Buah dari Meremehkan Lawan,Diponegoro Kalah Perang di Gawok - BuddyKu

 

Buah dari Meremehkan Lawan,Diponegoro Kalah Perang di Gawok - BuddyKu

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Pembaca yang budiman, pada episode yang lalu sudah saya ulas tentang terlukanya Sang Pangeran dalam peristiwa Geger Sepoy yaitu penyerangan Inggris ke Keraton Yogyakarta tahun 1812 untuk menggulingkan Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepuh) dari takhtanya.

Tidak berhenti sampai di situ, pasukan Inggris dan Sepoy setelah menang perang dan menangkap Sultan Sepuh juga menjarah dengan serakah. Mirisnya penjarahan tidak hanya dilakukan oleh prajurit rendahan, tetapi para petingginya seperti Letnan Gubernur Raffles, Residen Yogyakarta John Crawfurd dan panglima perang Kolonel Gillespie.

Harta milik Keraton Yogyakarta seperti emas berlian, uang, manuskrip, dan benda-benda berharga lain diusung beramai-ramai ke luar keraton untuk diuangkan atau dibawa ke tanah kelahiran mereka tanpa ada rasa malu sedikit pun.

Diponegoro terluka oleh bayonet tentara Sepoy saat mengawal ayahandanya yang akan menyelamatkan diri dari gempuran pasukan Inggris dan Sepoy dengan cara meninggalkan Kadipaten, kediaman Putra Mahkota yang letaknya di sebelah timur Alun-alun Utara. Mereka menerobos hujan peluru yang ditembakkan prajurit Inggris dan Sepoy menuju Gapura Tamansari atau Gapura Jogoboyo (letaknya di sebelah barat Alun-alun Utara).

Terlukanya Diponegoro disebabkan Sang Pangeran tidak terima, tentara Sepoy melucuti secara paksa senjata keris miliknya, kemungkinan keris itu adalah Kanjeng Kyai Abijoyo. Bagi satria Jawa melucuti senjata keris pusaka merupakan suatu penghinaan karena dianggap mempermalukan di depan umum (kisah ini bisa Anda baca DI SINI ).

Pada pembahasan kali ini saya akan mengulas terlukanya Diponegoro saat pertempuran di Gawok pada 15 Oktober 1826. Daerah ini terletak di sebelah barat Keraton Surakarta. Kisah terlukanya ini diceritakan Diponegoro kepada Mayor de Stuers dan Kapten Roeps ketika mereka bercakap-cakap di rumah residen Semarang saat singgah dalam perjalanan menuju Batavia. Ada beberapa faktor penyebab kekalahan tentara Diponegoro di Gawok yang memang saat itu tentara Diponegoro baru on fire karena mengalami beberapa rentetan kemenangan dimana-mana. Beberapa sumber menyebut Diponegoro sedang apes (sial) karena sebelum perang, Diponegoro dekat dengan gadis Cina yang menjadi tawanannya. Kisah ini ditulis sendiri oleh Sang Pangeran dalam Babad Diponegoro versi Manado. Faktor lain adalah strategi perang yang kurang tepat dan takaburnya Kiai Mojo sebagai panglima perang pada pertempuran itu. Untuk artikel ini saya mengulas tentang perilaku tentara Diponegoro yang terlalu meremehkan musuh sebagai dampak dari kesombongan Kiai Mojo dalam pertempuran di Gawok. Harapan saya kisah ini dapat dijadikan pelajaran bahwa mengabaikan dan mengecilkan kemampuan lawan merupakan tindakan menuju kehancuran sebelum perang itu dimulai. Memang, Kiai Mojo lahir di Pajang dan ayahnya yang bernama Kiai Badheran merupakan seorang kiai terkenal di Pajang. Ketika ingin menyerang Surakarta, Kiai Mojo sesumbar bahwa Surakarta akan mudah ditaklukkan karena para pembesar-pembesar Keraton Surakarta pasti akan tunduk dan patuh kepada Kiai Mojo karena ayah-ayah mereka pernah berguru kepada Kiai Badheran, ayah Kiai Mojo. Tentu saja Diponegoro percaya saja apa yang disampaikan Kiai Mojo karena Diponegoro selama ini hanya bergaul dengan orang-orang Yogyakarta bukan dari Surakarta. Penyerangan ke Surakarta sendiri merupakan saran dari Kiai Mojo karena daerah-daerah di Yogyakarta sudah dikuasi pasukan Diponegoro, hanya daerah-daerah yang jauh dari jangkauan seperti Surakarta, yang belum dikuasai. Untuk itulah Kiai Mojo mendesak Diponegoro agar menyerang Surakarta. Apabila Surakarta sudah dapat dikuasai maka target berikutnya adalah Kalitan dan Boyolali. Kiai Mojo berujar bahwa Surakarta di bawah pengaruhnya, Kiai Mojo mengatakan bahwa para pangeran-pangeran Surakarta juga di bawah pengaruhnya karena dahulu mereka belajar ilmu agama pada Kiai Badheran ayah Kiai Mojo, dan sekarang anak-anak pangeran itu menjadi muridnya. Untuk itulah Kiai Mojo mengatakan kepada Diponegoro agar menyerang dengan kekuatan penuh secara besar-besaran agar Surakarta dapat dikuasai. Tentu saja Kolonial Belanda dan Keraton Surakarta tidak tinggal diam, pasukan Diponegoro akan menyerang Surakarta. Mereka mempersiapkan tentaranya di bawah komando Jenderal Joseph van Geen (bertugas 1825-1828). Saat itu pasukan Diponegoro berjumlah 15.000 personel dan siap melumat tentara Kolonial Belanda yang dibantu tentara Kesunanan Surakarta. Maka terjadilah pertempuran di Gawok yang berakhir dengan kekalahan telak dipihak pasukan Diponegoro. Sang Pangeran terluka di dua tempat yaitu di tangan kanan dan di dada kiri. Kedua luka itu sangat parah sehingga darah mengucur dengan deras. Beruntung kuda cerdas yang bernama Kiai Wijayatapa, seekor kuda tinggi besar berwarna coklat kemerah-merahan membawa Sang Pangeran mundur dari medan laga. Kekalahah ini sekaligus memberikan sinyal bahwa dukungan para pangeran Surakarta yang digembar-gemborkan Kiai Mojo terhadap Diponegoro tidak terbukti bahkan sebaliknya martabat Sang Pangeran dikecilkan dalam pertempuran Gawok, karena Diponegoro ternyata perjuangannya tidak mendapatkan simpati dari kalangan pembesar Keraton Surakarta. Setelah kekalahan itu Kiai Mojo juga mendapat kritikan pedas dari Pangeran Joyokusumo salah satu putra Sultan Sepuh, paman Diponegoro. Pangeran Joyokusumo mengatakan bahwa jika perang seperti ini lagi, maka pasukan Diponegoro pasti mudah dikalahkan pasukan kolonial karena pasukan Diponegoro kalah dalam ketrampilan militer dan kalah teknologi persenjataan. Menurut Pangeran Joyokusumo perang yang tepat bagi pasukan Dipongoro ketika melawan kolonial adalah perang gerilya bukan perang terbuka seperti pertempuran Gawok. Dari hasil evalusi Pangeran Joyokusomo itulah, sejak itu pasukan Diponegoro mulai memantapkan perang gerilya dalam menghadapi Kolonial Belanda. Pangeran Joyokusumo dalam pertempuran selanjutnya didaulat Diponegoro sebagai salah satu panglima perang. Bagaimana kisah berikutnya. Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya. Penulis: Lilik Suharmaji Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta. Bacaan Rujukan Carey, Peter. 2022. Percakapan Dengan Diponegoro. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Lilik Suharmaji. 2020. Geger Sepoy Sejarah Kelam Perseteruan Inggris Dengan Keraton Yogyakarta 1812-1815. Yogyakarta: Araska.

Author: Lilik Suharmaji

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya