Tekan Stunting, Kemenag Terus Berkomitmen Cegah Perkawinan Anak
Penulis: Antara | Editor: WDP
Jakarta, Beritasatu.com - Perkawinan anak sering kali menimbulkan persoalan serius, seperti perceraian dan stunting. Dalam menghadapi situasi ini, Kementerian Agama (Kemenag) terus melakukan upaya serius untuk mengatasi masalah tersebut.
Menurut Dirjen Bimas Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, pemerintah memiliki ambisi besar untuk menekan angka perkawinan anak hingga mencapai 14% pada 2024. Dia menjelaskan bahwa perkawinan dini akan memberikan dampak signifikan pada ketahanan nasional.
"Kita ingin membangun generasi yang berkualitas dalam menyongsong Indonesia Emas, karena keluarga sangat penting dan berkorelasi pada ketahanan nasional," kata Kamaruddin di Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penanggulangan masalah ini memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak. "Butuh kolaborasi dan komitmen seluruh bangsa untuk menyelesaikan persoalan ini. Pernikahan anak ini bukan hanya menjadi concern di Indonesia, tetapi juga dunia," ujar Kamaruddin Amin.
Upaya pencegahan perkawinan anak, tambahnya, adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah, keluarga, dan masyarakat perlu berperan aktif dalam mencegah perkawinan anak. Pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk mencegah perkawinan anak, termasuk dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menaikkan batas usia minimal menikah menjadi 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Di sisi lain, Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah, Agus Suryo Suripto, menekankan bahwa perkawinan anak akan berdampak negatif dalam beberapa aspek. "Perkawinan anak memiliki dampak negatif baik secara fisik, sosial, maupun psikologis. Secara fisik, anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun lebih berisiko mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan, serta kematian ibu dan anak," ungkapnya.
Dalam aspek sosial, Agus Suryo Suripto menekankan bahwa anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan diskriminasi. "Sementara secara psikologis, anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, dan trauma," imbuhnya.
"Dengan bekerja sama, kita dapat mewujudkan generasi yang berkualitas dan bebas dari perkawinan anak," pungkasnya.
Komentar
Posting Komentar