Ekonomi RI Alami Deflasi dalam Dua Bulan Beruntun, Pertanda Apa?
Data teranyar Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, indeks harga konsumen mengalami penurunan atau deflasi secara bulanan (month to month/mtm) pada Juni 2024.
Ekonomi RI Alami Deflasi dalam Dua Bulan Beruntun, Pertanda Apa? (Foto: Freepik)
IDXChannel - Ekonomi Indonesia mengalami deflasi dua bulan beruntun. Data teranyar Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, indeks harga konsumen mengalami penurunan atau deflasi secara bulanan (month to month/mtm) pada Juni 2024.
Ini merupakan kelanjutan deflasi pada bulan sebelumnya. BPS mencatat, pada Juni 2024 terjadi deflasi sebesar 0,08 persen secara mtm. Deflasi ini lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya, yakni sebesar 0,03 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
"Deflasi bulan Juni 2024 ini lebih dalam dibandingkan Mei 2024, dan merupakan deflasi kedua pada tahun 2024," ujar Plt. Sekretaris Utama BPS, Imam Machdi, dalam konferensi pers, di Kantor BPS, Jakarta, Senin (1/7/2024).
Inflasi bulanan Indonesia tercatat paling tinggi diraih pada Maret 2024 yang mencapai 0,52 persen di sepanjang tahun ini.
Secara year on year (yoy), inflasi tercatat sebesar 2,51 persen pada Juni 2024 dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,28.
Kondisi ini bisa jadi bukan pertanda baik bagi perekonomian. Melansir OCBC Nisp, secara singkat, arti deflasi adalah disinflasi atau penurunan tingkat inflasi dalam jangka waktu tertentu.
Sebenarnya deflasi adalah kondisi di mana harga barang dan jasa mengalami penurunan besar-besaran secara berjangka, langsung atau bersamaan.
Sekilas terlihat menguntungkan masyarakat sehingga orang akan berlomba-lomba untuk membeli barang sebagai persediaan nantinya.
Namun, dampak yang terjadi di sebuah negara akan dirasakan oleh pemilik usaha sebagai penyedia barang dan jasa.
Pengusaha akan dirugikan dengan kegiatan jual beli yang terus menerus dengan harga murah.
Untuk meminimalisir kerugian, para pelaku usaha akan mengurangi produksi barang, mengurangi karyawan (PHK), dan sebagainya yang akan berakibat buruk bagi perekonomian.
Fenomena deflasi ini juga terjadi pada perekonomian China baru-baru ini.
Pada Januari 2024, IHK China turun 0,8 persen yoy pada Januari 2024.
Ini menjadi penurunan terbesar dalam lebih dari 14 tahun dan lebih buruk dari perkiraan pasar yang memperkirakan penurunan sebesar 0,5 persen.
Penurunan ini juga menjadi penurunan inflasi selama empat bulan berturut-turut, penurunan terpanjang sejak Oktober 2009.
Meski pada bulan-bulan berikutnya, deflasi China kemudian perlahan kembali naik.
Tingkat inflasi China berada pada angka 0,3 persen yoy per Mei 2024, tetap stabil selama dua bulan berturut-turut namun tidak mencapai perkiraan pasar sebesar 0,4 persen.
Kondisi ini mencerminkan inflasi konsumen selama empat bulan berturut-turut, yang menandakan pemulihan permintaan domestik China yang sedang berlangsung.
Diketahui, perekonomian China sedang berjuang untuk pulih dari pandemi Covid-19 setelah pembatasan dicabut pada akhir tahun 2022.
Perekonomian China juga mendapat pukulan besar akibat kontraksi di sektor properti yang terlilit utang, yang menyebabkan beberapa pengembang properti diperintahkan untuk melikuidasi asetnya.
Perekonomian China juga pertama kali mengalami deflasi pada musim panas tahun lalu, dan harga-harga turun lebih cepat sejak saat itu.
Sementara di Indonesia, ekonomi sektor riil Tanah Air juga masih menghadapi sejumlah tantangan berat. Di antaranya adalah badai PHK massal yang menimpa sektor tekstil.
Sektor riil adalah sektor yang bersentuhan langsung dengan kegiatan ekonomi di masyarakat. Sektor riil sangat mempengaruhi dinamika ekonomi dalam negeri di mana keberadaannya dapat dijadikan tolok ukur untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi.
Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat, per 9 Juni 2024 ada tambahan lebih dari 3 ribu pekerja tekstil terkena PHK dengan total terdapat 13.800 orang yang terkena PHK.
Dari sisi perdagangan, nilai ekspor Indonesia Mei 2024 mencapai USD22,33 miliar atau naik 13,82 persen dibanding ekspor April 2024. Dibanding Mei 2023, nilai ekspor naik sebesar 2,86 persen.
Namun demikian, Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–Mei 2024 mencapai USD104,25 miliar atau turun 3,52 persen dibanding periode yang sama tahun 2023. Sementara ekspor nonmigas mencapai USD97,58 miliar atau turun 3,84 persen.
BPS juga melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus USD2,93 miliar pada Mei 2024.
Capaian ini lebih tinggi 0,21 persen dibanding surplus April 2024 secara bulanan serta naik 2,5 persen dibanding surplus Mei tahun lalu. Namun, surplus tersebut tereduksi oleh sektor migas yang masih mengalami defisit USD1,33 miliar. Komoditas utama penyumbang defisitnya adalah hasil minyak dan minyak mentah.
Dari sisi konsumsi, Survei Konsumen Bank Indonesia pada Mei 2024 juga mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi menurun dibanding bulan sebelumnya. Ini tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Mei 2024 sebesar 125,2, turun dari bulan sebelumnya sebesar 127,7. (ADF)
Komentar
Posting Komentar