Perbedaan Miom dan Adenomiosis Serta Cara Mengobatinya

Jakarta, Beritasatu.com - Miom dan adenomiosis merupakan dua kondisi yang sering kali membingungkan para pasien. Miom dan adenomiosis adalah dua jenis tumor atau benjolan yang terjadi di dalam rahim, tetapi keduanya memiliki karakteristik yang berbeda.
Hal tersebut dijelaskan oleh pakar ginekologi Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD dr Soetomo Surabaya, Dr Relly Yanuari Primariawan, SpOG (K). Menurutnya, banyak pasien yang hingga kini sulit membedakan diantara keduanya.
"Seringkali, pasien datang dengan keluhan tentang adanya miom, tetapi setelah pemeriksaan lebih lanjut, ditemukan bahwa yang mereka alami adalah adenomiosis. Kedua kondisi ini seringkali membingungkan. Apakah miom itu sama dengan adenomiosis? Mereka mirip, tetapi sebenarnya berbeda," ungkap dr Relly Selasa (19/9/2023).
Dijelaskan lebih lanjut, baik miom maupun adenomiosis memiliki kemampuan untuk menyebabkan perdarahan yang parah, bahkan hingga memerlukan transfusi darah dalam beberapa kasus. Selain itu, kedua kondisi ini dapat mengganggu kesuburan wanita dan menyebabkan rasa nyeri.
Namun, perlu dicatat bahwa adenomiosis cenderung lebih menyakitkan dibandingkan dengan miom. Secara umum, sulit bagi orang awam untuk membedakan antara miom dan adenomiosis. Tetapi setelah pemeriksaan medis oleh dokter yang berkompeten, perbedaan di antara keduanya dapat diidentifikasi dengan jelas.
Dr Relly juga mencatat bahwa beberapa orang kadang-kadang salah mengidentifikasi miom sebagai kista. Padahal, keduanya adalah kondisi yang berbeda. Miom adalah pertumbuhan jaringan padat di dalam rahim, sedangkan kista adalah benjolan yang berisi cairan yang muncul di indung telur.
Dalam hal karakteristik, miom memiliki batas yang tegas, biasanya terlokalisir di suatu area tertentu dalam rahim, dan seringkali memiliki kapsul. Sebaliknya, adenomiosis tidak memiliki batas yang tegas dan cenderung mengakar ke dalam jaringan-jaringan rahim.
"Perbedaan ini menjadikan miom lebih mudah untuk diangkat melalui prosedur operasi, dibandingkan dengan adenomiosis yang cenderung mengakar lebih dalam ke dalam rahim. Akibatnya, risiko kekambuhan adenomiosis lebih tinggi setelah operasi pengangkatan," tambahnya.
Untuk mengatasi masalah ini, Dr Relly menjelaskan tentang teknologi terapi terbaru yang disebut HIFU (High-Intensity Focused Ultrasound) atau terapi ultrasound terfokus intensitas tinggi. Terapi ini memungkinkan pasien yang mengalami miom untuk menjalani prosedur terapi non-invasif tanpa memerlukan sayatan kulit.
"Terapi HIFU ini dapat mengurangi rasa sakit, meminimalisir komplikasi, dan menghancurkan sel-sel patologis secara optimal sehingga memungkinkan pemulihan yang optimal," sambungnya.
Menurutnya, teknologi terapeutik noninvasif ini fokus pada titik target yang sakit dengan memanfaatkan ultrasonografi untuk meningkatkan suhu pada titik tersebut hingga mencapai 60℃ hingga 100℃. Hal ini bertujuan untuk merusak sel-sel patologis di dalam area target, seperti miom, tanpa merusak organ-organ di sekitarnya.
Selama prosedur ini berlangsung, penggunaan pencitraan USG secara langsung dalam waktu nyata memungkinkan dokter untuk memantau dan mengontrol proses ablasi yang sedang berjalan.
"Terapi HIFU memungkinkan dokter untuk mengobati penyakit dengan aman dan terukur, tanpa memerlukan sayatan, tanpa risiko pendarahan berlebih, serta tetap mempertahankan struktur dan fungsi organ-organ yang terlibat," tutupnya.
BERITA TERKINI

Kejagung Tetapkan Direktur Operasional PT Bukaka Tersangka Kasus Tol Japek II

Jelang Keputusan Suku Bunga The Fed, Wall Street Dibuka Koreksi

Demokrat Jelaskan Pernyataan SBY Akan Turun Gunung untuk Prabowo

Harga iPhone 15 di Berbagai Negara, Mana Paling Murah?

Asian Games: Indonesia Tekuk Kirgiztan 2-0, Erick Minta Timnas U-24 Tetap Fokus

KPK Duga Karen Agustiawan Rugikan Negara Rp 2,1 Triliun Terkait Kasus LNG Pertamina

Kejutkan Fan, Jisoo Blackpink Siap Debut Layar Lebar

Tidak ada komentar:
Posting Komentar