Cegah Bencana Karhutla, BMKG Modifikasi Cuaca
Jakarta, Beritasatu.com – Untuk mencegah atau mitigasi kebakaran hutan dan kahan (karhutla), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggencarkan operasi modifikasi cuaca (OMC). Langkah itu dilakukan di wilayah rentan, seperti Pulau Sumatera dan Kalimantan, dengan mengisi kubah air di lahan gambut yang menjadi sumber utama karhutla.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan Puncak Hari Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (HMKG) ke-77 yang jatuh pada 21 Juli 2024, BMKG juga terus menggencarkan kerja-kerja OMC. Mengambil tema "BMKG Dukung Nusantara Baru Untuk Indonesia Maju”, BMKG melakukan kerja-kerja OMC di wilayah Sumatera dan Kalimantan sejak beberapa bulan lalu.
Berdasarkan Perpres Nomor 12 Tahun 2024 tentang BMKG, BMKG telah diamanatkan memiliki kedeputian modifikasi cuaca yang memiliki tugas utama menyelenggarakan koordinasi, perumusan, pelaksanaan kebijakan umum, dan teknis di bidang modifikasi cuaca. Hadirnya kedeputian baru ini akan lebih mengintensifkan OMC pada masa yang akan datang.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, saat ini telah terjadi perubahan paradigma pemanfaatan operasi modifikasi cuaca di Indonesia dan membuktikan implementasi yang dilakukan berjalan efektif. Sejak 2015, OMC dilakukan sebagai upaya mitigasi bencana dan bukan lagi digunakan dalam penanganan ketika karhutla sudah terjadi.
“Caranya dengan melakukan pengisian kubah air gambut. Berdasarkan data pemantau air lahan gambut (Sipalaga) ambang batas ketinggian air dalam tanah lahan gambut tidak boleh di bawah 40 cm yang menandakan status rawan kebakaran,” ucap Dwikorita di Jakarta, Minggu (21/7/2024).
Lebih lanjut, OMC yang dilakukan pada masa transisi musim hujan ke musim kemarau, terlihat dengan jelas perbandingan efektifitasnya. Hot spot yang dipadamkan dengan hujan hasil OMC lebih efektif jika dibandingkan dengan upaya water bombing dan terestrial dalam mengatasi karhutla. Saat ini, pemerintah memang memfokuskan OMC untuk menanggulangi karhutla di Sumatera dan Kalimantan.
Pada saat transisi musim hujan ke kemarau sengaja dipilih karena pada dasarnya OMC sangat bergantung pada keberadaan awan hujan. Jika OMC baru dilakukan pada musim kemarau atau pada saat karhutla sudah terjadi maka akan sulit melakukan OMC karena biasanya keberadaan awan sulit ditemukan.
Oleh karenanya, air hujan yang berhasil diturunkan pada musim transisi diupayakan untuk disimpan ke dalam kubah gambut dengan mengisi embung-embung yang berada di daerah rawan karhutla. Nantinya, jika musim kemarau dan karhutla terjadi, cadangan air ini juga bisa digunakan oleh tim Manggala yang bekerja secara terestrial.
Dwikorita menjelaskan, efektivitas pembasahan lahan gambut dalam memitigasi karhutla sudah terbukti. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, telah terjadi keterlambatan lonjakan hot spot (titik panas) di Sumatera dan Kalimantan.
Sebagai contoh, pada 2014-2015 Provinsi Riau yang menjadi daerah rawan karhutla mengalami kenaikan hot spot pada Februari-Maret dan mencapai puncaknya pada Juli, Agustus, dan September. Namun, seiring dengan masifnya OMC pada musim transisi kemarau, pada 2019, puncak hot spot di Riau baru terjadi pada September dengan jumlah titik yang melandai.
Untuk diketahui, Provinsi Riau menjadi salah satu lokasi rawan karhutla dari tahun ke tahun dan masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan luas area lahan karhutla terbesar. Pada 2009, luas lahan yang terbakar di Riau adalah 120.504 hektare, pada 2015 sebanyak 183.809 hektare, pada 2019 sebanyak 90,550 hektare, dan menurun signifikan pada 2023, yaitu 7,267 hektare.
“Hot spot di Provinsi Riau berkurang 93,9% pada 2023 jika dibandingkan 2019,” jelas Dwikorita.
Penurunan jumlah hot spot juga terjadi di Kalimantan. Kenaikan hot spot yang biasa terjadi pada Agustus kini melambat menjadi September bahkan Oktober. Sebagai contoh, Kalimantan Tengah pada 2009 luasan area yang terbakar, yaitu 247,942 hektare, 583, 833 hektare pada 2015, menurun menjadi 317,749 hektare pada 2019, dan 165,896 hektare pada 2023.
Penurunan ini sangat signifikan di tengah kondisi Indonesia yang dilanda El Nino pada 2019 dan 2023 yang menyebabkan kemarau lebih kering dan panjang dari biasanya.
“Ini mengindikasikan OMC berhasil menekan laju kenaikan hot spot pada dua pulau langganan karhutla. Adanya delay lonjakan hot spot mengindikasikan periode kekeringan yang berhasil dipersingkat,” ujarnya.
Dengan demikian, Dwikorita melihat periode kekeringan yang menjadi sumber pemicu tingginya lonjakan hot spot berhasil dipersingkat karena pada saat periode transisi ke musim kemarau, gambut sudah lebih basah. Air-air yang berhasil disimpan pada kubah gambut juga bisa digunakan untuk water bombing jika karhutla terjadi.
Hal yang paling penting, dengan basahnya lahan gambut maka kemungkinan besar oknum masyarakat yang melakukan pembakaran secara ilegal pun akan kesulitan karena gambut dalam kondisi basah.
Komentar
Posting Komentar