Persimpangan Jalan Modernis dan Tradisionalis : Komite Hijaz dan Embrio Nahdlatul Ulama

Sesuatu yang cukup dikatakan kompleks dalam meninjau bagaimana pendirian Nahdlatul Ulama itu terjadi, terdapat berbagai macam peristiwa yang melatari hal tersebut. Dalam tulisan ini, penulis hendak menghubungkan berbagai peristiwa-peristiwa yang melatari pendirian Nahdlatul Ulama dengan pendekatan periodik waktu yang tersimplifikasi.
Eksplorasi Bangsa Eropa, Dekadensi Umat Islam, dan Kemunculan Revivalist.
Sejak bangsa Eropa melakukan eksplorasi ke hampir seluruh penjuru dunia, secara berangsur-angsur, keterpurukan tiga kerajaan besar Islam saat itu (Kekaisaran Ustmaniyyah – Dinasti Safawid – Kerajaan Mughal) menjadi semakin nyata. Dekadensi tersebut tidak hanya terletak dalam bidang ekonomi saja akibat semakin taktis dan canggihnya strategi saudagar Eropa, namun juga dalam bidang teknologi, pendidikan, dan sosial. Atas keterpurukan yang terjadi tersebut, muncul berbagai macam gerakan-gerakan dan tokoh-tokoh yang berusaha untuk membangkitkan kembali (revivalist) Islam di benua-benua yang terjajah. Tokoh semacam Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha muncul dengan corak Islam Modernis mereka. Perspektif Islam Modernis menuduh Islam Tradisionalis sebagai biang kerok dari keterpurukan Islam, baik itu secara aqidah dan sosial. Tuduhan mengenai tidak adanya kepatuhan konstitusi kepada Al Quran, otoritas ulama yang melebihi Quran dan Sunnah, dan berpraktik sinkretis dilemparkan oleh kaum islam modernis kepada islam tradisionalis. Meskipun pada akhirnya tuduhan-tuduhan tersebut terbantahkan dengan sendirinya.
Awal Abad 20 : Modernis vs Tradisionalis di Indonesia
Pemikiran-pemikiran Islam modernis yang cenderung tidak mengkooptasi nilai-nilai kebudayaan lokal serta spirit keberagaman juga sampai ke Indonesia yang saat itu masih dibawah kolonialisme Belanda. Pada awal abad 20, Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 dan Persatuan Islam dua tahun setelahnya, mengakomodasi pemikiran tersebut di Indonesia. Disamping pendirian dua organisasi yang bercorak modernis tersebut, ada tiga organisasi yang mencerminkan kaum tradisionalis, jauh terbentuk sebelum adanya Nahdlatul Ulama, yaitu; Nahdlatul Wathan di tahun 1916, Tashwirul Afkar dan Nahdlatut Tujjar di tahun 1918.
Pertentangan antara kaum islam modernis dan tradisionalis memuncak pada saat pemerintahan Abdul Aziz Ibnu Saud yang merebut Hijaz (termasuk Mekkah dan Madinah) dari kekuasaan Turki Ottoman dengan dukungan Inggris dan kelompok yang berpaham Wahabisme. Dengan paham anti keberagaman pandangan mazhab dan pemaksaan keseragaman perspektif teologis tersebut, Abdul Aziz Ibnu Saud hendak menghilangkan seluruh peninggalan sejarah Islam di Mekkah dan Madinah, termasuk merelokasi makam Nabi Muhammad, dan juga melarang keberagaman mazhab di tanah Hijaz. Berita mengenai hal tersebut sampai ke tanah Hindia-Belanda yang penduduknya bermayoritas Islam dan banyak menempuh lanjutan pendidikan di Mekkah dan Madinah.
Gagasan bercorak Wahabisme ini disambut dengan baik oleh kalangan Islam modernis Indonesia namun tidak bagi kalangan islam tradisionalis. Kalangan islam tradisionalis meninjau bahwa praktik ibadah haji tidak semata-mata praktik ibadah layaknya shalat, namun juga untuk menapaktilasi perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan ajaran Islam sehingga dapat dirasakan di seluruh dunia kedamaian ajaran tersebut.
Ketidaksamaan sikap serta paradigma dalam meninjau niat Abdul Azis Ibnu Saud membawa dampak bagi kalangan islam tradisionalis. Dalam kongres Al Islam Jogjakarta di tahun 1925, kalangan islam tradisionalis yang direpresentasikan oleh utusan-utusan yang berasal dari pesantren tradisional diharuskan untuk keluar dari pertemuan tersebut. Hal tersebut berimplikasi kepada haramnya keikutsertaan kalangan islam tradisionalis dalam Muktamar ‘Alam Islami di Mekkah untuk memberikan pendapat dalam tinjauan niat Abdul Azis Ibnu Saud.
Pada akhirnya, kalangan islam tradisionalis terpaksa membuat delegasi independen yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang dengan semangat gigih menyampaikan pesan untuk menciptakan kebebasan bermazhab, keberagaman cara pandang berpraktik keagamaan, dan melestarikan warisan peradaban awal Islam dan perjuangan Nabi Muhammad.
Komite tersebut diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah yang diamanahi untuk berdiplomasi dengan Abdul Aziz Ibnu Saud ihwal dua isu besar di atas, yakni isu pluralitas bermazhab dan juga penghancuran artefak sejarah. Dengan adanaya kalangan islam tradisionalis indonesia yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Abdul Aziz Ibnu Saud mengurungkan niatnya.
Dengan adanya Komite Hijaz tersebut, embrio lahirnya Nahdlatul Ulama juga tercipta. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu muncul intuisi perlunya untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman.
Lahirnya Nahdlatul Ulama : Lahirnya Penyelamat Artefak Historis Rasulullah
Seiring berjalannya waktu dan juga musyawarah dengan kyai lainnya, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M. Organisasi yang nantinya membawa pengaruh positif besar kepada Indonesia ini menahbiskan K.H. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar pertama.
Dalam rangka konsolidasi internal dan penegasan prisip dasar orgasnisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian dikodifikasi dalam Khittah Nahdlatul Ulama, yang dijadikan dasar dan rujukan warga Nahdlatul Ulama dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Secara jelas, andil dari Komite Hijaz sangatlah terasa hingga hari ini, di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Sebuah peran internasional kalangan islam tradisionalis yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Referensi
Fealy, G. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 2009.
Geertz, C. Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok : Komunitas Bambu. 2013
Ridwan N. K. NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad. Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 2008.
Sobary, M. NU dan Keindonesiaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2010
Subhan, M., Fadeli, S. Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah. Surabaya ; Khalista. 2007.
Penulis : Tata Auniy (Infokom Website NUisme – PCINU Pakistan)
Editor: Muhammad Fachry Fanani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar