Memperkuat Pertanian untuk Mitigasi Kekeringan By garudanews24

 

Memperkuat Pertanian untuk Mitigasi Kekeringan

By Beranda
garudanews24.id
September 7, 2023

Jakarta –

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan sekitar 63 persen wilayah di Indonesia telah terdampak kemarau panjang. Puncak kekeringan diperkirakan terjadi sejak Agustus dan bisa saja berlangsung hingga awal tahun depan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa wilayah di Indonesia yang sudah mengalami kekeringan. Daerah sentra pertanian bahkan sudah terdampak dengan tidak dapat melakukan kegiatan tanam. Penyebab dari itu yakni kekurangan pasokan air.

Kekeringan pada pertengahan 2023 ini tidak hanya merugikan bagi pertanian dan ekosistem, tetapi juga mengungkapkan kerentanan manusia terhadap kenaikan suhu bumi yang semakin nyata. Fenomena El Nino atau kenaikan suhu laut yang tidak normal dan mengganggu pola cuaca global merupakan dua keping mata uang yang tak bisa dipisahkan dengan kekeringan.

Ancaman Multidimensi

Kekeringan merupakan situasi di mana pasokan air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan manusia, hewan, dan tanaman. Kekeringan telah merambah berbagai wilayah di seluruh dunia, menciptakan krisis yang mempengaruhi segala aspek kehidupan. Pertanian menjadi sektor yang paling terpukul, dengan tanaman yang mati dan hasil panen yang menurun drastis. Ini berdampak pada ketidakstabilan produksi pangan dan kenaikan harga pangan global, yang lebih memperparah kerentanan kelompok masyarakat yang sudah rentan secara ekonomi.

Sesungguhnya tidak hanya pertanian yang terkena dampak, tetapi juga sektor energi dan lingkungan. Kekeringan berkontribusi pada penurunan produksi energi hidroelektrik yang mengandalkan pasokan air untuk menghasilkan listrik. Selain itu, ekosistem air tawar, seperti danau dan sungai, mengalami penurunan volume air yang signifikan mengancam keberlanjutan kehidupan akuatik dan menyebabkan krisis ekologi. Demikian juga dari segi lingkungan, kita disuguhkan fakta di berbagai belahan bumi mulai terjadi kebakaran yang disebabkan karena kekeringan.

El Nino fenomena alami yang terjadi ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tengah dan timur menjadi lebih tinggi dari situasi normal. Peningkatan suhu laut memicu pembentukan awan dan hujan di suatu lokasi yang meningkatkan risiko banjir. Sementara terjadi di wilayah lain meninggalkan kering dan krisis air yang parah. Meski paradoks, dampak El Nino pada kekeringan sangat signifikan. Pola angin yang terganggu mengubah pergantian musim hujan dan kemarau di berbagai daerah yang menyebabkan periode kekeringan lebih panjang dan ekstrem.

Sebaran titik kekeringan yang cukup tersebar mengakibatkan petani tidak dapat melakukan perluasan tanam 1.000 hektar per kabupaten yang disarankan oleh pemerintah pusat. Terutama bagi tanah pertanian yang jauh dari irigasi. Secara jelas akan menurun produksinya, walaupun bisa saja tidak terjadi gagal panen. Begitupun bagi yang dekat irigasi, namun posisi tanah pertanian lebih tinggi. Petani terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk mengairi tanaman. Belum lagi jika harus menyedot air dari bawah tanah.

Sesungguhnya saat musim kering, petani dapat menanam jagung. Jagung memang membutuhkan air, tapi tidak terlalu banyak seperti padi. Kedelai sebagai tanaman pangan yang tidak memerlukan banyak air juga bisa jadi solusi peralihan tanaman. Namun yang menjadi masalah adalah ketersediaan benih kedelai yang terbatas. Namun yang menjadi berbahaya, Kementerian Pertanian pernah mewacanakan untuk mengimpor benih kedelai hasil rekayasa genetika (GMO). Hal ini tidak dapat diterima oleh petani mengingat ada isu yang menyangkut kesehatan, menguntungkan korporasi, dan semakin membuat petani kecil ketergantungan.

Tindakan Adaptasi

Kementerian Pertanian mengklaim telah menyiapkan sejumlah strategi untuk meningkatkan produksi pertanian dalam mengantisipasi cuaca ekstrem El-Nino atau kemarau panjang. Menteri Pertanian mengatakan telah menyiapkan sembilan strategi dalam menghadapi El-Nino, antara lain melalui identifikasi dan pemetaan lokasi terdampak kekeringan, melakukan percepatan tanam untuk mengejar sisa hujan, dan peningkatan ketersediaan alat dan mesin pertanian (alsintan) untuk percepatan tanam.

Pembenahan jangka menengah dan panjang melalui percepatan tanam di tanah pertanian ini bisa diterapkan konsep agroekologis atau pertanian berkelanjutan bisa diandalkan. Sistem pertanian ini selaras dengan alam dan tidak menggunakan input kimia berbahaya. Hal itu termasuk penggunaan irigasi yang efisien, rotasi tanaman, dan teknik konservasi tanah. Sehingga bisa meminimalisasi fuso atau gagal panen. Pada sisi yang sama, harapan petani sebetulnya cukup sederhana. Bagaimana pemerintah menyediakan benih lokal unggul yang tahan kering dan berumur pendek sehingga mengantisipasi ketika sewaktu-waktu hujan tak turun.

Kemudian penting untuk mengelola air dengan bijak. Pengembangan infrastruktur penyimpanan air, seperti bendungan dan kolam penampungan, dapat membantu menyimpan air hujan selama musim penghujan untuk digunakan selama kemarau. Jika hujan tak kunjung datang dan irigasi terus mengering, bisa digunakan teknologi sumur bor. Catatan selanjutnya tentu aliran listrik harus masuk ke sawah dan ladang. Bisa juga disiasati dengan tenaga surya meski biaya cukup tinggi. Pompanisasi melalui pompa sibel dalam tanah bisa mengantisipasi gagal panen di saat ada musim kemarau atau El Nino sekarang ini.

Penopang yang juga harus diperhatikan yakni penerapan teknologi tepat guna. Teknologi seperti sensor kelembaban tanah dan sistem irigasi otomatis dapat membantu petani mengelola penggunaan air dengan lebih hemat, mengurangi pemborosan. Tentu berbagai adaptasi yang dilakukan tersebut mesti diimbangi dengan penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara intensif. Sehingga pemerintah dan masyarakat terkhusus petani memiliki rencana kesiapsiagaan bencana kekeringan yang baik, termasuk sistem peringatan dini dan evakuasi yang harus dilakukan.

Pada intinya, tindakan kolektif yang menjadi kunci. Bagaimana kita lebih terfokus melakukan mitigasi kekeringan dengan mengarusutamakan pertanian terlebih dahulu. Kita harus mengambil pelajaran dalam menggalang upaya yang lebih besar untuk menciptakan masa depan yang lebih tahan kekeringan. Sehingga dengan menguatkan pertanian, kita bisa hidup berdampingan dengan kekeringan yang sebetulnya merupakan suatu periodesasi.

Angga Hermanda Ketua Komite Eksekutif Pusat Partai Buruh Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan

(mmu/mmu)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya