Geger Sayembara Hadiah Tanah Mataram Picu Pecah Perang Kerajaan Jipang dan Pajang - Sindo news

 

Geger Sayembara Hadiah Tanah Mataram Picu Pecah Perang Kerajaan Jipang dan Pajang

Avirista Midaada

Sayembara yang digaungkan dengan hadiah tanah Pati dan Mataram berujung perang antara Jipang dan Pajang. Foto/Ilustrasi

SAYEMBARA yang digaungkan dengan hadiah tanah Pati dan Mataram berujung perang antara Jipang dan Pajang. Pada peperangan itu Arya Penangsang penguasa Jipang, harus meregang nyawa terkena tombak sakti Kiai Plered.

Serangan itu dilakukan oleh empat orang tokoh gabungan dari Kerajaan Pajang ke Jipang. Kala itu Raja Pajang Sultan Hadiwijaya atau yang dikenal dengan Jaka Tingkir mengumumkan menghadiahi tanah Pati dan Mataram, bagi siapa pun yang bisa mengalahkan Arya Penangsang.

Peperangan pun langsung digaungkan oleh Kerajaan Pajang. Di rumah Ki Gede Pamanahan berkumpul empat tokoh Mataram sedang membicarakan ajakan perang itu. Nasehat Ki Juru Martani mengemukakan skema cerdik untuk menghabisi lawannya itu.

Baca Juga

Ki Gede Pamanahan dan Ki Panjawi maju menawarkan diri. Tanpa bantuan orang lain kecuali keluarganya sendiri, Kiai Gede Pamanahan berjanji akan melakukan perlawanan.

Hal ini dikisahkan pula pada Babad Tanah Jawi sebagaimana dikutip dari “Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung".

Setelah itu pasukan mereka berbaris menuju Caket, dengan kekuatan 200 orang. Di sana mereka menangkap perumput dari istana Panangsang yang sedang mencari rumput untuk kuda Gagak Rimang.

Dengan imbalan 15 rial satu telinga perumput itu diiris, sedangkan pada sebelah lainnya diikatkan surat tantangan yang bernada ejekan. Dalam keadaan demikianlah perumput yang malang itu kembali ke istana.

Baca Juga

Patih Kerajaan Jipang, Ki Mataun, sangat terkejut melihat perumput itu, dan dengan sia- sia mencoba meredakan ledakan kemarahan gustinya dalam hal ini Arya Penangsang.

Kedatangan perumput yang teraniaya, beserta surat penghinaan itu memang benar-benar membuat marah Arya Penangsang yang baru saja duduk di meja makan, langsung mengepalkan tangannya memukul piringnya sampai pecah.

Kakaknya bernama Aria Mataram, berusaha meredakannya. Tetapi, Penangsang sudah lari menghilang di atas kudanya, sambil melecutnya sekeras-kerasnya. Sementara itu, Ki Mataun yang sakit asma mengikutinya dengan napas terengah-engah dan tidak dapat menyusulnya.

Setelah menyerukan kata-kata ejekan dan tantangan, Raja Jipang pun menyeberangi kali. Kemudian datanglah kutukan, karenanya barang siapa yang menyeberangi kali, akan kalah perang. Setelah itu terjadilah pertempuran sengit.

Sekalipun perutnya terluka parah, Penangsang menantang Karebet. Kemudian putra Kiai Gede Pamanahan, Sutawijaya, melanjutkan pertempuran dengan bersenjatakan tombak Kiai Plered, sedangkan kedua kakaknya melindunginya.

Kiai Juru Martani dengan cerdiknya melepaskan seekor kuda betina, sehingga kuda jantan Aria Penangsang menjadi liar.

Tetapi Sutawijaya, yang menunggang kuda kecil bersurai pendek, hampir saja terjatuh. Semenjak itu semua keturunan Sutawijaya tidak boleh menunggang kuda yang demikian dalam berperang. Sekuel peperangan ini kurang, dijelaskan lengkap pada Serat Kandha.

Setelah itu Sutawijaya turun dari kudanya dan berhasil membunuh Arya Penangsang dengan tombaknya yang keramat Kiai Plered. Sebagian ujung tombak itu patah. Mayat Penangsang dirawat oleh orang-orang dari Sela.

Ki Mataun yang datang terlambat diserang dan dibunuh. Kepalanya ditancapkan di atas sepotong bambu yang dipancangkan di tepi sungai, tentara Jipang pun menyerah.

(ams)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya