Kisah Inspiratif Mantan Pelayanan yang Kini Jadi Wakil Dekan, Pernah Tidak Naik Kelas
JAKARTA, iNews.id - Masa depan merupakan sebuah misteri. Tidak ada yang tahu apa yang akan dihadapi di masa mendatang. Hal itu juga yang menggambarkan kehidupan Wakil Dekan sekaligus Dosen dan Direktur Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya bernama Satria Unggul Wicaksana.
Satria diketahui menempuh perjalanan hidup yang penuh dengan lika-liku. Ia lahir dari keluarga yang sederhana, ayahnya Mulyadi dan Nyoman Sumetriyani bekerja sebagai penjual rombeng baju bekas di desa-desa.
Biasanya, baku rombeng itu dijual di kawasan rumahnya Gresik, Lamongan hingga Babat. Tak cuma itu, saat duduk di bangku SMP ia pernah tidak naik kelas, bukan karena memiliki nilai yang buruk tetapi karena tak bisa membeli buku-buku sekolah.
“Waktu itu sekolah belum ada dana bos, jadi membeli buku adalah perkara yang mahal. Jangankan untuk beli buku, untuk makan saja susah,” kata Satria di laman resmi UM Surabaya, Jumat (30/12/2022).
Satria mengatakan jualan rombeng kedua orang tuanya hanya menghasilkan Rp5.000-Rp25.000 per hari. Uang tersebut pun digunakan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga.
Alhasil, Satria kecil harus lebih mandiri karena orang tuanya harus bekerja dari Senin-Minggu. Mendapatkan pengalaman pahit tidak naik kelas membuatnya sempat frustasi dengan mengurung diri di kamar.
Namun, setelah mengurung diri di kamar, ia berpikir dan tidak boleh berlama-lama meratapi nasib. Meski tidak naik kelas ia mencoba menjadi siswa yang lebih aktif, mengikuti berbagai olimpiade, aktif organisasi bahkan di tahun selanjutnya saat naik kelas 3 ia dipilih menjadi wakil ketua kelas.
Keaktifan di sekolah itu berlanjut hingga Satria duduk di bangku SMA. Di sana juga, ia bertemu dengan guru bernama Yusuf Ismail yang mengenalkannya dengan Muhammadiyah, organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), belajar mengaji dan agama.
“Waktu itu pengetahuan saya tentang agama sangat kurang, ibu mualaf dan kedua orang tua setiap hari kerja, jadi jarang ada waktu untuk ngobrol. Bersyukur bertemu Pak Yusuf Ismail beliau mengajari saya banyak hal tentang agama termasuk sering ngabsen salat saya,” ujar Satria.
Meski biaya sekolah SMA-nya gratis, Satria memilih sekolah sembari bekerja sebagai pelayanan di daerah Pakuwon. Hal itu dilakukan agar tidak memberatkan medua orang tuanya.
“Jadi saya sekolahnya pagi, pukul 2 sore sampai 11 malam saya jadi waiters gajinya Rp40.000 per hari. Konsekuensinya, saat sekolah saya sering ngantuk kadang juga tidur, tapi saya tetap imbangi dengan belajar agar nilai-nilai saya tidak turun,” ucap dia.
Satria pun menjadi seorang pelayanan sampai kuliah semester 3 di jurusan Ilmu Hukum UM Surabaya. Beruntungnya, ia mendapatkan kesempatan melanjutkan kuliah secara gratis.
Karena dibiayai, ia tidak ingin mengecewakan sehingga ia terus rajin belajar. Namun, saat menjadi mahasiswa hidupnya tidak langsung mudah, ia harus tetap mencari uang agar bisa bertahan hidup di Surabaya.
Selama di Surabaya Satria tidak memiliki kos-kosan, ia tinggal di sekret Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Bahkan, Satria mengaku pernah satu bulan penuh tidak memiliki uang sehingga harus ikut makan temannya.
“Bersyukur ada yang mengasihani dan mengajak saya makan setiap harinya, setelah itu saya berpikir untuk menyambung hidup dengan bekerja sebagai wartawan kampus, membantu riset dosen sampai jadi juru ketik, berkat jadi juru ketik itulah saya diberi laptop oleh dosen,” tutur Satria.
Dari tulisan itu lah keberuntungannya dimulai. Sejak saat itu ia giat menulis karya tulis ilmiah, Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM), bahkan Satria pernah lolos hingga PIMNAS.
“Beruntungnya dari semester 3 nulis PKM lolos terus dan didanai, jadi waktu itu saya niat nulis bukan karena prestasi, tapi nulis untuk bertahan hidup,” ujar Satria lagi.
Tidak hanya mahir dalam tulis menulis, saat menjadi mahasiswa Satria pernah menjabat sebagai Presiden Eksekutif Mahasiswa (BEM) UM Surabaya dan menjadi wisdawan terbaik dengan lulus 3,5 tahun pada tahun 2015.
Setelah lulus, ia pun diangkat menjadi asisten dosen di Fakultas Hukum dan mendapatkan beasiswa dari UM Surabaya untuk melanjutkan studi di Universitas Airlangga (UNAIR) dengan jurusan hukum konsentrasi Hukum Internasional (HI).
Tak puas dengan itu, saat menjadi Dosen di UM Surabaya, ia tidak pernah berhenti untuk terus berkontribusi. Pada tahun 2021 ia dinobatkan sebagai Dosen terimiplementatif di acara workhshop hasil luaran bantuan dana inovasi pembelajaran dan teknologi asistif bagi mahasiswa berkebutuhan khusus yang diselenggarakan Kemendikbudristek.
“Saya memiliki prinsip bahwa pendidikan adalah cara terbaik memutus mata rantai kemiskinan dan keterbelakangan,” tutup dia.
Editor : Puti Aini Yasmin
Follow Berita iNews di Google News
[Category Opsiin, Media Informasi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar