Kala Undip Akhirnya Akui Ada Perundungan-Pemalakan di PPDS
-
Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) akhirnya mengakui adanya perundungan serta pemalakan yang terjadi di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Pengakuan itu disampaikan Dekan FK Undip, Yan Wisnu Prakojo.
Yan Wisnu menyatakannya saat duduk dalam satu forum bersama anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago dan Direktur Layanan Operasional RS Kariadi, Mahabara Yang Putra.
"Kami menyadari sepenuhnya, kami menyampaikan, dan kami mengakui bahwa di dalam sistem pendidikan dokter spesialis di internal kami terjadi praktik-praktik atau kasus-kasus perundungan dalam berbagai bentuk, dalam berbagai derajat, dalam berbagai hal," kata Yan Wisnu di Aula FK Undip, Tembalang, Semarang, Jumat (13/9/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Minta Maaf
Tidak hanya mengakui adanya bullying di lingkungan PPDS, Yan Wisnu juga menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat.
"Dengan demikian kami memohon maaf kepada masyarakat terutama kepada Kementerian Kesehatan, kepada Kementerian Dikbudristek, dan kepada Komisi IX, Komisi X DPR RI, kami memohon maaf bila masih ada kekurangan kami dalam kami menjalankan proses pendidikan khususnya kedokteran spesialis ini," kata dia.
Yan, juga meminta arahan kepada berbagai pihak agar mereka bisa melakukan pembenahan. Selain itu, dia berharap pemerintah bisa memberikan izin agar Undip bisa melanjutkan pendidikan dokter spesialis.
"Kami memohon arahan dari seluruh pihak dari pihak-pihak yang kami sampaikan tadi dari pemerintah dari komponen-komponen masyarakat untuk kami ke depan dapat menjalankan perbaikan khususnya dokter spesialis tersebut, pendidikan yang bermartabat, pendidikan yang melindungi anak didik kami, dan bermanfaat bagi negara," kata Yan.
Dekan FK Undip Yan Wisnu Prajoko saat diwawancara di aula FK Undip, Tembalang, Semarang, Jumat (13/9/2024). Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng |
Akui Adanya Iuran Rp 20-40 Juta Per Bulan
Yan Wisnu yang juga dokter Spesialis Bedah Onkologi tersebut juga mengungkapkan praktik iuran bagi mahasiswa PPDS anestesi Undip semester pertama. Dia menyebut besarannya Rp 20-40 juta.
"Saya melihat apa yang disampaikan tadi terkait iuran kalau kita mendengarkan pelaku terkait iuran mereka akan menjelaskan rasional kenapa harus iuran. Tapi saya tahu setahu-tahunya bahwa di balik rasional pembenaran Anda, Anda itu maksudnya pelaku, itu tidak bisa diterima oleh publik sehingga saya merasa itu memang harus dihapuskan," kata dia.
Yan mengatakan pernah membatasi iuran itu melalui surat edaran pada 25 Maret 2024. Dalam surat edaran terkait pencegahan perundungan itu, iuran bagi mahasiswa PPDS dibatasi hanya Rp 300 ribu.
"Saya jadi dekan 15 Januari 2024, 25 Maret saya buat surat edaran terkait itu, ada 3 poin tapi salah satunya saya membatasi, saya bisa mentoleransi saya tahulah kadang mereka perlu nyanyi, sepakbola, bulu tangkis itu tidak ada di biaya akademik kan tidak ada di UKT," jelasnya.
Yan kemudian memaparkan iuran Rp 20-40 juta itu dibayarkan oleh mahasiswa baru Undip setiap bulan selama semester pertama.
"Jadi mereka itu, di anestesi lah, kita ngomong di anestesi aja di semester pertama mereka per bulan mereka lebih kurang Rp 20 sampai Rp 40 juta per bulan untuk 6 bulan pertama," kata Yan Wisnu.
Dia menyebut mayoritas uang itu digunakan untuk konsumsi. Di luar itu, ada juga untuk menyewa mobil dan kos sebagai operasional selama menjalani PPDS.
"Majority makan, mungkin 2/3-nya, kan tadi sampai bapak ibu tahu, mereka loading kerjanya berat kan kita makan tiga kali," ujar Yan.
"Jadi mereka kan memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Mereka bagi-bagi sendiri. Mereka menyampaikan (soal jumlah iuran) ke tim investigasi," jelas dia.
Untuk diketahui, dugaan praktik bullying di PPDS ini menyeruak setelah meninggalnya dr Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Undip. Dugaan perundungan ini sudah dilaporkan pihak keluarga dr Aulia ke Polda Jateng.
(apu/apu)
Komentar
Posting Komentar