Kisah Hidup Eks Menlu Agus Salim Hidup dalam Kemelaratan - Halaman all - Tribun-timur
TRIBUN-TIMUR.COM- Lahir dengan nama asli Musyudul Haq di Koto Gadang, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884, Agus Salim menimba ilmu di sekolah khusus anak-anak Eropa, Europeesche Lagere School (ELS).
Begitu lulus pada 1897, anak jaksa di Pengadilan Riau itu melanjutkan studinya ke Hoogere Burger School (HBS) di Batavia.
Lulus dari HBS dengan nilai tertinggi saat berumur 19 tahun, Agus Salim mengajukan beasiswa untuk belajar kedokteran di Belanda.
Namun, permohonannya ditolak.
Meski kemudian direkomendasikan oleh RA Kartini dan disetujui pemerintah, Agus Salim kadung tersinggung dan memutuskan tak melanjutkan studinya.
Ia mulai bekerja.
Pada 1906, ia terbang ke Jeddah untuk menjadi penerjemah di Konsulat Belanda.
Baca juga: Sosok Fatmawati Rusdi, Politisi Perempuan Tangguh Tarung Kelima Kalinya dalam 6 Tahun Terakhir
Di sanalah ia memperdalam ilmu agama Islam, diplomatik, dan beberapa bahasa asing macam Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Turki, Jepang, dan tentu saja Arab.
Kiprah Agus Salim dalam perjuangan kemerdekaan dimulai bersama Serikat Islam (SI) pada 1915.
Saat menjadi anggota Volskraad periode 1921–1924, ia dikenal sebagai sosok yang bersuara keras.
Kiprahnya lantas berlanjut di Jong Islamieten Bond (JIB).
Selain bergerak di jalur politik, Agus Salim juga seorang jurnalis.
Ia antara lain sempat berkiprah bersama Harian Neratja, Hindia Baroe, dan mendirikan surat kabar Fadjar Asia.
Setelah Indonesia merdeka, karena kompetensinya, Agus Salim sempat dipercaya menjabat menteri dalam beberapa kabinet.
Di Kabinet Sjahrir I dan II, Agus Salim adalah menteri muda luar negeri.
Sementara itu, di Kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan Kabinet Hatta (1948–1949), ia menjabat menteri luar negeri.
Agus Salim meninggal di Jakarta pada 4 November 1954 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
“Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang genius. Ia mampu berbicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam sembilan bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup melarat.”
Itulah tulisan Willem Schermerhorn, seorang pejabat Belanda, dalam Het dagboek van Schermerhorn (Buku Harian Schermerhorn) saat mengomentari H. Agus Salim.
Faktanya memang demikian. H. Agus Salim selalu bersahaja
Suatu ketika, di sebuah tempat di dataran Eropa, berkumpullah para diplomat dari pelbagai negara.
Di antara mereka terselip seorang pria berjanggut putih.
Keberadaannya sangat mudah dibedakan dari yang lain. Selain lebih pendek, dandanannya pun sungguh kontras.
Bila para diplomat lain berpenampilan necis, ia justru mengenakan jas berhiaskan beberapa jahitan di sana-sini.
Kesahajaan yang oleh Schermerhorn disebut sebagai kemelaratan itu oleh Mohammad Roem disebut sebagai manifestasi nyata dari prinsip
Leiden is Lijden “memimpin adalah menderita” yang pertama kali dipopulerkan oleh Mr. Kasman Singodimejo.
“Saya teringat perkataan Kasman, Leiden is Lijden, memimpin adalah menderita. Penderitaan tidak hanya berupa penjara, tetapi juga kepahitan hidup. Penderitaannya ditunjukkan dalam hidup sederhana yang kadang-kadang mendekati serbakekurangan dan kemiskinan,” tutur
Mohammad Roem dalam tulisannya, Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita, pada 1977.(*)
Komentar
Posting Komentar