Lirik Atuna Tufuli dan Artinya: Lagu Anak Kisahkan Israel Palestina
Lagu “Atuna Tufuli” didedikasikan untuk anak-anak di seluruh dunia yang tidak merasakan kebebasan di wilayahnya. Terutama Palestina dan wilayah Timur Tengah lainnya.
Lagu “Atouna El Toufoule” begitu menyayat hati dan mencerminkan bagaimana berharganya hak seorang anak dalam meraih kebebasan. Namun, kebebasan tersebut harus terenggut oleh sebab musabab yang sesungguhnya anak tersebut belum dapat memahaminya.
Lagu berjudul "Atuna Tufuli (Atouna El Toufoule)" adalah lagu kerap dikaitkan dengan konflik perang, salah satunya yang terjadi Israel dan Palestina. Lagu "Atuna Tufuli" dipopulerkan oleh Remi Bandali, seorang penyanyi cilik tahun 80-an yang berasal dari Lebanon.
Salah satu alasan "Atuna Tufuli" menjadi populer di Indonesia adalah karena dinyanyikan ulang (cover) oleh grup musik Sabyan Gambus pada 1 Agustus 2018. “Atouna El Toufoule” disertakan dalam album Sabyan Gambus berjudul Ya Maulana.
Makna Lagu “Atuna Tufuli”
Atouna El Toufoule sendiri berarti "beri kami masa kecil". Lagu ini dinyanyikan oleh seorang anak yang merasa kehilangan masa kecilnya karena perang.
Anak-anak ini dan teman-teman sebaya membutuhkan kasih sayang dari orang tua, namun mereka kehilangan masa bermain bahkan keluarga dan rumah tempat tinggal mereka.
Lagu ini mengungkap curahan hati seorang anak yang merasakan penderitaan berada di daerah konflik atau zona perang terutama wilayah Timur Tengah, seperti Israel dan Palestina yang hingga kini masih terjadi. Dalam lagu ini, si anak bertanya, mengapa tidak ada dekorasi yang bagus ketika musim libur.
Si anak juga merasakan bagaimana kebebasannya dicuri, sehingga ia sangat mendambakan kedamaian. Berikut ini lirik lengkap "Atuna Tufuli" dan artinya dalam bahasa Inggris.
Lirik Lagu "Atuna Tufuli"
A'touna Et-Tufoole
A'touna Et-Tufoole
A'touna Et-Tufoole
A'touna, A'touna, A'touna Es-Salam
Jeena N'ayedkon Bel-Eid Mnes'alkon
Lesh Ma Fee 'Enna La 'Ayyad Wula ZeinehYa 'Alam Ardhi Mahroo'a
Ardhi Huriyyeh Masroo'aSamana 'Am Tehlam 'Am Tes'al El-Ayam
Wein Esh-Shames El-Helwe W-Rfouf El-HamamYa 'Alam Ardhi Mahroo'a
Ardhi Huriyyeh Masroo'a
Ardhi Zgheere Metli Zgheere
Atouna Es-salam 'Atouna Et-TufooleA'touna Et-Tufoole
A'touna Et-Tufoole
A'touna Et-Tufoole
A'touna, 'Atouna, 'Atouna Es-SalamSamana 'Am Tehlam 'Am Tes'al El-Ayam
Wein Esh-Shames El-Helwe W-Rfouf El-HamamYa 'Alam Ardhi Mahroo'a
Ardhi Huriyyeh Masroo'aArdhi Zgheere Metli Zgheere
Atouna Es-salam 'Atouna Et-TufooleA'touna Et-Tufoole
A'touna Et-Tufoole
A'touna Et-Tufoole
A'touna, 'Atouna, 'Atouna Es-Salam
I am a child
With something to say
Please listen to me
I am a child
Who wants to play
Why don't you let me
My doors are waiting
My friends are praying
Small hearts are begging
Give us a chance
Give us a chance
Give us a chance
Give us a chance
Give us a chance
Please, please, give us a chance
A'touna Et-Tufoole
A'touna Et-Tufoole
A'touna Et-Tufoole
A'touna, 'Atouna, 'Atouna Es-Salam
Jeena N'ayedkon Bel-Eid Mnes'alkon
Lesh Ma Fee 'Enna La 'Ayyad Wula Zeineh
Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan menarik lainnya Dipna Videlia Putsanra
(tirto.id - Sosial Budaya)
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH
14 Oktober 1994
Nobel Perdamaian dalam Pusaran Konflik Israel-Palestina

Setahun sebelumnya, tepatnya pada 13 September 1993, terjadi kesepakatan monumental di Gedung Putih, AS, antara Israel dan Palestina. PM Israel Yitzhak Rabin dan pemimpin PLO Yasser Arafat bersepakat untuk menandatangi Perjanjian Oslo (Oslo Accord). Beberapa poin penting dari perjanjian itu antara lain pemberian kedaulatan kepada rakyat Palestina di Gaza serta Tepi Barat; pembahasan masalah pengungsi; pengakuan PLO sebagai organisasi resmi wakil Palestina; pengakuan atas hak hidup damai bagi warga Israel; dan sepakat untuk merumuskan dan membangun administrasi, infrastruktur, dan keamanan negara melalui Otoritas Palestina (PA) yang akan memerintah selama lima tahun.
Berdasarkan kesepakatan yang dianggap menjadi awal mula perdamaian Timur Tengah tersebut, panitia Nobel meliriknya untuk menjadi nomine di bidang perdamaian.
Namun, sejumlah pertanyaan kemudian muncul dari para ahli dan masyarakat Timur Tengah. Salah satunya adalah "apakah benar mereka bertiga dapat menyudahi konflik berkepanjangan Israel-Palestina dan menciptakan perdamaian abadi?"
Jejak Berdarah
Jika mengacu pada hal tersebut, ketiganya sudah masuk kriteria yang ditetapkan. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan ialah kebijakan panitia yang seolah alpa melihat tindakan masa lalu ketiganya yang memiliki jejak berdarah. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa mereka tidak pantas dianugerahi penghargaan itu.
Yasser Arafat dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas aksi-aksi teror dan kekerasan yang dilakukan anak buahnya di PLO dalam kurun 1960-an hingga 1970-an. Kala itu, PLO kerap melakukan tindakan kekerasan yang didasari oleh garis perjuangan organisasi. Mereka mengobarkan perang melawan Israel di seluruh dunia guna mewujudkan cita-cita terbentuknya negara Palestina merdeka.
Begitu juga Yitzhak Rabin. Dia harus bertanggungjawab atas tindakan kekerasan oleh militer dan kepolisian Israel terhadap rakyat Palestina. Dalam peristiwa pembantaian di Masjid Ibrahim kota Hebron pada Februari 1994, misalnya, banyak saksi yang menyatakan bahwa militer ikut menembaki jamaah masjid—meskipun pengadilan membantah hal ini dan memutuskan pelaku adalah aktor tunggal bernama Meir Kahane.
Sementara Peres adalah aktor utama yang memperbolehkan warga Israel mendirikan permukiman di Tepi Barat untuk pertama kalinya. Hal ini kemudian melahirkan demonstrasi dan protes dari warga Palestina dan berujung pada kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Israel. Kekerasan ini kemudian dibalas dengan aksi serupa oleh militan Palestina. Pola saling serang inilah yang membuat aksi kekerasan antara militer Israel dengan warga Palestina menjadi tak berkesudahan.
Fakta-fakta inilah yang terus-menerus digaungkan oleh mereka yang menolak Nobel Perdamaian 1994. Meski demikian, munculnya protes terhadap masing-masing pihak sangatlah hitam-putih dan sentimental. Mereka, baik yang pro-Israel ataupun pro-Palestina, hanya membela pihak yang didukungnya dan menyalahkan pihak lawan tanpa melihat dari dua sisi yang berbeda.

Damai di Pucuk, Panas di Akar Rumput
“Kesepakatan itu membuka kemungkinan jalan keluar dari lingkaran setan yang melahirkan kekerasan dan menuju hidup berdampingan secara damai, sehingga bisa menjadi contoh bagi wilayah lain yang sedang berkonflik,” tambahnya.
Pernyataan Sejersted ini diperkuat oleh ucapan para penerima Nobel. Dalam pidato resminya usai dianugerahi Nobel Perdamaian, ketiganya sama-sama meyakinkan publik bahwa mereka adalah orang yang tepat dan layak untuk menerima penghargaan itu. Peres menyebut bahwa Arafat adalah orang yang paling cocok diberikan Nobel karena usahanya membuka dialog perdamaian dan menghindari konfrontasi. Sekaligus menyatakan bahwa Arafat dan Palestina bukan lagi musuhnya.
Rabin turut mengatakan bahwa sudah saatnya manusia hidup dalam perdamaian sejati. Lalu Arafat menyebut, “Perdamaian akan membuat rakyat Palestina berada dalam suasana yang adil dan tenang guna mewujudkan tujuan sah mereka untuk [mendapatkan] kemerdekaan, kedaulatan, mencapai kehadiran nasional dan budaya dalam hubungan bertetangga; saling menghormati dan kerjasama dengan rakyat Israel.”
Ketika menerima Nobel Perdamaian, para pemimpin kedua negara menjadi lebih kalem. Mereka sangat percaya bahwa perdamaian abadi akan terjadi di Timur Tengah. Meski demikian, sikap ini rupanya hanya ada di pucuk pimpinan. Di akar rumput, banyak yang tidak menyukai sikap mereka. Lalu timbul kembali gesekan antarkelompok yang memanaskan suasana.
Dan benar saja, perdamaian abadi masih jauh dari yang diimpikan. Konflik kedua negara makin meruncing. Israel kian agresif membangun permukiman. Sementara militan Palestina beberapa kali melakukan serangan roket terhadap masyarakat sipil.
Baca juga artikel terkait PENERIMA NOBEL PERDAMAIAN
(tirto.id - Politik)
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar