RI Lakukan Dedolarisasi Melepas Ketergantungan terhadap Dolar AS, Ekonom Ungkap Plus Minusnya
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia telah melakukan upaya dedolarisasi atau mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (dolar AS). Bagaimana plus minusnya?
Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memaparkan plus minus upaya dedolarisasi yang dilakukan Indonesia.
“Plusnya, upaya dedolarisasi dengan menggunakan transaksi mata uang lokal, patner dagang Indonesia bisa meningkatkan stabilitas nilai tukar rupiah,” kata Bhima melalui pesan tertulis pada Tempo, Rabu, 19 April 2023.
Selama ini, lanjut dia, banyak faktor naik turunnya dolar AS sulit dikendalikan oleh otoritas moneter. Bhima menilai, jika suku bunga bank sentral AS, the Fed, naik, rupiah melemah. Hal tersebut terus menerus terjadi.
“Tapi begitu ada pengurangan porsi dolar (AS) terhadap total transaksi internasional, meskipun saat ini masih kecil, tapi punya andil pada terjaganya kurs rupiah,” ujar Bhima.
Selain itu, hal positif lain dari upaya dedolarisasi adalah hubungan dagang lebih erat dengan negara mitra, khususnya di tingkat ASEAN. Ketika ekonomi domestik AS terguncang, kata Bhima, pengalihan minat ekspor ke negara ASEAN dan negara alternatif lainnya membuat kinerja ekspor sedikit terjaga.
Efisiensi dalam perdagangan juga menjadi dampak positif dari dedolarisasi. Menurut Bhima, para eksportir dan importir diuntungkan ketika menggunakan mata uang lokal tanpa perlu menukar dulu ke dolar AS.
“Sebenarnya repot ya, ada eksportir sawit jual ke Malaysia terima ringgit, lalu dikonversi ke dolar AS, dan dari dolar ke rupiah. Kenapa tidak langsung ringgit ke rupiah?” tutur Bhima.
Dengan kerja sama local currency transaction atau LCT Indonesia dengan Malaysia, eksportir RI tak perlu mengonversi ringgit yang telah diterima ke dolar AS terlebih dahulu.
“Kelemahan dalam sistem ini adalah sulitnya menggunakan mata uang lokal untuk membayar kapal yang beroperasi di jalur perdagangan lintas negara,” lanjut Direktur Celios ini.
Selanjutnya: Bhima menilai, kapal-kapal berbendera asing....
Bhima menilai, kapal-kapal berbendera asing ingin menerima dolar AS, bukan dibayar dengan quotation rupiah. Sementara itu, 90 persen kapal untuk ekspor impor menggunakan bendera asing.
“Masalah lain muncul ketika kerja sama internasional, misalnya dalam hibah, pinjaman tetap dominan dalam bentuk dolar AS. Jadi pengembalian cicilan pokok dan bayar bunganya juga tetap menyedot dolar AS,” papar Bhima.
Lebih lanjut, dia mencontohkan sejauh ini porsi transaksi menggunakan LCS atau local currency settlement dengan Thailand hanya 4 persen dari total ekspor. Sedangkan dengan negara lain juga relatif kecil.
“Apabila porsinya bisa naik hingga 30 persen dari total ekspor, maka bisa menjadi kebijakan stabilisasi rupiah yang efektif,” ungkap Bhima.
Terakhir, dia menilai Indonesia harus mulai terlibat dalam pembahasan BRIC (forum negara Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa) meski Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok tersebut.
Pembahasan yang dimaksud Bhima adalah terkait kerja sama mata uang bersama. “Setiap upaya dedolarisasi harus didukung,” tuturnya.
Indonesia telah menjalin kerja sama LCT dengan Thailand, Malaysia, Jepang, dan China. Meski di Cina tren transaksi dengan mata uang lokal agak melambat karena kenaikan kasus Covid-19, tren di tiga negara lainnya menguat, khususnya di Jepang.
Bank Indonesia atau BI membukukan realisasi LCT mencapai US$ 957 juta atau sekitar Rp 14,2 triliun per Februari 2023.
Jadi, rata-ratanya hampir US$ 480 juta (sekitar Rp 7,13 triliun) dan ini lebih tinggi dari rata-rata pada 2022 yang sebesar US$ 350 juta (sekitar Rp 5,2 triliun)," kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, Selasa 18 April 2023.
Lebih jauh, Destry mengungkapkan BI akan memperluas jangkauan kerja sama LCT. Rencananya, BI akan melakukan kerja sama LCT dengan Korea pada Mei 2023.
AMELIA RAHIMA SARI | ANTARA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar