Nestapa Warga Bogor Kekeringan di Kota Hujan
Seorang wanita berperawakan mungil tergopoh-gopoh menenteng lima ember dan galon kosong ke arah penampungan air milik Rukun Warga Desa Ciampea, Kabupaten Bogor, Rabu (30/8).
Wanita itu bernama Siti (34). Ia menyusuri jalan aspal dan rerumputan menuju penampungan air. Sesekali meneduh di bawah pohon atau atap rumah tetangga untuk berlindung dari terik matahari.
Desa itu terletak di wilayah Barat Kabupaten Bogor, sekitar 5 kilometer dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Kampus Dramaga. Dua bulan terakhir, air menjadi langka di sana.
Antrean warga mengambil air telah mengular. Kala datang giliran, Siti mengisi satu per satu wadah untuk dibawa pulang.
"Hampir dua bulan ya, rutin dua bulan kayak gini," ujarnya di Ciampea, Rabu (30/8).
Siti rutin mendatangi bak besar penampungan air di rumah Ketua RW itu. Air yang ia ambil tak serta merta memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
"Paling ini cuma buat mandi aja, buat mandi anak-anak, kalau nyuci aku ke kali, ke bawah sana," ucap dia.
Tak jauh dari Siti, Nur Hidayat alias Dayat (39) tengah mengatur kendaraan yang melintas di persimpangan jalan.Saat rehat di pos jaga, Dayat membagikan cerita tentang sulitnya mencari air.
Sejak kekeringan melanda dua bulan terakhir, keran tak lagi mengucurkan air. Dayat teringat momen beberapa tahun terakhir, kala kekeringan rutin melanda di musim kemarau.
"Kekeringan ini ada dua bulan, bahkan lebih bisa jadi. Cuman, kekeringan totalnya ada dua bulan," katanya.
Dayat beranjak dari pos jaga untuk berkeliling desa. Dia menunjukkan rumah yang kini tengah kekurangan air. "Ini juga mandinya ke kali," ucap dia.
Pria 39 tahun itu kemudian pulang ke rumah dekat kebun jagung. Mesin air dinyalakan. Dayat menuju keran di belakang. Namun setetes air pun tak mengucur ke ember.
Dayat mengulanginya beberapa kali. Ia putar-putar keran itu ke posisi mati lalu menyala lagi, tapi kondisi tak berubah.
"Tos dua bulan a' jiga kieu [Sudah dua bulan seperti ini]," ujar dia.
Dayat harus rela mengantre dengan warga lain demi mendapatkan air bersih. Bahkan kadang tak kebagian.
"Ya, intinya memang udah enggak ada air sama sekali," ucapnya.
Dia pun kembali ke pos jaga dan menunjukkan sungai yang jadi langganan warga sekitar untuk mandi dan mencuci di musim kemarau. Jaraknya sekitar 100 meter dari pos.
Anak tangga menuju sungai itu mengumpat di antara rumah warga dan pepohonan.
Dari bagian atas, tampak sejumlah anak berdiri di atas batu kali berukuran besar. Mereka bersiap melompat ke sungai, bersamaan dengan lompatan itu, mereka pun luput dari pandangan.
Seorang ibu paruh baya datang menenteng ember berisi baju cucian. Dengan nafas terengah ia berhenti sejenak di anak tangga.
Selama dua bulan terakhir, Wiwin (51) menjalani aktivitas itu. Mandi dan mencuci baju di sungai. Air di rumahnya hanya cukup untuk mencuci piring.
Langganan kekeringan
Sekitar 69 kilometer dari Desa Ciampea, tepatnya di Desa Singajaya, Kecamatan Jonggol, juga mengalami hal serupa. Kekeringan melanda wilayah timur Kabupaten Bogor itu sejak dua bulan terakhir. Masyarakat sukar mendapatkan air bersih.
Masih teringat dalam ingatan Ahmad Sugiyanto (28) kala air yang keluar dari keran mulai mengecil pada awal Juli lalu. Kini, air sama sekali tak mengalir.
Kekeringan kali ini bukan yang pertama. Krisis air bersih terus terjadi tiap tahun. Warga pun tak tinggal diam. Ketika pertanda kemarau tiba, seluruhnya bersiap.
"Setahun sekali ada aja, kita udah persiapkan dalam artian buat beli air," kata Sugih di Jonggol, Kamis (31/8).
Tak ada yang tahu kapan kemarau akan tiba dan berakhir. Di tahun-tahun sebelumnya, kekeringan pernah melanda hingga hampir tujuh bulan.
Kondisi itu membuat Sugih teringat kala ia dan warga sekitar harus keluar rumah tengah malam, menembus gulita untuk mencari air. Saban hari mereka harus mencari sisa-sisa air di sumur yang semakin mengering.
"Subuh-subuh, malam-malam kita nyari-nyari air galian-galian sumur-sumur yang masih ada sisa airnya," ucap dia.
Komentar
Posting Komentar