Sidang Gugatan UU Kesehatan, Hakim MK Tanya Kemenkes soal Nasib Tukang Khitan
-
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi pasal dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam sidang, Hakim MK mempertanyakan bagaimana nasib orang-orang yang selama ini memberi layanan medis, seperti tukang khitan, usai UU ini berlaku.
Sidang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (12/8/2024) dan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo. Ada dua permohonan terhadap UU Kesehatan yang diadili bersamaan dalam persidangan ini.
Permohonan pertama ialah perkara nomor 49/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Shafa Syahrani, Satria Prima Arsawinata, dan Bunga Nanda Puspita. Dalam gugatannya, Shafa dkk merasa mengalami kerugian karena Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka merasa pasal itu menghalangi para mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) secara langsung setelah lulus dari program sarjana. Padahal, selama masa pendidikan, mahasiswa telah memilih konsentrasi di dalam program studinya yang sesuai minat dan keahliannya dengan tujuan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan pantas untuk dirinya.
Berikut isi pasal 212 ayat (2) yang digugat:
(2) Mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat melakukan praktik setelah lulus pendidikan profesi dan diberi sertifikat profesi
Mereka meminta MK menyatakan pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'berlaku bagi mahasiswa program sarjana Tenaga Kesehatan yang terdaftar setelah berlakunya undang-undang ini'.
Permohonan kedua ialah perkara nomor 50/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Iwan Hari Rusawan. Iwan merupakan seorang tukang khitan yang sudah memberikan layanan ke para pasiennya selama 15 tahun.
Iwan menggugat pasal 1 angka 6, pasal 1 angka 7 dan pasal 210 ayat (1) UU Kesehatan. Berikut isi pasal-pasal yang digugat Iwan:
Pasal 1:
6. Tenaga Medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan.
7. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan tinggi yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan.
Pasal 210 ayat (1):
(1) Tenaga Medis harus memiliki kualifikasi pendidikan paling rendah pendidikan profesi
Dia meminta agar MK menyatakan pasal 1 angka 6 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'tenaga medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidan kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan profesi kedokteran, kedokteran gigi, serta pelaku invasif terkait kesehatan yang sudah dipraktikkan di Indonesia sebelum adanya pendidikan kedokteran di Indonesia'.
Dia juga meminta MK menyatakan frasa 'pendidikan tinggi' dalam pasal 1 angka 7 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'mencakup pendidikan nonformal dan informal berdasarkan kebudayaan, kearifan lokal atau agama'. Dia juga meminta MK menyatakan pasal 210 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'kecuali tenaga medis dan tenaga kesehatan berbasis kebudayaan, kearifan lokal, dan agama yang telah memperoleh pengakuan dari masyarakat Indonesia sejak sebelum adanya perguruan tinggi di Indonesia'.
Sidang perkara ini sudah masuk tahap mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Dalam persidangan hari ini, hakim MK Guntur Hamzah bertanya bagaimana nasib para tukang khitan yang sudah berpuluh tahun memberikan layanan ke masyarakat.
"Lalu untuk yang punya keterampilan khitanan, sudah puluhan bahkan ribuan tahun sebelum Indonesia ada. Pasien Pak Iwan (pemohon) pun sudah ribuan pasien dan sudah dilakukan dan sampai saat ini sama sekali tidak ada komplain menyangkut hasil dari khitannya. Sehingga dia harus punya pendidikan, ijazah, punya surat tanda, semua itu tentu membuat semacam, kira-kira Kementerian Kesehatan mau ke manain beliau-beliau ini? Apakah dibiarkan begitu saja atau perlu ada pengaturnya? Supaya masyarakat punya kepastian menyangkut status dan kedudukannya," ujar Guntur.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Dia mengatakan bertanya bagaimana nasib para tenaga kesehatan tradisional. Apalagi, tukang khitan terkait dengan praktik keagamaan.
Selain itu, hakim MK Arsul Sani mempertanyakan mengapa pelayanan medis dan kesehatan hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah memiliki gelar profesi. Sebab, banyak pelayanan kesehatan yang tak menerima gelar profesi seperti tukang khitan, tukang gigi maupun akupuntur yang selama ini membantu masyarakat dalam bidang kesehatan.
"Supaya kita memiliki pemahaman yang utuh dan benar, saya mohon penjelasan, bahwa dengan UU nomor 17/2023 ini, ke depan pemerintah pembentuk UU meletakkan suatu prinsip bahwa pelayanan medis dan pelayanan kesehatan hanya bisa dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan. Apakah memang seperti itu?" ujar Arsul.
"Terlepas sikap politik hukum yang seperti itu, kita kan selama puluhan bahkan ratusan tahun juga telah sama- sama melihat bahwa selain di luar yang dilakukan oleh tenaga medis, pelayan kesehatan itu juga dilakukan oleh mereka yang bukan tenaga medis resmi, tapi juga melakukan pelayanan medis. Bahkan sampai pada tahap tertentu, melakukan tindakan medis invasif," sambungnya.
Arsul mengatakan setiap warga negara berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Arsul juga menyebut tukang khitan sudah menjalankan profesinya selama puluhan tahun.
"Pertanyaannya kemudian, karena itu sudah berpuluh tahun, melihat bahwa begitu banyak warga negara kita yang juga melakukan pelayanan medis atau kesehatan, yang kemudian seolah-olah harus direm mendadak dengan berlakunya UU 17/2023 ini, realitas yang ada itu kira-kira seperti apa dibicarakannya?" ujarnya.
Sekjen Kemenkes, Kunta Wibawa, mengatakan aturan soal profesi tenaga kesehatan sudah ada sejak dikeluarkannya UU nomor 36 tahun 2009. Kunta Wibawa juga meluruskan bahwa seorang sarjana kedokteran yang ingin melakukan pelayanan di masyarakat harus melakukan kuliah profesi.
"Sebenarnya, sudah ada sejak UU nomor 36, intinya memang sarjana yang kedokteran atau gizi tu adalah akademik. Kemudian mereka harus ada profesi, kemudian baru menjadi dokter atau ahli gizi. Tapi tidak berarti bahwa mereka tidak bisa berperan. Misalnya sarjana kedokteran, kalau dia tidak melanjutkan ke profesi, dia bisa menjadi pekerja di lab atau di perusahaan, tapi bukan untuk profesi untuk pelayanan kesehatan," kata Kunta.
Dia juga menjelaskan soal tenaga kesehatan profesional. Dia mengatakan aturan tentang tukang khitan juga akan dibuat lebih lanjut.
"Lalu bagaimana tukang gigi, akupuntur, itu sebenarnya lebih kepada tenaga tradisional. Kita juga mengakui itu pak. Kalau tenaga khitan nanti akan kami jelaskan pak kenapa tidak masuk di situ. Kami akan melengkapi kembali," ujarnya.
(bel/haf)
Komentar
Posting Komentar