Potret Perjuangan Hidup Mariance Kabu, PMI yang Lolos dari Siksaan Majikan di Malaysia
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fimg2.beritasatu.com%2Fcache%2Fberitasatu%2F960x620-3%2F2023%2F06%2F1687245201-1920x1080.webp)
Kupang, Beritasatu.com - Mariance Kabu, salah satu Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT), berhasil selamat dari siksaan keji saat bekerja di Malaysia. Saat ini, dia harus berjuang menjalani hidup dengan ingatan kejamnya sang majikan.
Sebagai seseorang yang pernah diperlakukan secara keji dan tidak manusiawi, Mariance berusaha memulihkan hidupnya bersama keluarga seperti manusia biasa. Ketenangan dan rasa aman yang dia rasakan sekarang adalah keluarga dan anak-anaknya. Dia harus berjuang untuk menghilangkan kenangan pahit yang masih menghantuinya.
"Merasa nyaman dan tenang dalam hati dan pikiran saya adalah sesuatu yang baru bagi saya setelah kembali ke Indonesia dan berkumpul dengan keluarga, terutama anak-anak," kata Mariance kepada Beritasatu.com beberapa waktu lalu.
Dia mengungkapkan bahwa sangat sulit untuk menghapus ingatan tentang perlakuan kejam yang pernah dia alami. Hanya dengan menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga tidak cukup untuk menghilangkan bayang-bayang itu.
"Saya tidak bisa hanya diam. Saya menjalankan pekerjaan rumah, mengurus anak-anak, tetapi ingatan dan pikiran tentang apa yang saya alami selalu terbayang. Saya harus bekerja dan sibuk agar bisa melupakan semuanya," ungkapnya.
Saat ini, Mariance menggeluti profesi sebagai penenun berkat pengetahuan yang dia dapatkan sejak kecil dari orangtuanya. Kegiatan yang dia lakukan juga termasuk membuka kursus gratis di bawah naungan komunitas Hanaf, yang merupakan wadah bagi para korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), isu-isu terkait Ibu Rumah Tangga, dan perlindungan perempuan dan anak-anak.
"Dengan bekerja, ingatan masa lalu yang membuat saya berpikir negatif dapat berkurang. Meskipun kesedihan dan sakit selalu ada. Kadang-kadang saya menangis saat bekerja ketika mengingat masa-masa itu," tambah Mariance.
Dia juga mengeluhkan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai buruh atau karyawan dengan latar belakang seperti yang dia alami. Trauma yang hebat yang dialami Mariance hanya memungkinkannya bekerja di lingkungan yang tidak terikat dan bebas dari tekanan.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
"Kesempatan mendapatkan pekerjaan bagi orang dengan pengalaman seperti yang saya alami sangat kecil. Saya bahkan pernah ditawari pekerjaan oleh salah satu anggota keluarga, tetapi saya takut. Pikiran negatif saya bisa mengganggu cara dan hasil kerja saya di masa depan," keluhnya.
Mariance bersyukur bahwa hasil tenunannya diterima oleh beberapa orang yang datang mengunjunginya. Meskipun dengan keterbatasan alat dan modal, dia berusaha menjaga hasil tenunannya agar dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
"Sulit mengingat kembali teknik menyulam dan merajut benang karena sudah lama saya tinggalkan keterampilan itu. Saya berusaha agar tidak ada kesalahan dari awal hingga akhir proses menenun untuk menghindari kerusakan dan kerugian," tuturnya.
Perjuangan Melawan TPPO
Pergumulan Mariance tidak berhenti di situ. Rasa bersalah dan penyesalan selalu menghantuinya setiap hari. Keinginannya untuk mendapatkan keadilan akhirnya tercapai. Sejak tahun 2015, setelah kembali ke Kota Kupang, impian Mariance adalah agar pemerintah hadir dan memberikan keadilan.
"Saya bersyukur karena akhirnya Pak Jokowi bersedia turun tangan secara langsung dan bertindak tegas terhadap para pelaku yang telah menipu dan menjual saya. Kasus perdagangan orang ini harus diusut sampai tuntas dan semua pelaku harus ditangkap," tegasnya.
Dia menegaskan bahwa sebagai warga negara Indonesia, dia memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. "Saya mengenal Jokowi sebagai presiden yang telah memimpin selama 2 periode dan selalu peduli terhadap masyarakat kecil. Saya yakin Jokowi telah mendapatkan laporan tentang saya. Saya belum pernah bertemu langsung, hanya melalui media dan video tentang kisah saya. Saya berharap Jokowi mendengarkan pesan saya," harapnya.
Mariance berencana untuk terus berbicara tentang kisah tragis penyiksaan yang dia alami kepada masyarakat. "Pemerintah harus mau mendengar kisah-kisah yang saya dan rekan-rekan kerja alami. Jika saya diam, saya akan tenggelam dan membiarkan para penyiksa dan penjual saya tertawa bahagia atas penderitaan kami. Jika saya diam, saya sama jahatnya dengan majikan saya," jelasnya.
Mencegah TPPO dan Dampaknya
Kebijakan Presiden Jokowi untuk merestrukturisasi satuan tugas TPPO dan mengambil langkah cepat dalam penanganan permasalahan TPPO pada Selasa (30/05) lalu memberikan harapan baru bagi para aktivis dan keluarga korban.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
"Ini adalah kabar baik dari pemerintah yang berada di bawah komando Presiden, yang menggerakkan semua aparat terkait untuk mencegah, mengendalikan, dan menangani kejahatan luar biasa TPPO," kata Pendeta Emmy Sahertian, salah satu aktivis kemanusiaan TPPO.
Dia menjelaskan bahwa para pelaku dan jaringan TPPO menggunakan banyak modus yang dilakukan secara diam-diam dan tidak terbuka untuk masyarakat, yang mengakibatkan peningkatan kasus TPPO. "Untuk melawannya, negara harus hadir," katanya.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh aktivis kemanusiaan, selain kekerasan fisik dan mental yang menyebabkan trauma, para korban PMI yang dipulangkan juga menghadapi kondisi tidak utuh. Beberapa di antaranya mengalami kekurangan organ tubuh dengan sayatan dan jahitan, kehilangan kaki atau tangan, stunting, HIV, dan gangguan kejiwaan.
"Ruang penitipan jenazah di Bandara El Tari Kupang selalu ramai dengan pemulangan jenazah PMI. Berdasarkan data yang dilaporkan, ada korban yang dipulangkan tanpa organ tubuh setelah diotopsi oleh pihak keamanan Malaysia. Ada juga yang kehilangan kaki atau tangan akibat kecelakaan kerja. Ada yang mengalami stunting, HIV, dan gangguan kejiwaan," tuturnya.
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fimg2.beritasatu.com%2Fcache%2Fberitasatu%2F620x350-2%2F2023%2F06%2F1687245237-4000x1840.webp)
Emmy memastikan bahwa pemerintah bersama para pemangku kepentingan kemanusiaan terus berupaya melakukan sosialisasi agar calon PMI wajib mengikuti prosedur melalui instansi terkait untuk memastikan administrasi dan kejelasan tempat kerja di negara tujuan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak yang memilih jalur nonprosedural.
"Menurut penelitian kami, PMI yang menggunakan jalur nonprosedural bukan hanya menjadi masalah TPPO, tetapi juga dimanfaatkan oleh jaringan mafia TPPO. Salah satu masalah yang sering dihadapi adalah masalah ekonomi dalam keluarga atau lingkungan sekitar yang membuat mereka terdesak untuk segera mendapatkan uang," tambahnya.
Dia memastikan bahwa masyarakat yang rentan menjadi korban TPPO sering berada di wilayah konflik agraria, memiliki peluang kerja yang terbatas, dan rendah partisipasi dalam pendidikan. "Misalnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Malaka. Dengan kurangnya peluang kerja dan pendidikan yang rendah, mereka mudah terpengaruh untuk bekerja di luar negeri," jelasnya.
Dia berharap bahwa masalah TPPO adalah masalah nyata yang melibatkan masyarakat kecil, dan semua pihak, baik dari pusat hingga tingkat desa, harus berperan dalam memberantas TPPO. "Kami mengajak semua tokoh agama yang berhubungan langsung dengan masyarakat untuk bersama-sama mendukung pemerintah yang kami anggap kewalahan dalam memberantas TPPO," harapnya.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar