Menkes: Masalah Kekurangan Dokter Juga Terjadi di Dunia, Tak Hanya Indonesia
Jakarta, Beritasatu.com -Saat ini Indonesia sangat membutuhkan lebih banyak dokter, terutama di daerah-daerah. Tidak hanya di Indonesia, ternyata dunia masih kekurangan dokter.
Menurut Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Sadikin, dalam matriks yang ada di dunia dan saat dia berbicara di G-20 terungkap, semua menteri kesehatan di dunia itu bilang mereka kekurangan dokter. "Padahal rasio mereka sudah 2:1000, 3:1000. Jadi masalah itu yang harus kita bereskan. Jadi enggak mungkin kita bisa mendistribusi, kalau kurangnya saja sudah 130 ribuan- 140 ribuan," kata dia usai acara Investor Daily Roundtable, Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Menkes Budi mengatakan, Indonesia harus mempunyai program untuk meningkatkan jumlah dokter dengan kualitas yang sama. Dia menerangkan, tidak mungkin bilang jangan ditambah karena kualitas buruk. Hal ini akan membuat 270 juta masyarakat Indonesia sangat menderita karena tak bisa akses ke dokter.
"Dokter itu di Indonesia sekarang praktiknya masih di tiga tempat, padahal di luar negeri itu satu tempat. Itu sudah ciri-ciri bahwa at least hanya sepertiga dari yang dibutuhkan, harusnya kan enggak begitu," ucap Budi.
Dia menjelaskan, kalau mau mengatasi masalah distribusi, kita harus memperbanyak jumlah dokter. Sesudah jumlah dokter cukup, kemudian harus memberikan insentif, pengaturan regulasi, perizinan yang tepat. "Ini agar distribusinya bisa merata. Kita harus menyiapkan fasilitas-fasilitas kesehatan di RS agar dokter merasa nyaman kerja disana," ucap Budi.
Senada dengan Menkes Budi, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi mengakui
bahwa distribusi dokter ini masih kurang jumlahnya terutama di daerah-daerah. "Saya rasa kalau di kota-kota besar sudah cukup bagus. Memang yang jadi perhatian kita," kata dia.
Iing mengatakan, jika di daerah itu memberikan kesejahteraan, fasilitas yang lain-lain yang menarik tentunya dokter juga akan ke daerah. Dia mengatakan, yang terpenting adalah bagaimana pihak rumah sakit swasta bisa berkolaborasi dengan pemerintah daerah supaya dokter itu mau bertugas di daerah. "Tentunya kesejahteraan diperhatikan. Kami terus terang di rumah sakit swasta itu juga sangat tergantung terhadap dokter yang ada di daerah-daerah," kata dia.
Mengenai mahalnya obat, Iing menilai ARSSI sebagai pemakai menginginkan proses yang lebih efisien. Tentunya efisien dari awal bagaimana penyediaan bahannya, bagaimana prosesnya, bagaimana untuk rumah sakit swasta harga belinya murah.
"Mungkin kalau diproses-proses itunya kita evaluasi dan perbaiki, tentunya kita jual akan lebih ekonomis lagi. Jadi jangan hanya lihat dari jualnya saja, tapi di proses awal juga mungkin harus banyak perbaikan," kata dia.
Mengenai harus transparansi dalam proses pembuatan obat, Iing menyetujuinya. Sebab, di zaman sekarang yang sangat terbuka, pasien bisa membandingkan kalau beli obat di tempat ini dengan di tempat lain. "Tentunya akan sangat terbuka," ucap Iing.
UU Kesehatan akan mulai berlaku pada tahun depan, dia mengatakan, fokus utama mereka dalam UU tersebut tentunya menjaga mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk menjaga mutu tentunya membutuh SDM yang baik seperti dokter, tenaga medis, perawat, tenaga penunjang juga kompetensinya bagus. "Habis itu peralatan medis juga harus terpenuhi dengan bagus. Fasilitas rumah sakit juga tentunya bisa terjangkau. Ini tentunya akan berdampak lebih baik lagi," terang Iing.
Mengenai Obat modern asli Indonesia (OMAI) dari bahan alam, dia menjelaskan, selama masa izin edar sudah ada dan izin dari BPOM sudah ada serta ada permintaan dari dokter, tentunya dari RS bisa menyediakan. "Tapi kalau dari aspek legalnya itu memang belum, kami tegas menolak. Untuk persentasenya saya tidak tahu datanya," ucap Iing.
Komentar
Posting Komentar