Gugat Aturan STNK ke MK, Pemohon Asal Madiun: Harusnya Masa Berlaku Selamanya
Solopos.com, JAKARTA — Sidang uji materi aturan masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) berlangsung di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (11/5/2023).
Aturan mengenai STNK itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Promosi
Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 43/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Arifin Purwanto yang berprofesi sebagai advokat.
Arifin yang hadir dalam persidangan secara langsung menyebut Pasal 70 ayat (2) UU LLAJ merugikan hak konstitusionalnya.
Pasal 70 ayat (2) UU LLAJ menyatakan, “Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNKB) dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) berlaku selama 5 (lima) tahun yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun tersebut tidak ada dasar hukumnya”.
Kasus konkret yang dialami oleh pemohon adalah apabila STNKB dan TNKB diganti baru, maka kendaraan harus dihadirkan di kantor SAMSAT.
Hal ini berakibat sepeda motor yang dimiliki Pemohon berada di Surabaya, maka sepeda motor tersebut harus dibawa ke Madiun.
“Di mana hal tersebut tidak jelas dasar hukumnya yang berarti hal tersebut bertentangan dengan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Seandainya STNKB dan TNKB tersebut berlaku selamanya seperti sebelum Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1984 maka tidak perlu repot-repot membawa sepeda motor tersebut dari Madiun ke Surabaya,” terang Arifin, mengutip laman resmi MK.
Arifin pun mengusulkan agar STNKB dan TNKB berlaku selamanya seperti sebelum Indonesia merdeka hingga 1984.
Hal ini, lanjutnya, untuk mencegah pemalsuan dan pemborosan terhadap STNKB dan TNKB.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya, meminta MK untuk menyatakan frasa “berlaku selama 5 tahun yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun” dalam Pasal 70 ayat (2) UU LLAJ bertentangan dengan UUD 1945.
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan agar Pemohon memperbaiki sistematika permohonan.
Ia menilai permohonan harus disesuaikan dengan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021 (PMK 2/2021).
“Jadi, kalau mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri tentang perbuatan melawan hukum, gugatan cerai di Pengadilan Agama itu semua yang diperiksa oleh hakim adalah pijakannya gugatan atau permohonan di MK,” ucap Suhartoyo.
Ia melanjutkan, “Oleh karena permohonan atau gugatan itu adalah pijakan dari pada hakim untuk memeriksa dan kemudian bisa dan tidaknya perkara ini kemudian secara substansial dipertimbangkan oleh hakim sehingga hakim bisa memutus apakah mengabulkan atau menolak itu dasarnya adalah gugatan atau permohonan yang memang memenuhi syarat-syarat formil.”
“Syarat formil itu ya bapak sudah terangkan disini kewenangan MK. Nah itu bisa memenuhi syarat formil itu. Bapak menjelaskan Pasal 24 kemudian Pasal 24C, Pasal 10 UUD MK. Sebaiknya nanti format permohonan diperbaiki, estetika permohonan juga perlu diperhatikan,” ujar Suhartoyo.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon untuk memperjelas argumentasi permohonan terkait pengujian Pasal 70 ayat (2) UU LLAJ.
Kemudian, ia juga meminta pemohon untuk melihat kembali putusan-putusan MK terkait pengujian pasal serupa yang telah diputus oleh MK sebelumnya.
“Kasih sedikit uraian alasan mengajukan permohonan dan ada atau tidak hubungan sebab akibatnya,” terang Enny.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim Wahiduddin Adams mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya.
Selambatnya permohonan harus diserahkan kepada Kepaniteraan MK selambatnya pada Selasa (23/5/2023) pukul 13.30 WIB.
Komentar
Posting Komentar