Demi mendukung operasional armada
drone, TNI AU pun telah membentuk satuan
drone guna memperkuat pertahanan Indonesia. Tepatnya pada Agustus lalu, TNI AU telah meresmikan Skaduk 103 untuk para penerbang
drone. Institusi baru tersebut berada di bawah Wing Pendidikan 100/Terbang Lanud Adi Sutjipto yang berbasis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
baca juga:
Ukraina Serang Instalasi Pipa Minyak Rusia dengan Drone TempurTren yang ditunjukkan tiga matra TNI tersebut tentu mengindikasikan adanya respons situasional akan dinamika strategis di dunia militer. Penggunan
drone merupakan keniscayaan dalam perang era modern (modern warfare) dan
drone battle proven sebagai
game changer meraih kemenangan. Di sisi lain, penggunan
drone dianggap lebih efisien dan mengurangi risiko mengorbankan prajurit di medan laga.
Dalam konteks inilah, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto yang belum lama dilantik menyatakan akan memanfaatkan
drone untuk mendukung patroli di wilayah konflik Papua. Penggunaan
drone di wilayah rawan dilakukan untuk meminimalisir korban jiwa. Ilustrasinya, bila
drone sudah memastikan wilayah steril, baru prajurit TNI dikerahkan untuk mengejar kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Nagorno-Karabakh dan Perkembangan Perang ModernBerdasar sejumlah catatan,
drone sebenarnya sudah dikenal sejak akhir perang Dunia I, dan lebih intensif digunakan pada perang Dunia II. Kala itu,
drone digunakan Nazi bukan sebatas untuk latihan target sasaran, tapi juga melakukan serangan. Selanjutnya, lompatan
drone canggih menemukan momentum pada 1995 saat General Atomics M-Q-1 Predator memulai menjalani debutnya.
Namun, saat itu fungsi
drone masih sebatas menjalankan misi
surveillance. Sejak saat itu, perkembangan
drone militer mengalami progresivitas dan banyak negara memberi perhatian untuk mengembangkannya kepentingan sipil maupun militer. Kehadirannya pun menjadi warna baru dalam perang modern di abad 21.
baca juga:
Misterius, Drone-Drone Ukraina Berjatuhan Sendiri di Medan TempurSebenarnya, apa yang dimaksud perang modern? Wikipedia mengutip definisi The Oxford History of Modern Warfare menyebut sebagai peperangan yang sangat berbeda dari konsep, metode, dan teknologi militer sebelumnya, yang menekankan bagaimana kombatan harus melakukan modernisasi untuk mempertahankan kelayakan pertempuran mereka.
Disebutkan bahwa perang modern merupakan subjek yang terus berkembang, dilihat secara berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda. Dalam arti sempitnya, ini hanyalah sinonim dari peperangan kontemporer. Secara lebih luas, kilasan sejarah perang modern ditandai dengan munculnya revolusi mesiu, artileri, kapal perang, senapan mesin, pesawat terbang, tank, radio, dan lainnya.
Menyederhanakan deskripsi tersebut, perang modern merupakan antitesa perang tradisional yang lazim menggunakan senjata tangan seperti tombak, pedang dan panah sebagai senjata utama yang biasa digunakan di jaman kerajaan. Perang modern ditandai dengan pemanfaatan perkembangan teknologi seiring kemajuan sains dan teknologi. Dalam konteks ini, penggunaan
drone merupakan salah satu invensi monumental yang mewarnai perkembangan karakter dan strategi peperangan modern pada abad 21.
Kemenangan Azerbaijan atas Armenia dalam perang memperebutkan wilayah perbatasan, yakni Nagorno-Karabakh, pada 2020 lalu menjadi tonggak pengakuan
drone sebagai alutsista perang modern yang berperan sebagai
game changer. Penggunaan
drone Bayraktar TB2 buatan Baykar Technologies asal Turki dalam momen tersebut bukan hanya menjadi mata-mata bagi militer Azerbaijan untuk mengawasi posisi lawan,tapi sekaligus bertindak sebagai pemukul dengan mengeksekusi target strategis lawan secara langsung.
Perang yang dilakukan Bayraktar TB2 terbilang sangat strategis. Betapa tidak, dia digunakan untuk menyasar sistem radar dan rudal pertahanan udara, sistem artileri medan, peluncur roket multilaras (MLRS), sistem rudal balistik jarak dekat, beragam kendaraan tempur darat, hingga mengeliminasi kelompok pasukan darat Armenia.
Sukses besar di palagan Nagorno-Karabakh menjadikan nama Bayraktar TB2 sebagai alutsista
battle proven dan melambung tinggi di persaingan
drone tempur dunia. Di sisi lain, pengalaman pertempuran tersebut menggugah kesadaran para ahli strategi militer dunia tentang makna strategis penggunaan
drone dalam perang modern.
Apalagi kemudian pada perang Rusia vs Ukraina yang pecah 2022 dan hingga kini masih berlangsung,
drone tempur sama digunakan pasukan Ukraina sempat membuat kewalahan pasukan darat Rusia. Catatan paling fenomenal ditorehkan kala Bayraktar TB2 bersama Su-27 Angkatan Udara Ukraina menggempur posisi pasukan Rusia yang menguasai Pulau Ular milik Ukraina di Laut Hitam pada 7 Mei 2022.
baca juga:
7 Keunggulan Drone Tempur Bayraktar Akinci, Berteknologi AI dan Bekerja Layaknya Jet TempurWalaupun tidak sefenomenal dua peperangan tersebut,
drone sebelumnya telah dimanfaatkan dalam beberapa operasi militer, terutama oleh Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam itu secara intensif memanfaatkannya untuk operasi militer Irak, Iran, Suriah, Libia, Somalia, hingga Afganistan.
Realitas tersebut lagi-lagi menegaskan penggunaan
drone tempur sebagai elemen taktis penting dalam mendukung strategi perang modern. Dia bahkan memiliki keunggulan khusus untuk melengkapi sistem persenjataan perang modern lainnya, dalam pesawat tempur generasi teranyar atau dikenal sebagai
loyal wingman.
Butuh KomitmenKeputusan tiga matra di TNI mengakuisi dan menyiapkan satuan
drone mengindikasikan langkah kongkret menjadikan pesawat nirawak ini sebagai kekuatan masa depan TNI. Sikap ini sekaligus menunjukkan kesadaran bahwa
drone adalah alutsista signifikan dalam perang modern saat ini.
Selain telah diperkuat CH-4 Rainbow, TNI juga telah mengincar
drone buatan Turki yang masuk kategori
drone berkemampuan terbang pada ketinggian medium dan terbang lama/jauh atau MALE (Medium-Altitude Long-Endurance). Berdasar laporan Janes (9/2/2023),
drone dimaksud adalah BayraktarTB2 buatan Baykar Technologies dan Anka yang diproduksi Turkish Aerospace Industries (TUSAS) dengan produknya
droneAnka.
baca juga:
Dahsyat! Drone Tempur Buatan Israel Perkuat Pasukan Elite Kopasgat TNI AUPembelian
drone asal Turki itu merupakan bagian dari daftar 16 program pembelian alutsista TNI pada 2023, yang diizinkan untuk menggunakan pinjaman luar negeri. Kemenkeu menyetujui sistem pembiayaan itu, dengan syarat kontrak formal ditandatangani
Kemenhan sebelum 31 Desember 2023.
Persetujuan pengadaan
dronediberikan secara terpisah untuk masing-masing tiga angkatan, beserta amunisinya. Untuk
TNI AU , misalnya, Kemenkeu telah mengizinkan jumlah pinjaman hingga USD200 juta tau sekitar Rp3,29 triliun. Sedangkan untukpengadaanamunisi, nilai pinjaman dipatok maksimal sebesar USD38,115 juta atau sekitar Rp577 miliar.
Bila melihat perkembangan tersebut, kapasitas
drone tempur yang dimiliki TNI sebenarnya tak ketinggalan dibanding negara kawasan. Termasuk, dibanding Singapura yang diperkuat dengan
drone RQ-4 Global Hawk buatan Northrop Grumman, dan Australia telah memesan
drone intai strategis kelas HALE (High–Altitude Long–Endurance) Northrop Grumman MQ-4CTriton
made in Amerika Serikat.
Hanya saja, kedua negara tetangga ini lebih progresif mengembangkan kemandirian
drone tempur. Singapura misalnya dalam proses pengembangan
drone serang
supersonic, yaitu Arrow.
Drone yang dikembangkan Kelley Aerospace itu diarahkan untuk multi-misi: pengintaian, serangan darat, serangan udara, mengawal pesawat berawak, dan jenis misi lainnya. Sedangkan Australia membangun UCAV
loyal wingmanbersama Boeing, yakni MQ-28Ghost Bat.
Indonesia sebetulnya jauh hari sudah merintis pembangunan
drone, namun dengan kapasitas dan fungsi terbatas. Beberapa
drone karya anak bangsa adalah
drone Wulung, Lapan Surveillance Unnamed (LSU), Gagak dan lainnya. Bahkan untuk
drone MALE yang dipersenjatai, yakni
drone Elang Hitam yang digarap BPPT, PT LEN, PT Dahana, PT Dirgantara Indonesia dan beberapa lembaga lain. Sayangnya, setelah lembaga riset disatukan dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), proyek tersebut malah dihentikan dengan berbagai alasan.
Melihat pentingnya perang
drone tempur dalam peperangan modern serta kebutuhan penguatan kapasitas militer agar mampu merespons dinamika tantangan dan ancaman, termasuk di Laut China Selatan, proyek Elang Hitam urgen kembali dihidupkan. Jika persoalan terkendala keterbatasan teknologi dan kemampuan SDM, BRIN bisa memanfaatkan kerja sama dengan Turki sebagai bagian mekanisme
transfer of technology (ToT) akuisisi
drone BayraktarTB2 dan Anka.
baca juga:
Pertahanan Udara Rusia Hancurkan 21 Drone Tempur UkrainaAtau, kalau memang BRIN tidak bisa diharapkan, pemerintah bisa mendorong partisipasi swasta. Tapi, rasanya aneh bila Indonesia yang sudah memiliki kompetensi membangun pesawat terbang tidak mampu membangun
drone. Karenanya,
decision maker negeri ini harus belajar dari kesungguhan Turki yang sudah mampu
drone dan bahkan mengekspor, hingga
drone buatanya mereka menjadi alutsista andalan banyak negara untuk memenangkan pertempuran.
Perkembangan termutakhir juga menunjukkan jenis
droneKamikaze telah menjadi alutsista penting dalam medan laga. Iran misalnya, memproduksi
drone Shahed-136 dan sudah digunakan Rusia untuk melumpuhkan Ukraina. Bahkan Hamas pun sudah mampu membuat jenis
drone ini, Zouari, dan telah dioperasikan dalam misi penyerangan ke wilayah Israel.
Indonesia sendiri sebenarnya tidak ketinggalan. PT Dahana yang merupakan BUMN produsen bahan peledak telah mengembangkan
droneKamikaze Rajata. Bahkan,
drone yang dikembangkan sejak 2021 itu diklaim tak kalah canggih dibanding Kalashnikov milik Rusia, Warmate (Polandia), Switchblade (Amerika Serikat), dan Hero-30 (Israel). Istimewanya, walaupun memiliki kemampuan bersaing, harga Rajata paling murah.
Tak mau kalah, PT Pindad juga sedang mengembangkan
drone Minibe. Drone kamikaze yang dilengkapi sistem seperti misil ini memiliki kemampuan jarak terbang mencapai 25 km dengan kecepatan 250 km per jam, dan membawa bahan peledak hingga hampir satu kilo. Selain Dahana dan Pindad, TNI AL melalui Perwira Siswa (Pasis) Seskoal juga tengah merancang jenis
drone sama.
Hanya saja, setiap pengembangkan alutsista di Tanah Air selalui dihantui keraguan akan berhenti di prototipe, atau tidak dilanjutkan seperti nasib yang dialami Elang Hitam. Jawaban tentu dikembalikan ke Kemhan atau institusi terkait seperti BRIN, yakni apakah Indonesia bersungguh-sungguh mewujudkan kemandirian, termasuk membuat
drone tempur, atau selamanya bergantung pada negara lain.
Namun, berangkat dari kesadaran akan posisi strategis
drone, pentingnya kemandirian alutsista, serta menguatnya dinamika konflik antar-negara, pemerintah dan otoritas terkait harus berani melangkah ke depan mewujudkan berbagai program
drone yang dilakukan.
baca juga:
Prabowo Dipameri Drone hingga Rudal Tempur Buatan UGMKomitmen ini merupakan prasarat mutlak membangun kapasitas militer Indonesia, serta menjadi pondasi untuk mengikuti perkembangan teknologi alutsista, termasuk
drone, yang berlangsung sangat cepat. Apalagi untuk teknologi
drone ini, beberapa negara bahkan sudah melangkah mewujudkan
loyal wingman.
Konsep
loyal wingman adalah
drone yang dibenamkan kemampuan kecerdasan buatan (AI) dan dirancang mampu berkolaborasi dengan pesawat tempur berawak generasi berikutnya. Termasuk pesawat tempur dan pembom generasi keenam seperti Northrop Grumman B- 21. Di Amerika Serikat, konsep ini dikenal dengan nama
collaborative combat aircraft (CCA).
Beberapa negara maju sudah mengembangkan
loyal wingman, termasuk Korea Selatan. Negeri Gingseng ini pada 2021 mengumumkan mengembangkan Stingray-X yang diproyeksikan mendampingi Boromae. Alutsista yang diagendakan kelar 2025 itu disebut mampu menembus jaringan pertahanan udara, melumpuhkan radar, dan mendukung pertempuran udara. (
*)
Komentar
Posting Komentar