HEADLINE: Cuaca Panas dan Potensi El Nino Agustus 2023 di Indonesia, Antisipasinya?
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/951594/original/067624300_1439211160-PIC-EL-NINO-2.jpg)
Advertisement
Liputan6.com, Jakarta - Api menghanguskan empat unit mobil yang tengah terparkir di halaman The Breeze Waterpark, Jalan Lingkar Utara, Kelurahan Guntung Payung, Kecamatan Landasan Ulin, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Minggu 23 April 2023 lalu. Mobil-mobil itu terbakar setelah diduga kuat terpapar cuaca panas matahari yang sangat menyengat.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, suhu di lokasi kejadian kala itu mencapai 35,4 derajat celcius. Ditambah hal ini dikuatkan dengan pernyataan kepolisian yang menyebut api muncul dari aksesoris di dashboard mobil yang terbakar akibat tersengat sinar matahari.
Advertisement
"Dugaan sementara penyebab kebakaran adalah pantulan sinar matahari yang membakar bulu aksesoris di bagian dashboard mobil," kata Kepala Seksi Humas Polres Banjarbaru, AKP Tajuddin Noor, Senin 24 April 2023.
Cuaca panas yang menyengat memang terjadi di banyak wilayah Asia termasuk di Indonesia. Temperatur cuaca di sejumlah negara bahkan terbilang ekstrem. Seperti yang terjadi di Bangladesh dan India yang mencapai 51 derajat.
"Tetapi kalau kita lihat lagi terutama di Asia Tenggara, tetangga-tetangga kita dan posisinya agak sama dengan kita dekat Lintang gitu. Nah di negara-negara Asia Tenggara ini pun udah banyak sekali yang mencatatkan rekor terpanasnya, misalkan Laos mencatatkan rekor terbaru sepanjang masa suhu mencapai 42,7 derajat celcius. Thailand mencatat juga rekor yang sama, Myanmar juga mencatat rekor yg terpanas yang sama di kota Chauk," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari kepada Liputan6.com, Jumat (28/4/2023).
Dia menambahkan, semua itu terjadi bersamaan dan banyak yang mengatakan bahwa heat waves atau gelombang panas tengah melanda walaupun di Indonesia belum sampai se-ekstrem itu. "Karena yang paling panas itu tercatat di Ciputat ya 37-an derajat celcius. Itu kalau menurut BMKG belum terlalu ekstrem, belum di atas 40 derajat celcius sehingga kita belum masuk kategori terkena gelombang panas," ujar dia.
Tetapi memang, Adila menambahkan, bila melihat tren pasti ada pengaruh krisis iklim, terlepas dari panasnya ini disebut akibat dipicu oleh gerak semu matahari dan minimnya tutupan awan, Namun ditegaskan bahwa itu semua ada pengaruh krisis iklim juga. Karena banyak sekali studi-studi yang menyimpulkan tren krisis iklim ini itu meningkatkan intensitas, frekuensi, dan durasi gelombang panas di negara-negara Asia. Terutama yang terletak di Lintang Menengah hingga Lintang Tinggi, termasuk Indonesia.
"Jadi ini yang memicu rekor suhu-suhu terpanas yang terjadi di Indonesia maupun negara Asia Tenggara lainnya. Itu sih, jadi krisis iklim ini sebenarnya ya suhu panas ini tadi ya ada gerak semu matahari namun itu sudah terjadi sejak dulu ya. Nah tetapi tadi, tren pemanasan global ini ternyata yang meningkatkan intensitas, frekuensi, dan juga durasinya, lebih panjang nih kita kena suhu panas ini," ujar dia.
Adila memaparkan dampak luas yang ditimbulkan dari adanya krisis iklim ini. Dia mengungkapkan, bila saat ini baru 1,1 derajat celcius suhu temperatur global, kondisi itu akan terus naik bila negara tidak melakukan terobosan dalam menyelamtkan iklim. Hal ini tertera dalam temuan dari Proyek Persepsi Perubahan Iklim Eropa atau EPCC.
"Kita tuh track-nya akan mencapai, katanya menurut EPCC, bukan menurut saya, bahkan EPCC bilang kalau kebijakan negara-negara gini-gini aja nih untuk aksi iklimnya, kita bisa menembus 1,5 derajat. Itu bahkan di pertengahan tahun 2030 mendatang. Padahal mengacu pada Paris Aggrement sebetulnya kita menahan 1,5 derajat celcius itu kenaikannya di tahun 2100 gitu kan. Tetapi kalau kita gini-gini saja kebijakannya, itu akan naik ke 1,5 derajat bahkan lebih dari 2 derajat celcius.
Dengan kondisi 1,1 derajat celcius, kata dia, panasnya telah mencapai rekor. Bahkan sejak 2015 selalu mencatat rekor-rekor terpanas setiap tahunnya. Pada 2021 terpanas, 2020, bahkan 2022 kemarin itu pun masuk ke suhu terpanas secara global. Dan pastinya, ancaman-ancaman tersebut tidak hanya heat waves saja tetapi bencana hidrometeorologi lainnya akan bertambah semakin katastropik. Seperti heavy rainfall, hujan yang tiba-tiba curah hujannya tinggi sekali, terus juga kekeringan yang semakin parah.
"Akan semakin tinggi intesitasnya, durasinya, frekuensinya, bahkan itu semua sudah diperhitungkan dalam model IPCC yang baru kemarin meluncurkan sintesis reportnya. Bahwa tidak hanya heat waves tapi bencana seperti curah hujan meningkat akan semakin parah ke depannya. Apalagi ketika kenaikannya lebih dari 1,5 deraja celcius gitu, kita tuh nggak bisa lagi menahan dampaknya terutama dampak kepada masyarakat, dampak kepada kesehatan itu akan semakin parah lagi, itu yang kita takutkan," terang dia.
Untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan, Adila meminta pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah strategis agar cuaca panas tidak terjadi seperti di Myanmar, Laos, Thailand yang mencapai 45 derajat. Terlebih posisi Indonesia deket dengan negara-negara tersebut.
"Harusnya pemerintah bersiap-siap menurut saya. Bagaimana kita akan melakukan adaptasi, mitigasi, apalagi kalau kita lihat daerah perkotaan itu akan semakin merasakan panas yang semakin panas dibandingkan wilayah lainnya karena kita ada urban heat island dan lain-lain. Jadi pemerintah Indonesia baik nasional dan kota sudah harus siap-siap bagaimana kita harus adaptasi. Ini dampaknya sudah semakin parah dan kita nggak bisa cuma ngomongin mitigasi tapi juga adaptasi, gimana kita menyiasatinya karena bencana iklim ini bukan nanti-nanti tapi sudah terjadi," terang Adila.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4409382/original/085445200_1682700004-Infografis__SQ_Penjelasan_Cuaca_Panas_Melanda_Wilayah_Indonesia.jpg)
Harus Ada Tindakan Kolektif
Ia meminta pemerintah benar-benar menyiapkan adaptasinya lantaran saat ini baru sebatas masyarakat yang melakukan secara mandiri. Misalkan bila pada level masyarakat saat membicarakan soal cuaca panas, mereka menghindar untuk keluar rumah. Sedangkan pemerintah hanya mengimbau masyarakat untuk tidak beraktivitas di luar ruangan.
"Tetapi nanti ke depannya pastinya krisis iklim dan bencana ikutannya akan membawa dampak ke ekonomi semakin besar, dan juga mengancam kesejahteraan masyarakat. Misalkan ketika bertambah panas, kelangkaan pangan bagaimana, bahkan aktivitas ekonomi luar ruang atau misalnya pertanian, bagaimana nanti mereka akan bekerja dengan suhu yang panas seperti ini. Itu kan pasti akan mengancam ketahanan pangan kita sendiri," kata dia.
"Belum lagi kenaikan muka air laut, kita kan negara pesisir dengan panjang pantai kedua terpanjang di dunia, jadi bagaimana sih kita berhadapan nanti nggak cuma gelombang panas saja tetapi juga ketika suhu semakin tinggi lelehan es dari kutub akan semakin tinggi dan akan menyebabkan dampak lebih parah," Adila menambahkan.
Karena itu, ke depan tidak lagi dapat mengandalkan adaptasi secara mandiri. Tetapi harus ada tindakan secara kolektif untuk menyelamatkan dampak yang ditimbulkan dari kondisi tersebut.
"Kita mengharapkan gimana sih adaptasi dari pemerintah, terutama nggak cuma pemerintah Indonesia aja kita meminta pertanggungjawabannya tetapi juga pemerintah negara maju yang kemarin-kemarin sudah mengeluarkan emisi yang semakin besar. Karena di KOP tahun kemarin KOP 27 kan negara-negara maju ini juga bilang akan menyediakan dana-dana untuk lost and damage, gitu kan ya, tapi belum fiks nih berapa dan bagaimana mekanismenya, ini dibicarakan di KOP 28 tahun ini," ungkap Adila.
Yang kedua pastinya mitigasi. Dia menilai adaptasi akan mengurangi paparan resiko. Salah satunya dengan mengurangi sumber dari krisis iklim itu sendiri terutama sektor energi. Mengapa, Adila menjelaskan, karena menurut NDC Indonesia sektor energi ini diproyeksikan akan menjadi penyumbang emisi terbesar di tahun 2030, jadi 58 persen emisi Indonesia akan berasal sari sektor energi.
"Salah satunya karena kita saat ini bergantung banget sama bahan bakar fosil yang merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Nah itu mitigasinya bagaimana, terutama ya misalkan saat ini 88 persen listrik di Indonesia itu masih berasal dari bahan bakar fosil, jadi masih gede banget, dari batu bara masih di 69 persen. Nah gimana nih rencana pemerintah mengurangi emisi dari bahan bakar fosil. Gimana rencana pemerintah untuk melakukan transisi energi. Itu yang sebetulnya perlu kita pertanyakan dari sisi mitigasi. Komitmen sudah bagus tapi bagaimana pelaksanaannya sekarang," terang dia.
Sementara itu, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik menilai rencana Menko Luhut Panjaitan yang akan memodifikasi cuaca saat terjadi El Nino sebagai sebagai langkah yang sulit dilakukan. Terlebih saat puncak kemarau.
"Sifat rekayasa hujan buatan ini bukan sebagai tindakan pencegahan, tetapi reaktif sementara atas terjadinya kebakaran dan asap, terutama di lanskap gambut yang rusak oleh pengeringan kanal-kanal perkebunan sawit dan akasia. Ini memerlukan biaya yang sangat besar yang berasal dari APBN," ujar dia.
Padahal kuncinya adalah, kata Iqbal, dengan membuat lanskap gambut tetap basah seperti kondisi alamiahnya agar tidak mudah terbakar meskipun kekeringan ekstrem akibat El Nino.
"Pada intinya, senjata menghadapi El Nino itu perlindungan dan restorasi gambut dari upaya perusakan oleh industri perkebunan sawit dan akasia skala besar. Jangan lagi membebankan izin atau menerbitkan HGU baru di lahan-lahan gambut yang tersisa," Iqbal menandaskan.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4409386/original/033114000_1682682797-Infografis_SQ_Waspada_Potensi_El_Nino_Terjang_Indonesia_Agustus_2023.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar