Terkurung Udara Ibukota: Mencari Musabab & Solusi Polusi Jakarta
Setidaknya dalam satu bulan terakhir, kualitas udara Jakarta terus memburuk dan beberapa kali menempati peringkat satu dunia kota paling polutif.
Kisah itu diceritakan oleh Kharisma Suhardi (26), sang ibu yang diunggah melalui media sosial dan dipublikasikan ulang oleh akun Instagram @pandemictalks pada Selasa (6/6/2023).
Ia menceritakan awalnya Hanan hanya mengalami batuk dan pilek. Berujung demam tinggi, napas sesak, dan harus dirawat ke rumah sakit karena tantrum tak bisa tidur.
Setelah diperiksa, Hanan harus dirawat inap. Diagnosis dokter, bayi itu mengalami napas sesak."Nangis kejer karena dipasangin infus," kata perempuan yang disapa Icha itu dengan video menampilkan wajah putrinya yang menangis.
Selama dirawat Hanna dinebuliser (Alat yang digunakan untuk memasukkan obat dalam bentuk uap untuk dihirup ke dalam paru-paru) sehari tiga kali. Namun, selama tiga hari Hanan masih mengalami batuk dan pilek. Akhirnya Hanan harus melakukan fisioterapi dua kali sehari.
"Tujuannya fisioterapi biar dahaknya bisa keluar," ujarnya.
Sang ibu juga merasa tak tega menyaksikan Hanan harus mengalami hal tersebut."Penyakit flu sepele untuk orang dewasa, tapi sangat amat menderita untuk bayi yang belum bisa keluarin lendir di hidung dan dahaknya," imbuhnya.
Tirto mencoba melakukan pemetaan kualitas udara di Jakarta pada Kamis (8/6/2023) dan melakukan perbandingan antara stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) milik Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI dengan SPKU milik swasta IQAir dan Nafas.
Kemudian pada Kamis (8/6/2023) per pukul 07.51 WIB, Jakarta menempati peringkat keempat dunia kota dengan kualitas udara terburuk dengan kategori tidak sehat dengan skor 156 ditandai dengan warna merah. Jakarta berada di bawah New York (266), Lahore, Pakistan (238), dan Dubai, Uni Emirat Arab (169).Lalu, ranking kota di Indonesia per pukul 13.00 WIB, Kamis (8/6), Jakarta berada di posisi kelima dengan kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif dengan skor 123 ditandai dengan warna oranye.Sementara itu jika dirinci per daerah yang ada di Jakarta, wilayah Kemang V tertinggi dengan skor 155; kedua Gordi HQ (151); dan Gelora Bung Karno (144). Ketiga daerah tersebut dinyatakan kategori tidak sehat.Selanjutnya Tirto mencoba menggunakan SPKU milik Nafas. Di Jakarta Utara daerah Ancol tertinggi dengan skor 148; Jakarta Timur daerah tertinggi di Cibubur dengan skor 109; Jakarta Pusat daerah tertinggi di Menteng dengan skor 128; Jakarta Barat daerah tertinggi di Puri dengan skor 106; dan terkahir Jakarta Selatan daerah tertinggi di Jagakarsa dengan skor 109.
Kami memantau kembali sebaran titik polusi pada malam hari pada pukul 22.45 wib. Titik merah semakin banyak dan terkonsentrasi di beberapa wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.Namun, data tersebut tidak real time. Update terakhir pada pukul 15.00 WIB, 2 Juni 2023.
"Musim kemarau meningkat karena cuaca tidak ada penyapuan polutan dari hujan," kata Bondan kepada Tirto, Kamis (8/6/2023).
Ia menjelaskan terdapat banyak sumber utama polisi udara pada saat musim kemarau: Asap knalpot kendaraan 42%–57% di seluruh kota; Pembakaran terbuka 9% di bagian timur (LB); Debu jalan 9% di bagian barat kota (KJ); Garam laut 19%–22%.Kemudian Partikel tanah tersuspensi 10%–18% telah ditemukan di seluruh kota, tetapi paling terlihat di bagian timur kota (LB), karena kondisi daerah yang kering. Aerosol sekunder 1%–7%.Dari sumber tersebut, polusi udara dapat diperparah dengan adanya reaksi kimia. "Yang tadinya gas jadi pertikel. Pertama, sumber polutan dari hasil pembakaran kenalpot, industri, sampah jadi PM25. Ada juga PM25 hasil reaksi kimia antar polutan berupa gas," ucapnya."Jadi kalau kaya Pom Bensin pas kita buka kaya ada uapnya gitu. Nah ketika di atas bertemu dengan NOX itu bisa beraksi kimia jadi PM25, ini yang meningkatkan double kill pas Jakarta musim kemarau, dari hasil pembakaran dan reaksi kimia," lanjutnya.Kasus Hanan sangat mungkin hanya satu kasus yang muncul di permukaan dari jutaan kasus penyakit pernapasan sebagai dampak langsung polusi udara Ibukota. Berdasarkan data Vital Strategis, diperkirakan terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit yang berhubungan dengan polusi udara di Jakarta pada tahun 2010.Penyakit tersebut di antaranya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 2.450.000 kasus; jantung koroner sejumlah 1.246.000 kasus; asma sejumlah 1.211.000 kasus; pneumonia sejumlah 336.000 kasus; bronkopneumonia sejumlah 154.000 kasus; dan penyakit paru obstruktif kronis sejumlah 154.000 kasus. Estimasi biaya perawatan medis dari kasus-kasus tersebut mencapai Rp38,5 triliun. "Jika memasukkan perhitungan inflasi, biaya tersebut akan setara dengan Rp60,8 triliun pada tahun 2020," tuturnya.Sementara itu berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI, penyakit Pneumonia DKI Jakarta pada 2022 awal mencapai sekitar 200 orang, sedangkan pada 2023 di minggu yang sama naik menjadi 400 orang. Lalu, kasus influenza-like Illness (ILI) DKI Jakarta pada 2022 minggu ke-21 mencapai sekitar 300 orang, sedangkan pada 2023 di turun menjadi kurang dari 100 orang.Kemudian, kasus diare akut DKI Jakarta pada 2022 minggu ke-21 mencapai sekitar dua ribu lebih orang, sedangkan pada 2023 naik menjadi 6.000 orang.Menanti Langkah Pemprov
Baca juga: Polusi DKI Memburuk, PSI Minta Heru Buat Prokes Polusi Udara
Baca juga: Polusi DKI Memburuk, PSI: Batasi Kendaraan, Perbaiki Tata Ruang
Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Terburuk, DPRD DKI Godok Pembuatan Perda
DKI Lakukan 3 Strategi
Selain itu, lanjut Asep, Pemprov DKI juga menggelar Uji Emisi Akbar 2023 secara gratis yang akan digelar di Taman Margasatwa Ragunan, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tanggerang, Kota Tanggerang Selatan, Kabupaten Tanggerang, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi secara serentak pada Senin, 5 Juni 2023.
Baca juga:
Penulis: Riyan Setiawan Editor: Restu Diantina Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar