Kasus Pulau Rempang, Ini 7 Fakta yang Wajib Diketahui
Jakarta, Beritasatu.com - Bentrokan antara warga dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan Aset BP Batam terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau sejak 7 September 2023. Hal ini disebabkan oleh penolakan pembangunan Rempang Eco-City.
Meski pemerintah akan menyediakan rumah tipe 45 dengan harga Rp 10 juta dan luas tanah 500 meter persegi untuk mereka, warga tetap menolak proyek tersebut dan beberapa dari mereka harus dipindahkan.
Untuk diketahui, Pulau Rempang, yang memiliki luas mencapai 17.000 hektare akan direvitalisasi menjadi kawasan yang mencakup sektor industri, perdagangan, hunian, dan pariwisata yang terintegrasi. Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Xinyi Group, perusahaan kaca terbesar di dunia asal Tiongkok, telah menunjukkan minat untuk berinvestasi senilai US$ 11,5 miliar atau sekitar Rp 174 triliun hingga tahun 2080.
Rencana pembangunan Rempang Eco-City telah mencuat sejak 2004. Saat itu, pemerintah menggandeng PT Makmur Elok Graha (MEG) yang menjadi pihak swasta melalui kerja sama BP Batam dan Pemerintah Kota Batam.
Berikut 7 fakta terkait kisruh yang terjadi di Pulau Rempang.
1. Bentrokan antara warga dan aparat
Bentrok dipicu oleh aparat yang memaksa masuk untuk pengukuran lahan dan pemasangan patok batas di Pulau Rempang. Polisi terpaksa menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Gas air mata ini juga sampai masuk ke halaman sekolah dan beberapa murid harus dilarikan ke klinik untuk perawatan.
2. Mengerahkan banyak aparat
Dilaporkan sebanyak 1.010 personel gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, Satpol PP, dan Ditpam BP Batam dikerahkan menuju lokasi pemasangan patok pada 7 September. Hal ini dinilai sebagai tindakan preventif dan prediksi sebelum bentrokan terjadi. Polisi juga dikatakan sangat eksesif dan agresif dalam memukul mundur massa menggunakan water canon dan gas air mata.
3. Warga Pulau Rempang tergusur dari kampung sendiri
Masyarakat adat yang tinggal di 16 kampung tua di Pulau Rempang menolak keras untuk direlokasi. Mereka menganggap kampung-kampungnya memiliki nilai historis dan budaya yang sangat penting.
4. Sebanyak 3 kampung terdampak
Kepala BP Batam Muhammad Rudi menyatakan ada 3 perkampungan yang mencakup kawasan pembangunan pabrik, sehingga harus direlokasi dalam waktu dekat. Karenanya sejak Juni 2023, BP Batam sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang akan direlokasi terkait hak-haknya yang akan diberikan pemerintah.
5. Sebagian kecil warga setuju relokasi
Sekitar 91 warga dari tiga kampung yang terdampak telah sepakat untuk direlokasi. Total keseluruhan warga di 3 kampung tersebut sebanyak 700 keluarga. Pihak BP Batam sendiri juga telah menyiapkan dana Rp 1,6 triliun untuk merelokasi warga.
6. Jokowi minta proyek dilanjutkan
Di tengah konflik, Presiden Jokowi meminta supaya proyek pembangunan Rempang Eco-Park sebagai Proyek Strategis Nasional tetap dilanjutkan. Jokowi menyampaikan masyarakat tak perlu khawatir akan hak-hak yang mereka miliki ketika sudah direlokasi nanti. Pembangunan ini justru akan memberikan dampak dan manfaat yang baik untuk masyarakat.
7. Keterlibatan pihak asing
Kasus Pulau Rempang ini diduga terdapat campur tangan oleh pihak asing. Hal ini disampaikan oleh Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Dia menilai tidak semua negara senang dengan Indonesia jika terus mampu mengelola perekonomiannya dengan sangat baik.
Komentar
Posting Komentar