Beranikah KPK Usut Elite Parpol yang Diduga Terlibat Korupsi? *- Tirto

 

Beranikah KPK Usut Elite Parpol yang Diduga Terlibat Korupsi?

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menutup kemungkinan akan memanggil Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, untuk dimintai keterangan terkait aliran dana kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian (Kementan) oleh terdakwa Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Surya Paloh diduga menerima aliran korupsi dari Kementan untuk pembangunan green house di Kepulauan Seribu.

Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika, mengatakan saat ini penyelidikan kasus tindak pidana pencucian (TPPU) mantan Menteri Pertanian itu masih berjalan.

Menurutnya, apabila mendukung ada unsur kekayaan yang sedang ditangani, maka penyidik tidak akan segan-segan memanggil Surya Paloh untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

“Jadi apakah [Surya Paloh] akan dimintai keterangan [dalam] perkara tersebut, tentunya kembali lagi itu kewenangan penyidik menilai kebutuhannya," ucap Tessa kepada wartawan, Selasa (16/7/2024).

Dalam persidangan kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementan dengan terdakwa SYL dan dua anak buahnya, yakni Muhammad Hatta dan Kasdi Subagyono, Jaksa KPK mengungkapkan bahwa Partai Nasdem telah menikmati aliran dana sebesar Rp965 juta.

Melalui kuasa hukumnya, Djamaluddin Koedoeboen, SYL mendesak KPK untuk mengusut dugaan aliran dana ini, khususnya terkait pembangunan sebuah green house yang terletak di Kepulauan Seribu.

Djamaluddin menduga, green house milik Ketua Umum Partai Nasdem itu dibangun menggunakan uang dari Kementan yang dialirkan oleh SYL. Dia juga menyebut Surya Paloh turut menikmati uang korupsi proyek izin impor di Kementan yang mencapai ratusan triliun rupiah. Ia mendesak KPK agar tidak tebang pilih dalam menangani suatu perkara.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, mengatakan KPK harusnya berani mengembangkan penyelidikan ke arah Surya Paloh. Ini penting untuk mengetahui apakah Ketua Umum Partai Nasdem itu menerima hasil korupsi yang dilakukan oleh SYL atau tidak.

“Sampai sekarang informasi KPK masih minim berapa nilainya, menggunakan uang siapa, siapa yang menerima itu harus dikembangkan oleh KPK,” ujar Zaenur kepada Tirto, Selasa (17/7/2024).

Zaenur mengatakan, untuk mendapatkan kejelasan tersebut, KPK harus segera melanjutkan proses investigasi. Kalau memang ternyata cukup alat buktinya, maka lembaga anti rasuah itu bisa buka penyidikan baru. Nantinya dari situ bisa terlihat apakah akan mengarah ke Surya Paloh atau tidak.

“Jadi ini tergantung alat bukti. Sejauh apa keterlibatan dari Surya Paloh tersebut. Apakah dia bersifat pasif menerima, ataukah Surya Paloh ini mengatur atau yang meminta pembangunan green house, misalnya. Itu harus menjadi bagian dari materi perkara yang sampai sekarang kita tidak tahu,” jelas dia.

Menurutnya, jika dalam penyelidikan baru Surya Paloh terbukti bersalah dan terlibat, sudah semestinya harus diadili. Tetapi kalau tidak terlibat, jangan sampai karakternya dibunuh. Karena kata Zaenur, hukum tidak boleh dijadikan alat pukul politik. Maka, tugas KPK adalah melakukan investigasi dengan cara melanjutkan pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti.

“Ini levelnya di tahap penyelidikan. Kalau ada bukti tindak pidananya, jelas ada tersangkanya, silakan naik ke penyidikan. Saya lebih kepada mendorong KPK untuk melakukan investigasi secara menyeluruh,” ujarnya.

“Jadi solusinya KPK harus melakukan penyelidikan agar semua menjadi terang dan jelas. Kalau memang terlibat ya harus diperiksa, diproses secara hukum. Tapi kalau tidak jangan jadikan hukum sebagai alat pukul politik,” katanya menambahkan.

Peluncuran buku Pancasila di Rumahku

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyampaikan pandangannya dalam acara peluncuran buku Pancasila di Rumahku karya Willy Aditya, Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2024). ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/Spt.

Aktivis antikorupsi sekaligus mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, juga menantikan langkah KPK untuk memanggil Surya Paloh. Namun poinnya, kata dia, jika KPK memang belum memanggil sampai saat ini, berarti belum ada keterangan dibutuhkan ataupun juga bukti-bukti kuat untuk ditanyakan kepada Surya Paloh.

“Jadi kita tunggu saja apakah benar akan memanggil atau tidak. Kalau dibutuhkan pasti dipanggil, tidak mungkin tidak. Karana saksi itu kan orang yang melihat, mendengar, mengalami, dan keterangannya dibutuhkan untuk kemudian merangkai puzzle peristiwa perdana yang terjadi,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (17/7/2024).

Sementara itu, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Nasdem, Ahmad Ali, mengatakan pihaknya tidak pernah mendengar rencana KPK untuk memanggil Surya Paloh dalam keterlibatan kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian (Kementan) oleh terdakwa Syahrul Yasin Limpo (SYL). Terlebih, kata dia, tidak ada hal yang mendesak.

“Atas dasar apa KPK memanggil Surya Paloh?” ujarnya mempertanyakan saat dihubungi Tirto, Rabu (17/7/2024).

Menurut Ali, hasil persidangan kasus SYL sudah terang benderang sehingga tidak ada urgensi KPK memanggil Surya Paloh. Apalagi, kata dia, soal green house tidak pernah muncul dalam persidangan.

“Kalau kita ikuti pembelaan Pak SYL, tersebutnya nama itu (green house) bukan menjadi fakta persidangan. Orang itu dipanggil di persidangan ketika memiliki cukup alat bukti,” ujar dia.

KPK Tebang Pilih?

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, melihat ketidaktegasan lembaga anti rasuah dalam pengembangan SYL menunjukkan mandulnya KPK dalam menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan elite politik. Ini menjadi berkelindan antara buruknya internal KPK secara kelembagaan dengan rentannya KPK jadi alat tawar-menawar.

“Jadi kalau KPK pada akhirnya cherry picking alias pilah pilih kasus, itu sudah tidak mengherankan buat publik,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (17/7/2024).

Dalam beberapa kasus, elite politik selalu lepas dari jeratan hukum. Ini memperlihatkan bagaimana penindakan di KPK terasa semakin tumpul. Ini bisa dilihat dari salah satu perkara yang menyita perhatian masyarakat, yakni suap Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI tahun 2019 lalu yang tak kunjung terungkap.

Sejauh ini KPK baru berhasil meringkus penerima suap, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, dan pihak perantara, Saeful Bachri dan Donny Istiqomah. Sedangkan pemberi suap, mantan calon anggota legislatif asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Harun Masiku, masih berkeliaran tanpa proses hukum.

Dalam kasus lain, dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang melibatkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, yang sempat ditangani oleh Kejaksaan Agung juga hilang tanpa kabar. KPK sebelumnya sempat diminta mengambil alih kasus korupsi izin ekspor minyak sawit mentah yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Permintaan itu termaktub dalam surat permohonan praperadilan nomor 105/Pid.Pra/2023/PN JKT.SEL yang diajukan Wakil Ketua Umum Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), Kurniawan Adi Nugroho.

Kondisi ekonomi Indonesia di tengah konflik Iran-Israel

Menteri Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan keterangan pers Perkembangan Isu Perekonomian Indonesia di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (18/4/2024). Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Bank Indonesia memastikan inflasi tanah air dalam kondisi terkendali dengan mengupayakan agar inflasi tetap dalam rentang 2,5 persen plus minus 1 persen di tengah ketidakpastian global yang dipicu serangan Iran ke Israel. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/YU

Airlangga diperiksa karena perannya sebagai Menko Perekonomian diduga ada hubungannya dengan kelangkaan minyak goreng, sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara dan kesulitan di masyarakat.

Sebelumnya Kejagung juga sudah melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi lainnya. Terdapat setidaknya enam saksi yang telah melakukan penyelidikan, yaitu berinisial SS, M, AS, J, E, dan GS.

Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, melihat upaya pemberantasan korupsi saat ini begitu mengkhawatirkan.

Menurutnya, KPK yang secara historis seharusnya berdiri secara independen sebagai respons atas ketidakpercayaan publik terhadap institusi kejaksaan dan polisi. Namun, saat ini kondisinya jauh dari harapan, apalagi semenjak kekuasaannya dipangkas oleh revisi Undang-Undang (UU) KPK.

“Pasca revisi UU KPK memang KPK dilemahkan secara kelembagaan dan teknis pelaksanaan tupoksi,” jelas dia kepada Tirto, Rabu (17/7/2024).

Melalui UU Nomor 19/2019, status KPK kini tak lagi independen melainkan berada di bawah rumpun eksekutif dan status pegawainya yang beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Maka, penting untuk mengembalikan independensi KPK seperti perubahan undang-undang dan memperkuat lembaga-lembaga penyokong.

“Ditambah orang-orang yang menjadi pimpinan KPK yang kemudian justru melanggar etik, termasuk Firly Bahuri yang terkait kasus SYL,” jelasnya.

Dalam perkara SYL, lanjut Orin, tinggal menunggu saja apakah KPK berani untuk mengusut keterlibatan Surya Paloh. Jika tidak, maka akan semakin menguat dugaan publik selama ini bahwa KPK kerap dijadikan alat politik. Deretan kasus ini menguatkan dugaan itu,” jelas dia.


tirto.id - Hukum

Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya