagai berikut:

Demikianlah, Saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka!. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air dan bangsa kita!. Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia-merdeka kekal abadi.

Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!.

Upacara kemerdekaan sekaligus pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia selesai. Dalam Berkibarlah Benderaku Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka, disebutkan semua berlinang air mata bahagia.

Fatmawati tiba-tiba memeluk SK Trimurti. Keduanya berangkulan dengan tangis tersedu-sedu. Fatmawati lah yang menjahit sang saka merah putih pada akhir tahun 1944. Ia menjahit bendera berukuran 2x3 meter saat hamil tua putra pertamanya (Guntur Soekarnoputra).

Semua yang hadir dan mengikuti Proklamasi Kemerdekaan itu juga saling berpelukan sekaligus berurai air mata haru. Indonesia telah merdeka. “Pokoknya, semua semua menangis,” kenang Fatmawati seperti dikutip dari buku Berkibarlah Benderaku Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka.  

Editor : Ihya Ulumuddin

Baca Juga

Komentar