Komitmen Loyo DPR: RUU Perampasan Aset Kembali Jadi Pajangan
tirto.id - Nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset terkait dengan Tindak Pidana semakin buram setelah pembentuk undang-undang mendepaknya dari daftar prioritas. RUU ini tidak masuk dalam 41 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Tahun 2025. RUU Perampasan Aset hanya bercokol sebagai salah satu dari 178 RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2025-2029.
DPR RI, Selasa (19/11/2024), menyetujui 41 RUU yang menjadi prioritas pembahasan tahun depan. Rancangan beleid ini di antaranya adalah RUU Penyiaran, RUU ASN, RUU Pemilu, RUU Pengelolaan Haji & Umrah, RUU Perlindungan PRT, hingga RUU Sidiknas. Absennya RUU Pemberantasan Aset dari daftar pembahasan prioritas seolah menegaskan lagu lama antara DPR dan pemerintah yang memang ogah-ogahan mengegolkan beleid ini.
Peneliti dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, melihat sebetulnya RUU Perampasan Aset memang saban tahun dimasukkan dalam Proglegnas Jangka Menengah. Namun memang terlihat keengganan anggota dewan dalam membahas RUU Perampasan Aset secara serius dan prioritas sejak lama. Bahkan, kata Arif, RUU ini pada DPR periode 2019-2024 sempat jadi inisiatif pemerintah. Namun tetap tidak jelas nasibnya di Senayan.
“Pemerintah Jokowi sudah mengirimkan Surpres dan sebagainya. Tapi memang ada proses politik rumit untuk pembahasan RUU Perampasan Aset yang memang masing-masing partai politik takut akan adanya [RUU] ini,” kata Arif kepada reporter Tirto, Selasa (19/11/2024).
Arif menilai anggota DPR di Senayan – termasuk fraksi-fraksi parpol – hanya melihat RUU Perampasan Aset dalam sudut pandang yang sempit. Parpol ketakutan eksistensi RUU ini akan mengancam posisi mereka di dalam pusaran kekuasaan. Alasan klasik yang sering Arif dengar adalah ketakutan anggota DPR bahwa RUU Perampasan Aset bisa menjadi alat kriminalisasi bagi para politisi.
Ia menilai cara pandang seperti itu datang dari pihak yang minim integritas. Padahal, RUU Perampasan Aset amat berguna untuk pengembalian duit negara yang dicolong koruptor. Ia menilai keengganan DPR membahas RUU Perampasan Aset mencerminkan tidak hadirnya komitmen dalam pemberantasan korupsi.
“Mereka tidak melihat bahwa dengan narasi kebangsaan, bahwasannya negara ini perlu loh mengembalikan kerugian puluhan triliun yang nggak dikembaliin koruptor. Dan hukumannya pun nggak setimpal kalau sekarang,” ujar Arif.
Ia menilai, saat ini tampaknya fraksi-fraksi parpol di DPR masih dalam mode wait and see dengan pemerintah. Artinya, RUU Perampasan Aset sebetulnya bisa lancar dibahas apabila presiden Prabowo Subianto dapat membuktikan komitmennya. Mudah saja sebetulnya bagi Prabowo mengonsolidasikan parpol pendukungnya di parlemen untuk mengegolkan beleid ini.
RUU Perampasan Aset hanya akan terus menjadi gimik bagi DPR dan pemerintah selama mereka membahasnya secara ogah-ogahan. Jika fraksi parpol enggan sebab RUU ini dapat berpotensi menjerat mereka, maka ini justru menjadi ujian bagi integritas politisi Senayan.
“Komitmen pemerintah dan DPR saya rasa tidak hanya semu, tapi tidak ada keinginan gitu. Tidak ada keinginan untuk menyelesaikan RUU Perampasan Aset, itu saja,” ungkap Arif.
Penyusunan RUU Perampasan Aset merupakan inisiatif dari Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2003. Rancagan Beleid ini mengadopsi ketentuan dari ketentuan The United Nations Convention against Corruption (UNCAC). RUU ini sempat jadi RUU prioritas di Proglegnas tahun 2008. Pada 2014, RUU Perampasan Aset masuk kembali dalam daftar pembahasan prioritas. Periode kedua pemerintahan Jokowi, RUU ini bahkan menjadi rancangan beleid inisiatif pemerintah dan masuk Proglegnas prioritas tahun 2023.
Hal tersebut diikuti surat dan draf yang dilayangkan pemerintah kepada Ketua DPR pada Mei 2023. Jokowi meminta DPR segera membahas RUU Perampasan Aset di Senayan. Namun hingga kini, RUU Perampasan Aset hanya gaung sebagai jualan kampanye politik dan belum terlihat kemauan serius DPR membahas RUU ini lebih lanjut.
Nasib serupa juga terjadi pada RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Naskah akademik RUU ini bahkan sudah ada sejak 2013. Namun saban tahun cuma menjadi RUU yang masuk Prolegnas prioritas tanpa ada pengesahan dan pembahasan serius di Senayan.
Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memandang DPR dan pemerintah sengaja tidak memberikan ruang bagi pembahasan RUU Perampasan Aset. Ini menjadi bukti tegas tidak adanya keseriusan dari jajaran elite politik untuk membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset.
“Kan logikanya sederhana, omong kosong bicara pemberantasan tindak pidana korupsi tanpa mengesahkan RUU Perampasan Aset. Kan ini problem yang kita hadapi,” ucap pria yang akrab disapa Castro tersebut kepada Tirto, Selasa.
Elite politik, kata Castro, memang setengah hati atau bahkan sama sekali tidak berniat untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset sejak awal. Dia menduga rancangan undang-undang ini dikhawatirkan akan menjerat kelompok mereka sendiri.
“Padahal itu kan menjadi problem mereka sendiri,” sambung Castro.
Gimik Elite Parpol
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat omon-omon terkait RUU Perampasan Aset cuma menjadi wajah gimik DPR dan pemerintah. Dengan membicarakannya terus menerus, seolah-olah DPR dan pemerintah peduli dengan nasib RUU Perampasan Aset dan pemberantasan korupsi negeri ini.
Omong besar terus-menerus itu berbanding terbalik dengan komitmen sesungguhnya. Hal ini ditegaskan lewat keputusan pembentuk undang-undang mendepak RUU Perampasan Aset dalam RUU Prioritas 2025.
“Dengan hanya menempatkan RUU itu dalam Daftar Prolegnas 2025-2029, maka nggak ada jaminan sama sekali RUU Perampasan Aset ini disentuh pada periode DPR saat ini,” ucap Lucius kepada reporter Tirto, Selasa.
Dengan terdaftar dalam Prolegnas Jangka Menangah, DPR dan pemerintah selalu punya dalih untuk menjawab kritikan publik. Bahwa RUU ini sudah ada terus kok dalam rencana jangka panjang, meskipun entah kapan mau dibahas secara serius di ruang rapat.
Lucius melihat gambaran besar pemberantasan korupsi di periode ini memang nampak kian sulit. Tak hanya soal RUU Perampasan Aset, kata dia, proses memperkuat KPK akan sekali tiga uang. Maka sangat mungkin janji-janji pemberantasan korupsi – bahkan dari presiden – hanya janji politisi yang memang gemar sekali membuat manifesto.
“Prolegnas kembali hanya akan menjadi semacam formalitas yang berisi daftar keinginan elite, bukan daftar kebutuhan publik dan rakyat,” ungkap Lucius.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan pemerintah tidak mempermasalahkan RUU yang masuk prolegnas prioritas. Ia menilai pengusulan sebaiknya mempertimbangkan beban kerja alat kelengkapan dewan. Supratman meyakinkan pemerintah Prabowo memiliki komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi yang tecermin dengan masuknya usulan RUU Perampasan Aset dalam prolegnas jangka menengah.
“Presiden selalu menegaskan pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dengan cara tertentu yang bisa dilakukan oleh Presiden. Saya jamin Presiden akan melakukan tindakan yang keras,” kata dia saat rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan DPD dan pemerintah, di Kompleks DPR-MPR Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2024).
Sementara itu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan, memastikan pihaknya bakal tetap serius membahas RUU Perampasan Aset, mesipun tidak masuk dalam RUU prioritas untuk dibahas pada 2025. Bob mengatakan RUU Perampasan Aset toh sudah masuk dalam RUU Jangka Menengah untuk dibahas pada 2025-2029, karena berdasarkan nilai urgensinya. Ia mengeklaim pemerintah masih mengkaji lebih dalam draf materi dalam RUU Perampasan Aset.
"Karena perampasan aset itu bukan an sich di bidang korupsi, bukan. Itu pidana, pidana yang dicampur sama perdataan," kata Bob usai Rapat Paripurna dengan agenda penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/11).
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menyatakan jelas sudah bahwa tidak masuknya RUU Perampasan Aset menjadi prioritas pembahasan tahun depan menunjukkan lemahnya komitmen antikorupsi dari DPR dan pemerintah. Zaenur menilai, saat ini bola panas ada di tangan presiden Prabowo. Ketua Umum Partai Gerindra itu merupakan presiden yang memimpin koalisi besar di parlemen.
“Ia [Prabowo] memiliki 80 persen suara di DPR. Kalau komitmennya kuat dalam pemberantasan korupsi sebagaimana pidatonya, maka itu diwujudkan dalam implementasi kebijakan,” kata Zaenur kepada reporter Tirto, Selasa.
Publik sudah bertanya-tanya mengapa RUU Perampasan Aset tidak segera dibahas. Zaenur menilai memang ada ketakutan dari DPR bahwa beleid ini bumerang mereka sendiri. Maka masyarakat menunggu komitmen nyata dari DPR dan Presiden periode baru ini.
Jika komitmen Prabowo cuma berhenti di lisan saja, maka pemberantasan korupsi tidak ada kemajuan. Publik berharap komitmen lisan Prabowo mmapu terwujud dalam komitmen yang terejawantahkan dalam kebijakan tegas.
“Saya juga berharap ada upaya mengembalikan kembali independensi KPK dengan cara merevisi kembali UU KPK,” pungkas Zaenur.
tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky
Komentar
Posting Komentar